Segala sesuatu dalam ilmu pengetahuan mempunyai tingkatan atau pola urutan, termasuk dalam ilmu kebahasaan. Urutan itu disebut hierarki. Hierarki merupakan posisi yang menunjukkan pola urutan di antara satuan lingual atau satuan kebahasaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hierarki diartikan sebagai urutan tingkatan atau jenjang jabatan (pangkat kedudukan). Urutan tingkatan ini dalam bahasa disebut hierarki satuan kebahasaan atau hierarki satuan lingual.
Hierarki bisa diurutkan dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas atau dari tingkatan yang terkecil sampai tingkatan yang lebih besar. Hierarki dalam satuan kebahasaan atau satuan lingual diurutkan dari bawah ke atas atau dari tingkatan yang terkecil ke tingkatan yang lebih besar. Hierarki dalam satuan kebahasaan terdiri atas tujuh tingkatan, yaitu 1. fonem, 2. morfem, 3. kata/leksem, 4. frasa, 5. klausa, 6. kalimat, dan 7. wacana. Hierarki ini menjadi objek kajian dalam ilmu linguistik. Penjelasan dan contoh masing-masingnya dapat dilihat pada uraian di bawah ini.
Pertama, fonem. Fonem merupakan satuan bahasa terkecil yang tidak mengandung makna, tetapi bisa membedakan makna/ arti (Abidin, 2019:50), contoh fonem:
- batuk
- batak
- batik
- batok
Fonem [u, a, i, o] pada kata-kata di atas tidak ada artinya jika berdiri sendiri namun jika fonem tersebut berada dalam keempat kata di atas, ia dapat membedakan makna. Fonem [u, a, i, o] pada kata batuk, batak, batik, dan batok menyebab kata mempunyai makna atau arti yang berbeda.
Kedua, morfem. Ramlan (2008) menyebut morfem sebagai satuan gramatikal yang paling kecil dan tidak mempunyai satuan lain selain unsurnya. Alwasilah (1983) menyebut morfem sebagai satuan bahasa terkecil yang mempunyai arti. Jadi, morfem dapat didefinisikan sebagai bentuk bahasa terkecil yang tidak dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil atau kesatuan bahasa terkecil yang mengandung arti (Abidin, 2019:124). Morfem secara umum terbagi dua, yaitu morfem bebas dan morfem terikat. Morfem bebas adalah morfem yang dapat berdiri sendiri dan morfem ini dapat disebut dengan kata, contohnya makan, minum, mandi, senang, sedih, dan suka. Morfem terikat adalah morfem yang tidak dapat berdiri sendiri, contohnya imbuhan (afiks) me-, di-, ber-, ter-, se-, ke, dan sebagainya.
Ketiga, kata/leksem. Kata/leksem merupakan sebuah satuan bahasa yang mengandung makna secara semantik. Para ahli tata bahasa telah membagi kata-kata berdasarkan kelas kata sejak zaman Yunani dan Romawi. Pembagian kata-kata pada masa itu dikenal dengan pembagian kelas kata secara tradisional. Pembagian kelas kata secara tradisional terdiri atas 10 (sepuluh) kelas kata, yaitu verba (kata kerja), nomina (kata benda), ajektif (kata sifat), adverbial (kata keterangan), numeralia (kata bilangan), preposisi (kata depan), konjungsi (kata penghubung), pronomina (kata ganti), artikula (kata sandang), dan interjeksi (kata seru) (Abidin, 2019:128). Selain itu, kelas kata menurut versi ahli tata bahasa modern salah satunya dikemukakan oleh Chaer (2008). Chaer membagi kelas kata atas 11 (sebelas) kelas kata, yaitu nomina (kata benda), verba (kata kerja), ajektifa (kata sifat), adverbia (kata keterangan), pronomina (kata ganti), numeralia (kata bilangan), preposisi (kata depan), konjungsi (kata penghubung), artikulus (kata sandang), dan interjeksi (kata seru), dan partikel.
Keempat, frasa atau frase. Frasa adalah satuan linguistik yang secara potensial merupakan gabungan dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas subjek atau predikat dengan kata lain sifatnya tidak predikatif (Ramlan, 2001). Chaer (2004) dalam Abidin (2019:167) mendefinisikan frase sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis dalam kalimat. Contoh frase adalah sepeda baru, gadis cantik itu, Presiden Indonesia, Ratu Inggris, Para Pemimpin Negara Arab, sedang membaca, sangat suka, dan lain-lain.
