Di Sini Setelah Hujan
Cukup lama musim bercerita tentang ladang-ladang dan tanah-tanah dengan retaknya lalu sehelai demi sehelai daun meninggalkan ranting yang mengacung kering menunjuk matahari serasa berbisik “masih adakah harapan untuk menemui gerimis esok hari” lalu kutemui kau saat ini.
Di sini setelah hujan gazebo sepi lembab menghadap sungai menanti harapan menjadi tunas tunas kenyataan
Aku tak akan pernah mengerti dan mungkin juga kau seperti sungai yang dialiri air yang keruh ikan-ikan dan kehidupan di balik bebatuan punya keluhnya sendiri mungkin juga sampah sampah yang hanyut dari hulu namun semuanya akan bermuara juga seperti pengharapan yang mengalir dalam jiwa kita
Pariaman, 9 September 2019
Penerimaan
Musim telah mempertemukan
Jangkar telah ditarik ke geladak dan layar telah terkembang untuk sama sama arungi bahtera tentu jua dengan angin di buritan ataupun gelombang yang akan menghadang
Kita tak pernah tahu kesudahannya namun setiap pelayaran tentu berlabuh jua dan setiap aliran tentu mempunyai muara
Mencintai api harus siap dengan panasnya menyayangi air harus ikhlas dengan basahnya
Adakah setulus pelabuhan menerima segala yang datang ketika sauh dan jangkar dibuang atau harapan sama sama bersemayam di tengah lautan
Pariaman, 9 September 2021
Sukma
Ini tentang kita
Tentang jiwa-jiwa yang pasrah
dalam keihlasan untuk menerima
Lalu sebuah takdir mempertemukan
Antara ruh dan jiwa
Tentang hati yang sering ditutupi rasa
yang tersembunyi dan jiwa tak berharap luka
bersemayam dalam dada
Aku hanyalah tulang tulang dari tanah tanah hitam
Lalu belajar untuk mencari Tuhan
Dari qalbumu yang disinari ayat-ayat iman
Ini tentang kita
Tentangmu dengan segala benderangnya
Dan tentangku dengan segala gelapnya
Lalu kunang-kunang menjadi pelengkap kudusnya
jiwa kita dalam pencarian
Menuju ridho-Nya
Pariaman, 9 September 2021
Djoe HT Bagindo lahir dengan nama Hendri Tanjung yang ia sematkan dalam nama penanya (HT). Ia lahir tanggal 7 April di Kabun Sunur, Pariaman, Sumatra Barat. Ia hobi menulis sejak di bangku Sekolah Menengah Tingkat Pertama. Setelah menamatkan SLTA, ia sempat menimba ilmu di Fakultas Bahasa Sastra dan Seni (FBSS) UNP. Saat ini bergabung dalam beberapa komunitas kepenulisan, baik online maupun offline antara lain FLP Sumbar, Komunitas Penyair Indonesia KOPI 45, komunitas Republik Penyair ( Video Puisi indonesia), KOPI dan beberapa kumunitas literasi lainya untuk menyalurkan hobi. Beberapa puisinya sempat diterbitkan di media cetak lokal dan oline antara lain di Singgalang dan Scientia.id. Cerpen berjudul Tas tergabung dalam antologi (surat dari hujan), Ning (pukah dan rekah). Saat ini penulis bekerja sebagai tenaga pengajar Sekolah Dasar di daerah kelahirannya dan aktif di media sosial dengan akun FB @Padi Salibu/hendri-tanjung hendritanjung700@gmail.com, WA: 082392164891
Getar Suara dalam Puisi
Oleh: Ragdi F. Daye
(buku terbaru yang memuat puisinya Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian, 2021)
Aku hanyalah tulang tulang dari tanah–tanah hitam
Lalu belajar untuk mencari Tuhan
Dari qalbumu yang disinari ayat–ayat iman
TS Eliot, penyair modernis terkemuka yang meraih Hadiah Nobel Sastra tahun 1948 mengungkapkan ada tiga suara dalam puisi (2020); Pertama, suara penyair yang berbicara pada dirinya sendiri atau tidak kepada siapa pun. Suara kedua adalah suara penyair yang diarahkan pada pendengar. Suara ketiga adalah suara penyair ketika berusaha membuat watak dramatik berkata dalam bentuk sajak, sebagai satu tokoh imajiner yang berkata pada tokoh imajiner lain di dalam puisi.
Eliot mencontohkan karya Shakespeare yang merupakan karya dramatis puitis agung yang mampu membangun sebuah dunia. Setiap karakter berbicara pada dirinya sendiri. Jika kita akan mencari Shakespeare, kita akan menemukannya hanya dalam karakter-karakter yang diciptakannya. Satu-satunya hal umum tentang karakter-karakter tersebut adalah bahwa tak ada satu pun kecuali Shakespeare yang bisa menciptakan masing-masing dari mereka. Dunia seorang dramatis puitis adalah sebuah dunia tempat sang pencipta di mana-mana hadir dan di mana-mana bersembunyi.
