Alex Darmawan, S.S., M.A.
(Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)
Indonesia memiliki beraneka ragam budaya yang merupakan kekayaan bangsa. Keanekaragaman budaya ini perlu dilestarikan dan dikembangkan secara terus-menerus guna meningkatkan pembangunan ketahanan budaya. Ragam budaya itu merupakan cerminan sikap dan pola hidup masyarakat secara turun-temurun. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi warisan yang sangat berharga pada masyarakat pendukungnya.
Minangkabau sebagai bagian masyarakat Indonesia, tentunya memiliki kebudayaan tersendiri, seperti halnya masyarakat Indonesia lainnya. Masyarakat Minangkabau adalah sebutan untuk sekelompok masyarakat yang mendiami sebagian besar daerah Provinsi Sumatera Barat. Salah satu ciri yang melekat pada masyarakat Minangkabau adalah masyarakatnya yang dinamis, yang memandang perubahan sebagai sebuah peristiwa biasa dan wajar-wajar saja (Sairin, 2002).
Tidak bisa disangkal lagi dalam dasawarsa terakhir ini kesadaran orang menggali kembali kearifan lokal (Local Wisdom) yang ada pada kelompok atau suku bangsa tertentu lebih intens. Informasi mengenai pengetahuan lokal itu didapat dan diperoleh dengan berbagai cara, salah satunya ialah dengan meneliti bahasa yang mereka pakai dalam berbagai ranah. Dalam bahasa terdapat sejumlah leksikon/kosakata dan bentuk ekspresi lain yang dapat memberikan petunjuk dan informasi berharga mengenai bagaimana masyarakat penutur memikirkan dunianya,seperti tradisi Balimau. Tradisi ini mewakili cerminan sikap, pandangan, dan pola hidup masyarakat Minangkabau.
Kata Balimau terdiri atas satu kata limau ‘jeruk’ yang mendapat imbuhan {ba-} yang bermakna aktivitas. Dalam terminologi orang Minangkabau, Balimau adalah mandi mensucikan diri (mandi wajib) dengan limau (jeruk nipis) ditambah ramuan alami beraroma wangi dari daun pandan, bunga kenanga, dan akar tanaman gambelu yang semuanya direndam dalam air hangat, lalu dioleskan ke kepala. Makna dari tradisi Balimau adalah untuk kebersihan hati dan tubuh manusia dalam rangka mempersiapkan diri untuk melaksanakan ibadah puasa.
Tradisi Balimau awalnya dilakukan sebagai jelang-menjelang antara dua atau lebih kerabat. Seperti lazimnya orang yang nikah, menjelang orang tua/mertua. Tujuannya agar orang yang didatangi membersihkan dan mensucikan diri. Namun, tempatnya tidak dilakukan di tempat umum. Inti dari tradisi Balimau itu adalah dalam rangka mempererat tali silaturrami, mensucikan diri sejalan dengan ajaran agama Islam (Sumber: Suhendri Datuk Siri Maharajo, Ninik Mamak di Nagari Balingka Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam).
Dari sudut pandang arti secara leksikal, kata Balimau dalam bahasa Minangkabau di atas tampak sederhana, tetapi dalam konteks pemahaman budaya sangat kompleks. Ini dikarenakan adanya kaitan erat dengan cara pandang penutur bahasa tersebut. Dalam menamai sesuatu, pemakai bahasa memasukkan konsep yang dinamai dalam kategori tertentu. Oleh karena itu, tidak heran jika ilmu yang mengkaji masalah makna yakni semantik sering diartikan sebagai studi analisis terhadap perspektif-perspektif yang terkristalisasikan dalam kata, di mana antara kata dan sesuatu yang disebut dengannya terdapat sesuatu proses khusus konstruksi realitas.