Kelima, klausa. Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata berkontruksi predikatif. Kridalaksana (1994) dalam Abidin (2019:174) menyebut klausa sebagai satuan gramatikal berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek (S) dan predikat (P) serta mempunyai potensi menjadi kalimat.
Contoh klausa:
- ibu akan pulang ke Padang
- saya sedang makan
- Tiara merasa senang
- ia membaca buku di perpustakaan
- pergi kamu
Lima contoh klausa di atas berpotensi menjadi kalimat yang utuh dan semuanya memiliki unsur subjek (S) dan predikat (P), bahkan ada yang memiliki unsur objek (O) dan keterangan (K). Untuk mengubah semua klausa di atas menjadi kalimat, kita hanya perlu mengubah huruf awal dengan huruf kapital dan mengakhirinya dengan salah satu tanda baca, seperti tanda titik (.), tanda tanya (?), atau tanda seru (!).
Keenam, kalimat. Kalimat adalah kumpulan kata-kata yang saling berhubungan dan memenuhi unsur subjek, predikat, dan objek. Ini pengertian kalimat dalam tata bahasa tradisional, sedangkan dalam perspektif ilmu bahasa kalimat didefinisikan sebagai kesatuan bahasa yang diakhiri intonasi akhir yang telah memiliki informasi lengkap dengan ciri-ciri sebagai berikut:
- Dalam bahasa lisan, kalimat diawali dengan kesenyapan dan diakhir dengan kesenyapan, sedangkan dalam bahasa tulis, kalimat diawali huruf kapital dan diakhir dengan tanda baca (tanda titik (.) , tanda tanya (?), atau tanda seru (!).
- Mengandung informasi utuh.
- Mengandung urutan logis atau setiap kata dan kelompok kata mendukung fungsi subjek, predikat, objek, dan keterangan yang disusun menurut fungsinya.
- Mengandung satuan makna, ide, dan pesan yang jelas.
Contoh kalimat dapat dilihat di bawah ini:
1. Kalimat Tunggal
- Andi membaca buku.
- Nana sangat cantik.
2. Kalimat Majemuk Setara dan Bertingkat
- Andi membaca buku dan Toni menonton televisi. (kalimat majemuk setara)
- Adik belajar dengan rajin agar lulus ujian. (kalimat majemuk bertingkat)
3. Kalimat Mayor dan Kalimat Minor
- Kakak menyiram bunga. (kalimat mayor)
- Paman saya berangkat kerja. (kalimat mayor)
- Wah, indahnya! (kalimat minor)
- Aduh, sakit ! (kalimat minor)
Masih banyak lagi pembagian kalimat berdasarkan pendapat para ahli. Setiap ahli bahasa mengelompokkan jenis kalimat dengan jumlah yang berbeda-beda namun tetap berpijak pada ciri-ciri utama kalimat bahwa kalimat dalam tulisan selalu diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca serta mengandung informasi yang utuh dan struktur yang benar dan dalam lisan, kalimat dimulai dengan kesenyapan dan diakhiri dengan kesenyapan.
Ketujuh, wacana. Wacana dalam hierarki kebahasaan berada pada tingkatan yang paling besar dan paling tinggi (Kridalaksana, 1984:334; Mulyana, 2020:9). Wacana disebut sebagai satuan gramatikal sekaligus objek kajian linguistik yang mengandung semua unsur kebahasaan yang diperlukan dalam berkomunikasi. Dalam sebuah wacana, terkandung semua satuan kebahasaan yang sudah dijelaskan dari tingkatan pertama sampai tingkatan keenam di atas, mulai dari fonem, morfem, kata/leksem, frasa, klausa, dan kalimat.
Wacana juga dibagi atas beberapa jenis. Para ahli bahasa juga berbeda pandangan soal pembagian jenis wacana. Salah satu ahli bahasa yang membagi jenis wacana, yaitu Mulyana (2020:73-102). Ia membagi jenis wacana atas 6 (enam), yaitu 1. wacana berdasarkan bentuk (naratif, prosedural, ekspositori, hortatori, dramatik, epistoleri), 2. wacana berdasarkan media penyampaian (lisan dan tulisan), 3. wacana berdasarkan jumlah penutur (monolog dan dialog), 4. wacana berdasarkan sifat (fiksi dan nonfiksi), 5. wacana berdasarkan isi (politik, sosial, ekonomi, budaya, militer, hukum, olahraga dan kesehatan, pendidikan), dan 6. wacana berdasarkan gaya dan tujuannya (wacana iklan). Untuk lebih jelas, contoh wacana dapat dilihat di bawah ini.
