Terjebak Masa Lalu
Cerpen: Ulul Ilmi Arham
Jelita menendang pot bunga di lorong sekolah hingga menggelinding jauh dan menabrak bak sampah. Pot tanah liat itu retak. Seisi tanah merekah dan menampakkan akar-akar tanaman yang mendekam di dalamnya. Jelita tak acuh pada nasib bunga itu. Tak merasa bersalah sedikit pun. Seolah merasa tanaman itu pantas menjadi pelampiasan amarahnya. Ia membenci asrama sekolah ini dan semua yang ada di dalamnya.
Ia benci ide gila Abak yang memaksanya masuk asrama perempuan hanya karena anggapan orang-orang bahwa Jelita terlalu liar. Hanya karena Jelita tidak mau sekolah formal, mereka menganggap Jelita tak punya masa depan. Menurut gadis berusia 15 tahun itu, sekolah formal hanya buang-buang waktu saja. Seluruh pelajaran yang diterimanya sejak SD dulu seperti tak ada gunanya jika ia ingin menjadi musisi. Waktu dan tenaga seharusnya bisa ia manfaatkan untuk menulis lirik lagu dan menciptakan untaian nada untuk channel YouTube-nya.
Selagi menunggu Abak berbincang dengan ibu kepala sekolah, mata Jelita menjelajah ke sekeliling. Asrama ini bakal jadi penjara indah baginya selama tiga tahun ke depan. Pagar sekolah tinggi menjulang hingga tiga meter dengan tanaman merambat di sisi dalamnya. Kelopak mawar berwarna-warni tumbuh subur menghiasi pinggiran taman dan sekitar kolam yang memiliki air mancur mungil di tengahnya. Pepohonan rindang serta kursi kayu panjang menyebar rata di beberapa area menjadi spot nyaman untuk para santri berbincang. Andai ini bukan sekolah, ia pasti akan langsung memetik gitar dan menciptakan sebuah lagu.
“Lita, Abak pulang, ya.” Suara lembut Abak menyadarkan lamunannya. Ia bergegas merapikan seragam dan kain jilbabnya. Ia menyiapkan senyum palsu paling manis. Namun yang ia tangkap bukanlah wajah sang ayah. Bukan pula pemandangan yang baru beberapa menit lalu ia lihat. Pemandangan yang sangat berbeda.
***
Mata Jelita membelalak. Sekolah yang tadi bergedung megah dengan dinding marmer serta cat biru muda berubah menjadi gedung tua yang sangat sederhana. Tak ada lagi taman indah di tengah lapangan. Patung huruf FA, lambang asrama Fatimah Azzahra yang seharusnya menjulang di depan air mancur juga menghilang dan tergantikan oleh pepohonan lebat dan beberapa sepeda ontel tua.
Belum selesai otaknya memproses apa yang sebenarnya terjadi, seorang santri yang mengenakan seragam sama persis dengannya menarik tangannya sambil berlari kencang.
“Jangan diam saja. Lekaslah!”
Secara refleks Jelita menuruti perintahnya. Ia mengikuti gadis itu berlari ke bagian belakang sekolah. Mata Jelita menangkap ruang kelas sederhana dengan meja dan kursi kayu memanjang serta papan tulis mungil yang disandarkan seadanya ke dinding. Beberapa santri lain bersembunyi di balik jendela kelas yang lebar dan tanpa penghalang. Terlihat jelas mereka sangat ketakutan. Sorot mata mereka memancarkan aura terintimidasi. Pasti ada sesuatu yang membuat kita semua harus sembunyi, tapi apa? Siapa?
Dari jauh ia melihat beberapa laki-laki mengenakan seragam khas kompeni. Kemeja ketat dengan celana panjang bewarna cokelat susu. Sepatu bot tinggi berwarna hitam. Tak lupa pula, senjata laras panjang yang mereka sandang di sisi lengan. Oh, mereka tentara Belanda. Namun, mau apa mereka ke sekolah putri, pikir Jelita.
Setelah sampai di ruangan kecil paling ujung lorong sekolah ini, gadis tadi buru-buru menarik Jelita masuk dan mengunci pintu ruangan rapat-rapat. Tak hanya mereka berdua, ada juga tiga santri lain yang sama ketakutannya dengan seluruh santri yang ia lihat di luar tadi.
“Gawat, mereka hendak membawa Uni Rasuna.” Gadis yang menyeret Jelita tadi buka suara. Ia masih terengah-engah habis berlari kencang.
“Benarkah mereka membawa pistol, Ais?” tanya gadis yang berdiri di dekat jendela, berusaha mengintip situasi di luar. Ia menyibakkan sedikit gorden tipis di pinggir jendela untuk mengamati keadaan di luar.