Lebih jauh, pikiran kita tidak hanya memantulkan struktur realitas secara pasif, melainkan secara lebih aktif dan positif melihat realitas dan sudut pandang tertentu, dan dengan realitas mental inilah realitas ada bagi kita. Setiap kata mewakili satu kategori lingual terhadap realitas nonlingual, salah satunya tradisi Balimau. Kategori ini dilakukan atas dasar suatu prinsip yang terbentuk secara historis dan kultural. Kata yang dipakai mewakili suatu pandangan tertentu di dalamnya kita melihat dunia, dan apa yang disebut konsep tidak lain adalah kristalisasi pandangan subjektif terhadap kata tersebut. Akan tetapi, sifat pandangan ini adalah sosial, milik dari keseluruhan masyarakat bahasa yang ditransmisikan dari generasi ke generasi (Cann, 1993:1).
Menurut Chaer (2003:310-312), pada masa yang relatif singkat, makna sebuah kata akan tetap sama, tetapi dalam kurun waktu relatif lama ada kemungkinan makna sebuah kata akan berubah. Dalam hal ini, ada kemungkinan tidak berlaku untuk semua kosa kata yang terdapat pada sebuah bahasa melainkan hanya terjadi pada sebuah kosakata saja. Hal tersebut terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain; 1. Perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi, 2. Perubahan sosial budaya, 3. Perbedaan bidang pemakaian, 4. Pertukaran tanggapan indera, dan 5. Adanya asosiasi..
Berdasarkana pendapat Chaer di atas, kata Balimau mengalami perubahan makna dari makna sebelumnya. Tradisi Balimau tidak lagi dipahami sebagai tradisi untuk kebersihan hati dan tubuh manusia dalam rangka mempersiapkan diri untuk melaksanakan ibadah puasa, melainkan sudah beranjak kepada tradisi mandi bersama di tempat umum, berkumpul, beramai-ramai dengan menggunakan kendaraan, berkeliling kota sehari sebelum Ramadan tiba.
Perubahan makna tradisi Balmau disebabkan oleh adanya perubahan sosial budaya masyarakat Minangkabau dalam merespon perkembangan zaman. Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola hidup suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan ini terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan. Perubahan sosial budaya terjadi kerena beberapa faktor, di antaranya cara dan pola pikir masyarakat, perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi, bencana alam, peperarangan, dan pengaruh kebudayaan lain.
Perubahan sosial budaya dan perubahan budaya merupakan dua hal yang sulit bahkan tidak bisa dipisahkan, karena perubahan budaya bisa ditimbulkan akibat perubahan sosial atau juga sebaliknya perubahan sosial bisa timbul akibat perubahan budaya. Para ahli sosiologi pernah mengklasifikasikan masyarakat menjadi masyarakat yang statis dan dinamis. Masyarakat statis merupakan masyarakat yang mengalami sedikit sekali perubahan dan perubahan itu berjalan lambat. Adapun masyarakat dinamis merupakan masyarakat yang mengalami berbagai perubahan secara cepat. Oleh karena itu, pada masa tertentu, suatu masyarakat dapat dianggap sebagai masyarakat yang statis, sedangkan masyarakat lainnya dianggap sebagai masyarakat dinamis. Segala perubahan yang terjadi tidak selalu berarti kemajuan (progress),namun dapat pula berarti sebagai kemunduran (regress).
Dalam konteks masyarakat Minangkabau, perubahan makna terhadap tradisi Balimau yang disebabkan oleh perubahan sosial budaya menunjukkan bahwa masyarakat Minangkabau itu adalah masyarakat yang dinamis, yang bergerak menuju perubahan. Hal yang perlu dipahami, bagaimanapun tradisi budaya yang hidup dalam suatu masyarakat bebas dari penilaian baik dan buruk. Perubahan pemaknaan tradisi Balimau dalam masyarakat Minangkabau merupakan realitas masyarakat yang terus bergerak mencari dan memaknai jati dirinya. Wauallahu a’alam bis shawabi.
Discussion about this post