Contoh Wacana Naratif
Tiga hari belakangan media massa dipenuhi oleh berita berpulangnya pemimpin Inggris, Ratu Elizabeth II. Berbagai informasi tentang Sang Ratu menjadi pemberitaan hangat di media massa, mulai dari kehidupan pribadinya, hobinya, prestasi atau pencapaian selama masa kepemimpinannya. Ratu yang berkuasa selama 70 tahun itu berpulang pada tanggal 08 September 2022 dalam usia 96 tahun di Kastil Balmoral, Skotlandia.
Contoh wacana di atas merupakan jenis wacana narasi yang isinya menceritakan atau menarasikan berita berpulangnya Ratu Elizabeth. Di dalam wacana narasi di atas, semua hierarki satuan lingual bisa diidentifikasi satu per satu, mulai dari fonem hingga kalimat. Contoh fonem salah satunya adalah Ratu yang merupakan gabungan bunyi [r.a.t.u], contoh morfem salah satunya menceritakan yang berasal dari proses morfologis afiksasi berupa penggabungan morfem bebas/morfem dasar cerita dengan morfem terikat/imbuhan {me-kan}, contoh kata/leksem contohnya: berita, masa, tahun, contoh frasa: Sang Ratu, media massa, Kastil Balmoral, contoh klausa: sang Ratu menjadi pemberitaan hangat di media massa, dan contoh kalimat: Tiga hari belakangan media massa dipenuhi oleh berita berpulangnya pemimpin Inggris, Ratu Elizabeth II.
Contoh Wacana Hukum atau Regulatori
Bahwa berdasarkan pasal 109 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pemerintah Provinsi berwenang menetapkan peraturan daerah sebagai pedoman bagi Kabupaten/Kota dalam menetapkan Nagari sebagai penyelenggara pemerintahan berdasarkan hukum adat, khususnya terkait dengan susunan kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa jabatan kapalo nagari; (Perda Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 tentang Nagari, hlm.1)
Contoh yang kedua merupakan contoh wacana berdasarkan isi, yaitu wacana hukum atau regulatori. Dalam wacana hukum, dapat kita lihat fonem, morfem, kata/leksem, frasa, klausa, dan kalimat yang digunakan sehingga menjadi sebuah wacana hukum yang mengandung informasi hukum dan menggunakan istilah khusus dalam bidang hukum.
Fonem dalam wacana hukum di atas dapat diidentifikasi, misalnya pasal berasal dari gabungan fonem [p.a.s.a.l], morfem dapat diidentifasi salah satunya pada kata menetapkan yang merupakan gabungan morfem dasar tetap dan imbuhan atau afiks {me-kan}, lalu kata/leksem pada wacana di atas juga dapat diidentifikasi, seperti pedoman, adat, jabatan, desa, dan lainnya. Selanjutnya, frasa dapat diidentifikasi melalui contoh berikut: peraturan daerah, hukum adat, Kapalo Nagari, pemerintah provinsi. Klausa juga dapat diidentifikasi dalam wacana hukum di atas, contohnya Pemerintah Provinsi berwenang menetapkan peraturan daerah sebagai pedoman bagi Kabupaten/Kota, dan kalimat dapat diidentifikasi melalui keseluruhan wacana di atas. Bahwa berdasarkan pasal 109 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pemerintah Provinsi berwenang menetapkan peraturan daerah sebagai pedoman bagi Kabupaten/Kota dalam menetapkan Nagari sebagai penyelenggara pemerintahan berdasarkan hukum adat, khususnya terkait dengan susunan kelembagaan, pengisian jabatan, dan masa jabatan kapalo nagari.
Ketujuh hierarki satuan kebahasaan di atas tidak bisa dianggap remeh karena berperan besar dalam membangun jalinan komunikasi yang membuat manusia saling terhubung satu sama lain dalam membangun peradaban dunia. Demikian penjelasan tentang hierarki satuan kebahasaan atau tingkatan satuan lingual dalam ilmu bahasa. Semoga mencerahkan.