Homo Shopee-an
Hai anak-anak manusia
dari dongeng belahan dunia
berkenanlah mendengarkan madah
tentang kisah para wanita dan laki-laki berbalut gaya
sebuah fesyen yang memikat siapa saja
inilah kisah kami bawakan
merupakan cerita seorang homo Shopee-an
dari negeri yang berlimpah harapan
dengan bayar tunai, ragam kartu, atau sekadar bayar nanti
jangan takut, ada limit yang
himbau-menghimbau, menggelalar
“Pakai aku, pakai aku. ”
dalam euforia 12-12
dipayungi angka-angka cantik
dan waktu cinderela
mata-mata itu bersinar di bawah rembulan
jari-jari itu serentak naik turun
mereka membangun tenda
mendekamkan mata dalam keranjang-keranjang belanja
yang menggoda aduhai
inilah etalase dunia
memajang perempuan-perempuan
dengan wajah mengkilat dibalut calir dan kilap bibir
tak lupa kolonye dan hena beragam motif
juga seperangkat masase
yang begitu cantik
dengan rupa gelang suasa dan juga aroma tanah
“Aku belanja maka aku ada. ”
jangan lupa singgah
ada juga ruang untuk lelaki yang feminim
menawarkan wangi tubuh yang semerbak mawar merah
dengan dompet tangan dan sepatu kulit
juga ikat pinggang dari rantai kebencian
yang kadang membuat mereka hanyut dalam gelombang tarian
sehingga lupa, masih lelaki ataukah,
ah, dengan pipi sudah ditutupi perona
tak ada yang akan lengang
di negeri yang tak menawarkan kekenyangan
mereka memang menikmati buai
menikmati lentik para maskulin
yang berdalih masa kini
dan juga dunia masa depan, katanya
“Aku bergaya maka aku ada”
sebuah dunia yang berevolusi
melahirkan para homo Shopee-an
yang cantik dan rupawan
Gedung Soegondo FIB UGM, 29 Oktober 2021
Warisan
Ayah-ayah menanam matahari ke dalam tanah
memanggul pagi di pundaknya
di tengah hutan
di tengah kelam dan malam yang berselimut kejam
mereka meneroka
kebun-kebun dan juga sawah-sawah yang diam
hanya untuk mengairi dan memupuk
cinta untuk anak dan istri mereka
hingga suatu masa tiba
seorang ayah memetik jeruk di halaman rumah
membaginya kepada anak dan juga sepupu mereka
yang berlarian mengejar waktu dengan
tik tok
tik tok
tik tok
anak-anak tidak memakan jeruk mereka
tetapi memotret dan memasukkan ke dalam kaca
menenteng keliling desa dan kemudian pamer,
“Ayahku panen buah.”
Anak-anak lain berebutan minta, tetapi mereka mencibir
dan berlarian ke dalam tanah, mengubur diri mereka
hingga busuk dan membaui separuh bumi
ayah-ayah panen dengan gagal
anak-anak congkak dengan warisan
pada suatu malam,
ayah menyibak pegunungan
ia menyiramkan minyak tanah
ke dalam matahari yang telah tumbuh menjadi api
Yogyakarta, 2021
Yo, Kiro-Kiro Mengkono
: Prof. Pujo Semedi
Silakan ngeyel, Anakku sayang!
rimba-rimba terlalu sepi jika kau hanya memakan nasi
ribuan sapi sudah menanti memberimu energi
jangan sampai sebotol susu hanya berada di sebelah roti
sepiring jengkol, tahu tempe, dan juga sambal bawang
juga nikmat sembari menyeruput susu murni
Silakan ngeyel, Anakku sayang!
kertas-kertas terlalu sia-sia menjadi tumpukan
ribuan pohon sudah ditebang dengan pengorbanan
jangan sampai kata-kata diam di atas kertas
jangan biarkan rahasia tersimpan di dalam perpustakaan
Iqra!
Baca!
Jika engkau ingin ngeyel, kata-katalah mata pisaunya!
Ngeyel-lah, Anakku sayang!
bumi terlalu sempit jika kau hanya berkutat dengan status di media sosial
perang suku sudah digebyar di belahan sana
sapi-sapi dipuja untuk menjaga pertanian
perempuan Maring menebas hutan untuk menjaga babi dan anak mereka
para penyihir pun dituduh dan disiksa untuk kepentingan politik agama
Lalu, apakah kau masuk ke dalam kelas
dan hanya ingin mendengarkan aku bercerita?
Siapa tahu juga ada sebuah dusta—tetapi engkau terlalu sopan
menerima tanpa bisa memilah
Berikan aku sebuah pertanyaan, Anakku sayang!
akan aku jawab dengan mantra dan membalasmu dengan puluhan pertanyaan
untuk kau tafsirkan dan kembali menjadi kata-kata
Ngeyel-lah, Nak!
Matahari akan terus terbit di matamu.
Malam juga tidak akan pernah dingin dengan kata-katamu.
Gedung Soegondo FIB UGM, 3 Desember 2021
Biodata Penulis:
Ria Febrina diahirkan di Batusangkar pada 3 Februari 1988. Ia menamatkan S-1 dan S-2 di Universitas Andalas dan saat ini sedang menempuh studi S-3 di Universitas Gadjah Mada Program Doktor Ilmu-ilmu Humaniora. Sejak tahun 2015, ia mengabdi sebagai dosen di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas, Padang. Puisi dan cerpennya pernah dimuat di Harian Padang Ekspres, Majalah P’Mails, Jurnal Bogor, Scientia, antologi puisi Dua Episode Pacar Merah (2005), antologi cerpen Rumah Ibu (2013), dan antologi cerpen Jemari Laurin (2007).
Discussion about this post