Indonesia sedang berduka. Kepergian Rukmini dan ibunya di Lumajang, Jawa Timur, menjadi catatan bahwa erupsi Gunung Semeru bukan hanya duka orang-orang Lumajang, melainkan juga menjadi kesedihan warga Indonesia. Indonesia kehilangan orang baik. Seseorang yang bernama Rukmini. Seorang anak yang menunjukkan bakti kepada orang tua. Saat terjadi bencana pada Sabtu, 4 Desember 2021 lalu, dia tidak meninggalkan orang tuanya yang renta.
Bakti Rukmini ini menunjukkan kepada kita bahwa kata bencana yang bagi setiap orang sangat mengerikan dan menakutkan dapat menjadi sebuah pengabdian. Rukmini setia menjaga orang tuanya yang renta saat bencana datang. Dalam semantik atau kajian mengenai makna, peristiwa Rukmini akan menjadi catatan dalam merekonstruksi makna kata bencana. Ada makna afektif dalam kata tersebut. Menurut Mansoer Pateda (1989), makna afektif adalah makna yang muncul akibat reaksi pendengar atau pembaca terhadap penggunaan bahasa. Setelah peristiwa Rukmini ini, pengguna bahasa Indonesia akan memaknai bahwa kata bencana dapat bermakna sebuah pengabdian. Hal ini disebabkan oleh sikap Rukmini—yang setidaknya menunjukkan kepada kita—bahwa kata bencana bisa tidak bermakna negatif bagi seseorang.
Berubahnya makna kata bencana bagi Rukmini ternyata dipengaruhi oleh nilai yang dimiliki oleh Rukmini. Bagi Rukmini, sangat penting pengabdian kepada orang tua dibandingkan nilai benar atau nilai salah akibat tindakan tersebut dalam agama, misalnya. Dalam agama, dijelaskan bahwa seseorang harus menghindari daerah yang menjadi wilayah bencana. Kata bencana menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2021) adalah n sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, atau penderitaan; kecelakaan; bahaya. Kata bencana dalam buku Pengetahuan Bahasa Indonesia: Etimologi berasal dari bahasa Sanskerta, yakni vañcana yang bermakna ‘kerusakan; malapetaka’ (Suwardi Notosudirjo, 1977).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi IV, tercatat sebanyak 87 kali kata bencana muncul sebagai lema, sublema, atau definisi. Kata bencana berkaitan dengan (1) definisi lema bencana; (2) sinonim lema bencana, seperi bahala, bala, kahat, mala (petaka), mara (bahaya), musibah, petaka; (3) lema yang mengandung penyebab bencana, seperti kesombongan, kutuk, rumah panas, dan sangar; (4) lema yang mengandung dampak bencana, seperti bahaya, kualat, rundung, selamat, sentosa; (5) sublema bencana yang memuat jenis-jenis bencana, seperti bencana alam, bencana besar, bencana ekologis, bencana iklim, bencana kelaparan, dan bencana peperangan; (6) sublema yang memuat turunan dari lema bencana, seperti membencanai dan membencanakan; (7) lema yang memiliki makna kiasan, seperti malakama; (8) lema yang memiliki makna untuk mencegah bencana, seperti mitigasi dan tolak (bala); serta (9) contoh kalimat yang mengandung lema bencana. Dari sejumlah lema, sublema, dan makna yang tercantum dalam KBBI tersebut, dapat dinyatakan bahwa kata bencana cenderung membawa makna negatif. Oleh karena itu, sangat wajar jika orang-orang berupaya menghindari bencana.
Di Indonesia, erupsi Gunung Semeru bukan bencana yang pertama. Sebelum ini, sejumlah bencana silih berganti terjadi di Indonesia, seperti erupsi gunung merapi, gempa bumi, angin puting beliung, dan tsunami. Virus korona yang kita alami dalam dua tahun terakhir juga menjadi sebuah bencana. Tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi seluruh masyarakat dunia. Pada masa lampau, orang-orang hanya bisa pasrah dan menerima segala risiko yang terjadi akibat bencana, seperti cacat, kematian, kehilangan saudara, dan kehilangan harta benda. Namun, sejak ada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kata bencana mengalami perubahan makna. Kata bencana tidak lagi menjadi kata yang menakutkan, terutama ketika bergabung menjadi frasa mitigasi bencana.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2021), mitigasi merupakan n tindakan mengurangi dampak bencana. Kata mitigasi merupakan kata yang diserap dari bahasa Inggris, yaitu mitigation. Kata ini baru masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima pada tahun 2016. Penyerapan kata ini ke dalam bahasa Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki kesiapan dalam menghadapi bencana dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Kesiapan tersebut ditunjukkan melalui serangkaian pengetahuan dalam mengenali bencana sejak dini, prediksi kejadian bencana melalui teknologi, adanya panduan menyelamatkan diri dari bencana, serta tindakan yang dilakukan setelah bencana terjadi.