Hari ini, Kreatika kembali menghadirkan Djoe HT Bagindo dengan puisi-puisinya yang romantis. Ketiga puisi tersebut berjudul “Di Sini Setelah Hujan”, “Penerimaan”, dan “Sukma”. Bagi yang mengenal dan mengetahui kehidupan sosial sang penyair, tentu akan punya kesan khusus atas puisi ketiga yang berjudul “Sukma”.
Jika dihubungkan dengan pemikiran Eliot di atas tentang puisi, kita akan menemukan bentuk-bentuk perkataan yang merepresentasikan beberapa kemungkinan suara, yakni suara penyair kepada karakter nyata yang dikenalnya, sekaligus suara karakter yang direka untuk penciptaan suasana puitis.
Pada puisi pertama, ada ‘aku’, ‘kau’, dan ‘kita’ yang sepertinya sama dengan ‘aku’, ‘kau’, dan ‘kita’ pada dua puisi lainnya. Ketiga puisi sama-sama menampilkan perkataan sosok ‘aku’ kepada sosok ‘kau’ tentang keadaan dan peristiwa-peristiwa kehidupan di antara mereka. Seperti bait ini: ‘Cukup lama musim bercerita tentang ladang-ladang dan tanah-tanah dengan retaknya lalu sehelai demi sehelai daun meninggalkan ranting yang mengacung kering menunjuk matahari serasa berbisik “masih adakah harapan untuk menemui gerimis esok hari” lalu kutemui kau saat ini.’ Yang disambung bait ‘Aku tak akan pernah mengerti dan mungkin juga kau seperti sungai yang dialiri air yang keruh ikan ikan dan kehidupan di balik bebatuan punya keluhnya sendiri mungkin juga sampah sampah yang hanyut dari hulu namun semuanya akan bermuara juga seperti pengharapan yang mengalir dalam jiwa kita’. Penyair melalui dialognya kepada seorang ‘kau’ menyampaikan perihal harapan yang senantiasa ada dalam kehidupan manusia. Harapan yang disimbolkan dengan daun dan ranting yang menhadapi rintangan, seperti musim kering yang meretakkan tanah.
Puisi kedua tampak sebagai episode lanjutan dari harapan ranting kering di tanah retak: ‘Musim telah mempertemukan/Jangkar telah ditarik ke geladak dan layar telah terkembang untuk sama sama arungi bahtera tentu jua dengan angin di buritan ataupun gelombang yang akan menghadang/Kita tak pernah tahu kesudahannya namun setiap pelayaran tentu berlabuh jua dan setiap aliran tentu mempunyai muara’. Namun diksi yang digunakan pada puisi ini beralih dari wilayah agraris ke maritim dengan masuknya kata ‘jangkar’, ‘geladak’, ‘sauh’, ‘gelombang’, dan ‘lautan’. Rangkaian-rangkaian struktur bahasa membangun imaji tentang pelayaran. Suasana krisis yang dihadapai karakter ‘aku’ pada puisi pertama menempuh babak baru yang lebih cerah dengan terjadinya pelayaran dengan ‘kau’. Meskipun telah datang harapan baru, namun’aku’ tetap memiliki kecemasan akan kondisi setelah itu: ‘Mencintai api harus siap dengan panasnya menyayangi air harus ikhlas dengan basahnya/Adakah setulus pelabuhan menerima segala yang datang ketika sauh dan jangkar dibuang atau harapan sama sama bersemayam di tengah lautan’. Kecemasan itu akan terjawab setelah pelayaran ditempuh.
Apabila ‘aku’ dan ‘kau’ pada puisi kedua perlu diberi lampu sorot agar lebih terang, puisi ketiga menyediakannya. Pada puisi ketiga ini, penyair berusaha menjelaskan tokoh ‘aku’ dan ‘kau’: Ini tentang kita/ Tentang jiwa jiwa yang pasrah/ dalam keihlasan untuk menerima/ Lalu sebuah takdir mempertemukan/ Antara ruh dan jiwa’. Penyair menjelaskan bahwa ‘aku’ dan ‘kau’ adalah jiwa-jiwa yang pasrah penuh leikhlasan menerima takdir yang mempertemukan mereka. Siapakah mereka? Berdasarkan kategori Eliot di atas, dapat dihubungkan pada suara penyair yang menyampaikan pesan kepada karakter lain supaya didengar. Sangat mungkin orang itu sosok realis di dalam kehidupannya. Suara penyair semakin kuat di bait terakhir sebagai persembahan kepada seseorang:
Ini tentang kita
Tentangmu dengan segala benderangnya
Dan tentangku dengan segala gelapnya
Lalu kunang-kunang menjadi pelengkap kudusnya
jiwa kita dalam pencarian
Menuju ridho-Nya.
Apakah puisi-puisi ini ditujukan penyair untuk mengungkapkan isi hatinya kepada seseorang—atau beberapara orang—penting di dalam kehidupannya? Sebuah puisi memiliki keniscayaan soal itu walau dapat diinterpretasikan berbeda oleh setiap pembacanya. Sebab puisi memiliki daya refleksi yang membuat setiap pembaca dapat bercermin tentang pengalaman hidup masing-masing.
Selamat menempuh hidup baru, Hendri dan Sukma. Barakllahu![]
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post