“Bertujuh dan mereka semua membawa senapan! Memangnya Uni Rasuna berbuat apa sampai harus ditangkap Belanda. Kita ‘kan hanya menyuarakan pendapat.” Ais, nama gadis yang menarik Jelita tadi, ikut terbawa emosi.
Jelita memandang mereka berempat dengan penuh keheranan. Dilihat dari situasi saat ini, sepertinya Uni Rasuna yang sedang mereka bicarakan terlibat urusan serius yang membuatnya harus ditangkap kompeni. Keempat santri ini terlihat gelisah dan emosional dengan keselamatan Uni Rasuna.
Ruangan ini sepertinya markas kecil mereka. Seisi dinding dipenuhi kliping koran dan gambar-gambar kegiatan santri di sekolah ini. Beberapa quote juga tergantung di antara lembaran-lembaran itu. Quote yang sangat memotivasi untuk menuntut ilmu sebagaimana yang sering ia lihat di Pinterest. Sebuah tulisan besar terpasang di atas papan tulis kayu berukuran 2×1 meter. Pelita Poetri. Ketidakadilan pada perempoean haroes dilawan!
Jelita yang belum begitu paham situasinya memilih untuk mendengarkan pembahasan mereka. Bagaimana pun juga, ia belum sepenuhnya mengerti mengapa dirinya yang tadi masih asyik menikmati pemandangan taman asrama di puncak bukit Agam tiba-tiba berpindah ke puluhan waktu silam dan harus terjebak perseteruan dengan tentara Belanda.
Tujuh orang tentara Polieteke Inlichtingen Diesnt atau PID yang merupakan tentara rahasia Hindia Belanda menangkap Uni Rasuna atas tuduhan Speek Delict. Sebuah hukum kolonial Belanda yang menyatakan bahwa siapapun yang berani menentang Belanda akan dihukum. Hukuman yang diberikan beragam, kebanyakan adalah dipenjara atau dibuang ke pulau terpencil.
“Kudengar mereka akan memenjarakan Uni ke Jawa Tengah. Aku tak tahu di mana tepatnya,” ucap santri yang bersandar ke papan tulis itu. Ia terdengar putus asa bagaimana mencari cara menyelamatkannya.
“Kalau benar Uni sampai dibawa ke Jawa, kita tak akan bisa bertemu Uni lagi.” Ais mulai terisak. Santri yang lain mendekatinya dan menepuk pundaknya, berusaha menenangkan Ais yang meneteskan air mata ke pipi.
“Lalu kenapa kita berdiam diri di sini? Tidakkah seharusnya kita keluar dan mencegah mereka memenjarakan Uni?”
Sejujurnya Jelita tak sadar atas apa yang baru saja ia katakan. Tiba-tiba saja, ia begitu lantang berteriak dan nekat mengajak santri yang sepertinya teman akrabnya itu untuk menyelamatkan Uni Rasuna. Jelita belum tahu bagaimana cara mencegah tentara PID membawa Uni tapi setidaknya ia harus mencoba melakukan sesuatu daripada berdiam diri di ruangan ini.
Jelita tak menunggu jawaban apa pun dari mereka. Ia tak butuh persetujuan mereka untuk membuka kunci pintu ruangan dan segera berlari keluar. Berlari sekencang yang ia bisa untuk mencegah Uni Rasuna yang bahkan belum dikenalnya. Melihat dari kliping dan lembaran majalah Pelita Poetri yang ia baca di ruangan tadi, sepertinya Uni Rasuna adalah inisiator sekolah diniyah untuk perempuan dan juga penggagas majalah ini. Jelita bisa melihat dari tulisan-tulisan Uni Rasuna bahwa ia adalah seorang orator yang begitu lantang menyuarakan ketidakadilan pendidikan untuk perempuan serta kesemena-menaan para penjajah pada bangsa Indonesia. Pantas saja PID menangkapnya. Beliau dianggap berbahaya jika membangkitkan semangat nasionalisme dan justru bersatu melawan Hindia Belanda.
Petaka mengudara mengurai awan kelabu
Menghujamkan air mata pada bumi yang tersesak haru
Sang pemberani itu terkungkung jeruji tertodong belati
Kerudung putihnya melambai, bukan tuk menyerah
Tuk melawan nurani penjajah yang tlah lama musnah
Langkah Jelita terhenti saat melihat sosok pejuang itu yang ditarik paksa kompeni. Punggung pejuang wanita itu ditodong senapan. Jelita tak bisa diam saja melihat kesemena-menaan ini. Ia meraih sapu ijuk yang tergeletak di dekat tempah sampah. Dengan sekuat tenaga, ia berlari mengejar tentara PID dan memukul kepalanya dengan sapu ijuk. Tak cukup satu tentara, ia mengarahkan pukulannya ke tentara yang lain. Jelita membabi buta menghajar mereka hingga akhirnya lengannya dicengkeram tentara lain.