Ketika tsunami dan gempa bumi melanda beberapa daerah di Indonesia, pemerintah secara masif menggerakkan mitigasi bencana agar kelak masyarakat siap menghadapi bencana. Salah satu wujud nyata kegiatan mitigasi ialah plang tulisan yang memuat keterangan jalur evakuasi. Tidak hanya di daerah rawan bencana, tetapi juga di daerah yang tidak rawan bencana. Penunjuk arah tersebut dimuat di ruang publik, seperti kantor pemerintahan, sekolah, kampus, mal, dan juga berbagai bangunan bertingkat, bahkan di sejumlah ruang publik dituliskan secara rinci cara menghadapi bencana di lokasi tersebut.
Jika dibandingkan dengan beberapa puluh tahun lalu, orang-orang tidak memiliki tanda ini, bahkan juga tidak mengetahui tanda-tanda akan terjadinya bencana. Kalau pun ada, tanda-tanda tersebut cenderung tidak terukur karena berdasarkan gejala alam dan juga pengetahuan mistis yang dimiliki masyarakat. Namun, saat ini lembaga-lembaga tertentu dapat memprediksi peristiwa tsunami setelah gempa terjadi berdasarkan alat pendeteksi tsunami. Jika tsunami terjadi, kerugian yang ditimbulkan akibat bencana tersebut dapat diminimalisasi. Jumlah korban jiwa diprediksi akan berkurang atau bahkan tidak ada, serta kerugian harta benda juga dapat diminimalisasi dengan salah satu cara membangun gedung atau rumah yang tahan gempa dan tsunami.
Hal-hal tersebut menjelaskan kepada kita betapa penyerapan kata mitigasi ke dalam bahasa Indonesia membawa kita pada masa yang sangat baik dalam menghadapi bencana. Tanpa kata tersebut, Indonesia tidak akan mampu menjadi negara yang tanggap bencana. Namun, cukupkah kita mempersiapkan diri dalam serangkaian hal yang berhubungan dengan mitigasi tersebut? Jawabannya, tentu tidak.
Selain memaknai kata-kata tersebut, masyarakat perlu mengetahui kosakata lain yang berkaitan dengan kata bencana, misalnya kosakata yang berhubungan dengan bencana ekologis. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2021), bencana ekologis adalah bencana yang merusak keseimbangan lingkungan atau sistem ekologi. Bencana yang termasuk bencana ekologis adalah banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan kekeringan. Sejumlah daerah di Indonesia berpotensi mengalami bencana ekologis karena maraknya deforestasi ‘penebangan hutan’, praktik pertambangan, dan monokultur.
Pada praktik penebangan hutan di Kalimatan, misalnya sejumlah media hanya mempublikasikan kata hutan, tebang, kayu, lahan, industri, dan ekonomi. Masyarakat lupa bahwa untuk menjaga keseimbangan alam, terdapat keanekaragaman hayati yang perlu diperhatikan, seperti hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan. Alam harus dijaga dengan cara menjaga hubungan timbal balik antara manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan.
Sejumlah hewan di hutan kini sudah menjadi hewan langka, bahkan terancam punah. Pohon-pohon juga ditebang dan sangat sulit untuk tumbuh kembali. Hal tersebut terjadi karena media massa fokus pada publikasi mengenai pembangunan lahan dengan gedung bertingkat dan dunia industri. Mereka lupa bahwa isu lingkungan juga perlu dibahas untuk menjaga keseimbangan alam. Karena hal tersebut, sejumlah nama binatang dan nama tumbuhan kemudian hanya tersimpan menjadi kosakata dalam kamus, misalnya sigung yang merupakan musang yang berbau busuk; punai yang merupakan seekor burung Lanius cristatus; kubin yang merupakan bunglon yang dapat terbang; kacer yang merupakan burung pemakan serangga dengan bulu hitam dan paruh lurus dan runcing; serta barau-barau yang merupakan burung penyanyi dengan warna bulu abu-abu bercampur kuning. Tidak banyak di antara kita yang mengenali hewan tersebut. Tidak hanya kata, tetapi juga rupanya.
Barangkali, kepergian Mbah Marijan, juru kunci Gunung Merapi pada bencana meletusnya Gunung Merapi tanggal 26 Oktober 2010 adalah sebuah penanda. Dikutip dari tirto,id, Mbah Marijan pernah mengingatkan pemerintah agar jangan membangun dam untuk menampung tumpahan lahar dingin hasil erupsi Gunung Merapi, tetapi pemerintah tetap membangun tanggul dan bak besar tersebut. Mbah Marijan setidaknya menyampaikan bahwa Gunung Merapi merupakan fenomena alam yang akan terjadi layaknya sebuah fenomena. Hal yang perlu kita lakukan ialah menjaga keseimbangan alam agar bencana tersebut tidak terjadi berulang kali dalam waktu yang berdekatan.