Sapu ijuk tadi diraih paksa dan dilempar ke tanah. Mata kompeni itu menatap Jelita penuh murka. “Jangan ikut campur!”
Ia mendengar teriakan Ais dan ketiga santri lain dari belakang. Mereka memanggil namanya dan nama Uni Rasuna yang terus saja para kompeni itu seret. Samar-samar Jelita mendengar pesan Uni Rasuna pada mereka, “Jangan menyerah. Lanjutkan perjuangan kalian. Insya Allah, kemenangan di tangan kita.”
***
Jelita membolak-balik lembaran buku di perpustakaan. Mimpinya tadi siang saat tak sengaja ketiduran di kursi taman sembari menunggu Abak berbincang dengan ibu kepala sekolah terasa begitu nyata. Satu hal yang kemudian ia ketahui, Uni Rasuna yang tadi ditemuinya dalam mimpi, pernah bersekolah di sini. Uni Rasuna akhirnya tetap dipenjara di Semarang, Jawa Tengah. Namun, itu tak menyurutkan perjuangannya sebagaimana pesanya pada kami.
Jelita memandangi wajah lembut berkerudung putih yang sekarang ada di lembaran buku yang sedang ia pegang. Kacamata bulat yang membingkai kedua bola matanya memancarkan integritas dan intelektualitas. Dalam hati, Jelita bangga pernah mengenal sosok pahlawan perempuan luar biasa seperti Uni Rasuna walaupun hanya dalam mimpi.
Biodata Penulis:
Ulul Ilmi Arham lahir di Padang, 22 April 1992. Gemar menulis sejak SMA saat bergabung di Media Smansa. Beberapa karyanya sudah dibukukan dalam antologi cerpen dan puisi serta di laman instagram pribadinya. Sebagai penulis pemula, ia membutuhkan banyak kritik dan saran dari pembaca yang dapat dilayangkan ke instagram @ululilmiarham atau email ululilmiarham@gmail.com
Belajar Sejarah Melalui Cerpen
Oleh: M. Adioska
(Anggota FLP Sumbar dan Guru di Bukittinggi)
Tarigan (1984:138) menyatakan bahwa cerpen adalah cerita rekaan yang masalahnya singkat, jelas, padat, dan terkonsentrasi pada suatu peristiwa atau kejadian. Dari pengertian di atas, dapat dilihat bahwa sebuah cerpen terikat oleh masalah yang tidak terlalu berbelit dan hanya fokus pada satu kejadian penting saja. Ruang yang sempit ini memberikan tantangan tersendiri bagi para pengarang sebab mereka dituntut untuk senantiasa menawarkan sesuatu yang -jikapun tidak baru- berbeda dari cerpen-cerpen sebelumnya.
Hal ini bertujuan agar apa yang mereka tulis menjadi menarik dan tidak terkesan mengulang cerpen yang sudah ada. Dengan demikian, para pembaca akan tertarik untuk menyelesaikan setiap narasi yang diciptakan oleh pengarangnya tersebut. Melalui proses kreatif yang dilaluinya, para pengarang senantiasa mampu menciptakan berbagai cerita yang berbeda dari satu peristiwa saja. Apakah itu dengan cara mengubah sudut pandang cerita, mengubah alur, atau dengan cara kreatif lainnya, di antara banyak cara tersebut. Salah satu alternatif untuk menciptakan sebuah cerita yang menarik adalah dengan mengangkat tema yang berbeda sebagai contohnya adalah dengan mengangkat tema sejarah.
Menjadikan tema sejarah sebagai tema sebuah cerpen bukanlah hal yang baru dalam dunia kepenulisan. Banyak penulis cerpen yang mengangkat kejadian nyata pada masa lalu tersebut sebagai dasar dalam pengembangan ceritanya. Hal ini menawarkan sesuatu yang menarik, bahkan memberikan pelajaran yang baru bagi pembaca. Banyak fakta sejarah yang biasanya diungkap penulis dalam tema ini dan itu baru diketahui oleh pembaca saat menikmati karya tersebut.
Namun, di sisi lain mengangkat tema sejarah ini memberikan tantangan tersendiri bagi penulisnya. Dikutip bebas dari jejakpustaka.com, Risen Dhawuh Abdullah (2021) menyatakan bahwa pengarang yang mengangkat tema sejarah harus memperhatikan tiga hal supaya tidak terjebak pada hal yang menjemukan. Ketika hal tersebut adalah menggunakan sudut pandang baru, mendetailkan fakta dan data latar tempat, suasana serta waktu, dan terakhir adalah pemilihan peristiwa atau zaman sejarah akan ditulis.
Sejalan dengan pemaparan di atas, kolom Kreatika minggu ini mengangkat sebuah cerpen dengan judul “Terjebak Masa Lalu” karya Ulul Ilmi Arham. Cerpen ini mengangkat tema sejarah tentang perjuangan seorang Uni Rasuna saat melawan penjajah Belanda. Cerita dimulai ketika orang-orang menganggap tokoh Jelita memiliki sikap liar. Hal inilah yang menyebabkan abak memaksanya untuk melanjutkan pendidikan ke sebuah sekolah yang menyediakan asrama perempuan. Ia benci ide gila Abak yang memaksanya masuk asrama perempuan hanya karena anggapan orang-orang bahwa Jelita terlalu liar.
Saat menunggu abak–nya berbicara dengan kepala sekolah, Jelita ternyata tertidur dan jatuh ke alam mimpi. Dalam mimpinya, ia seakan terlempar ke kehidupan masa lalu asrama perempuan tersebut. Di situlah ia diceritakan terlibat dalam suasana asrama perempuan di masa penjajahan Belanda. Ia diceritakan menyaksikan proses penangkapan Uni Rasuna oleh PID yang merupakan tentara rahasia Belanda pada masa itu. Saat menyaksikan kejadian demi kejadian dalam mimpinya tersebut, Jelita diceritakan tidak mengerti apa yang sedang terjadi, bahkan ia sendiri tidak kenal dengan Uni Rasuna. Namun, dengan membaca sekilas kliping-kliping yang ditempel di ruangan tempat ia dan temannya bersembunyi, Jelita dapat menyimpulkan bahwa Uni Rasuna adalah pelopor berdirinya sekolah Diniyah. Melihat dari kliping dan lembaran majalah Pelita Poetri yang ia baca di ruangan tadi, sepertinya Uni Rasuna adalah inisiator sekolah diniyah untuk perempuan dan juga penggagas majalah ini.
Secara umum, cerpen ini disajikan dengan menggunakan bahasa yang ringan sehingga cenderung mudah dipahami oleh pembaca. Selain itu, pengarang mampu membangun rentetan kejadian menjadi sebuah alur yang menarik. Pengarang dengan cerdas berhasil menceritakan sejarah dengan cara memasukkannya ke dalam cerita berupa mimpi. Hal ini memberikan ruang bebas bagi pengarangnya untuk mengeksplorasi daya khayal tanpa terikat oleh fakta sejarah yang sebenarnya, baik berupa tokoh sejarah, percakapan-percakapan antartokoh, ataupun kejadian lainnya. Sebab yang namanya mimpi tentu tidak dapat dibuktikan secara ilmiah sehingga melalui cara inilah pengarang akhirnya berhasil membangun cerita dengan memasukkan unsur sejarah.
Di sisi lain, mengacu pada tiga hal yang harus diperhatikan dalam membuat cerpen sejarah di atas, terlihat pengarang berhasil menggunakan sudut pandang baru dalam pengembangan ceritanya. Hal ini terlihat melalui tokoh Jelita yang merupakan pelajar masa sekarang yang tiba-tiba terbangun dalam dunia mimpi beberapa puluh tahun ke belakang. Dengan sikap spontan dan tanpa pikir panjang khas remaja masa kini, ia langsung memberikan perlawanan atas kejadian penangkapan Uni Rasuna. Barangkali, perlawanan spontan oleh seorang pelajar dan perempuan pula, tidak akan ditemukan pada penjajahan Belanda di kala itu.
Namun di sisi lain, fakta yang ingin digambarkan dalam cerpen ini tampaknya perlu ditambahkan lagi, terutama mengenai tokoh Uni Rasuna. Tokoh Uni Rasuna serta bentuk perjuangannya tidak tergambar begitu jelas dalam penceritaannya, bahkan siapa Uni Rasuna itu sendiri tampaknya perlu sedikit penjelasan, sebab tidak semua pembaca, terutama dari luar Sumatera Barat, yang mengetahui Uni Rasuna. Sikap Jelita dan tokoh dalam cerita tersebut yang mau membela Uni Rasuna mati-matian akan menjadi pertanyaan besar bagi pembaca. Hal ini akan berbanding terbalik dengan pembaca yang sudah mengenal Uni Rasuna. Dengan hanya menyebut Uni Rasuna akan langsung membawa ingatan mereka kepada sosok Rasuna Said sehingga mereka akan paham kenapa Jelita dan tokoh lainnya bersedia membela Uni Rasuna meski harus melawan tentara Belanda hanya dengan sapu ijuk.
Akhirnya, selamat kepada Ulul Ilmi Arham karena telah berhasil melahirkan sebuah karya dengan tema yang menantang.
Bukittinggi, November 2021
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com