Cerpen: Silvianti
Berpuluh-puluh motor dan mobil merangkak perlahan di antara gelimang debu yang menari-nari. Berpacu dengan detak jarum jam yang tak pernah mau berhenti barang sebentar. Tua muda, laki perempuan, besar kecil, kaya miskin, saling salip, tikung kiri, dan tikung kanan. Yang berani lari, yang takut tersikut, dan yang lambat mengumpat. Sumpah serapah berhamburan bebas dari mulut-mulut asam tak berperikelidahan.
Sebuah sepeda motor tua berjalan tertatih-tatih di antara puluhan motor yang berpacu dalam debu yang menggebu. Motor yang dikendarai oleh seorang ibu paruh baya mengenakan seragam khas seorang guru. Sebuah ransel tua menempel pada punggungnya yang ringkih. Berlari menembus kepulan asap kendaraan, debu jalanan, dan pekatnya kabut musim kemarau.
Lima menit sebelum bel masuk berbunyi, sang guru sampai di sekolah tempatnya mengabdi. Beliau memarkir sepeda motor tuanya di bawah sebatang pohon beringin yang berdiri dengan pongahnya, tepat di samping kantor para guru. Sebagian dahan beringin besar itu tepat berada di atap kantor majelis guru. Daun-daunnya yang telah berguguran menumpuk di atap kantor, membentuk lapisan lumut tipis dan tebal yang menjadi rumah yang nyaman bagi cacing-cacing kecil berwarna merah pucat. Udara lembab di bawah permukaan lumut membuat lubang-lubang kecil di atap kantor guru, yang kalau musim hujan mengirimkan tetesan-tetesan air. Membasahi buku-buku yang ditumpuk di meja para guru sehingga kalau musim hujan, para guru sibuk menutupi buku-buku dengan plastik.
Seiring sang guru mengemasi buku-buku yang akan dibawanya ke dalam kelas. Lima menit berlalu. Bel listrik yang digantung di dinding di sebelah kiri pintu masuk meraung-raung. Memanggil para siswa yang bertebaran di seantero sekolah. Beberapa siswa-siswi yang sedari tadi asyik bercengkerama dengan teman-temannya segera berjalan menuju kelas masing-masing. Beberapa lagi masih tetap dengan kesibukannya, ada yang masih bercengkerama dengan teman, ada yang tertawa-tawa bersama, ada yang bermain kejar-kejaran, ada yang bermain bola di lapangan, ada juga yang asyik menyantap makanan ringan lalu sesekali menyeruput minuman warna-warni yang dibungkus plastik putih seperempat kilo, yang banyak dijual di kantin sekolah.
Lima menit telah berlalu semenjak bel listrik meraung-raung memanggil para siswa.
“Anak-anak kami yang masih berkeliaran di luar kelas, silahkan segera menuju ke dalam kelas masing-masing karena guru yang akan mengajar telah menunggu di kelas,” terdengar suara salah seorang guru piket meminta siswa-siswi yang masih abai untuk segera memasuki kelas.
“Permisi, Buk,” kata seorang siswa laki-laki dengan postur tinggi kurus sambil mengacungkan tangan. Ia berdiri di kelas yang terletak di ujung lorong.
“Kenapa kamu terlambat lagi, tanya sang guru. “Selama sepekan ini kamu selalu terlambat masuk kelas. Kalau rumahmu jauh, masih wajar terlambat. Halaman rumahmu dengan halaman sekolah kita cuma dibatasi oleh pagar batako setinggi dua meter. Memangnya kamu bangun pukul berapa?” tanya Sang Guru dengan suara yang mulai agak tinggi.
“Maaf, Bu. Saya terlambat bangun pagi.”
“Memangnya orang tuamu tidak membangunkanmu untuk salat Subuh?”
“Tidak, Bu. Kedua orang tua saya tidak salat.”
“Ya, sudah. Silakan masuk.”
“Boleh saya menghabiskan makanan ini di dalam kelas, Bu? Saya belum makan pagi.
Sambil menghela napas sang guru mengangguk. Sang Guru kemudian berjalan menuju ke meja guru yang terletak di sudut ruangan di sebelah papan tulis. Setelah meminta siswa membaca doa secara berjamaah, sang guru membuka sebuah Alquran yang sampulnya sudah robek. Mendengarkan lantunan kalam Allah yang dibaca oleh seorang siswa laki-laki bertubuh subur. Bacaannya terbata-bata.
“Kapan terakhir kali Ananda membaca Alquran di rumah?” tanya Sang Guru begitu siswa tadi selesai membaca Alquran.
Hening. Siswa bertubuh subur tadi kelihatan menggaruk-garuk kepalanya. “Lupa, Bu, jawabnya.
“Seminggu yang lalu?” Hening.
“Sebulan yang lalu?” Hening.
“Dua atau tiga bulan lalu?” Hening.
“Enam bulan lalu?”
“Satu tahun yang lalu?” Suara Sang Guru mulai meninggi. Hening.
“Dua tahun yang lalu?” Suara Sang Guru melemah, seperti orang yang putus asa. Siswa bertubuh subur menganggguk.
“Kira-kira begitulah, Bu,” jawabnya tanpa dosa.
“Anak-anak ibu yang lain, yang rutin membaca Alquran setiap hari di rumah, tolong angkat tangan!” Sedetik, dua detik, tiga detik, tidak ada yang mengacungkan tangan. Miris, namun Sang Guru makin penasaran.
“Yang ada membaca Alquran dalam seminggu ini, tolong angkat tangan.” Ada satu siswa perempuan mengacungkan tangan ragu-ragu.
“Yang ada membaca Alquran dalam seminggu yang lalu, tolong angkat tangan.” Sang Guru tersenyum kecut. Ada dua orang siswa perempuan yang mengacungkan tangan.
“Yang ada membaca Alquran dalam sebulan ini, tolong angkat tangan!” Ada tiga orang yang tunjuk tangan.
“Yang ada membaca Alquran dalam dua bulan ke belakang? Tiga bulan? Enam bulan? Satu tahun?” Semua saling memandang, mencoba menemukan siswa yang angkat tangan. Nihil.
Sang Guru geleng-geleng kepala. “Sekarang coba angkat tangan yang ibadah salatnya tidak bolong?” Nada suara Sang Guru meninggi. Hening. Tidak ada yang mengacungkan tangan.
Sang Guru melangkah ke bangkunya, lalu duduk. Mengusap wajahnya yang berkeringat, mengambil napas lalu mengembuskannya. Kelihatan sekali Sang Guru mencoba menenangkan diri.
“Kenapa kalian tak salat, Nak?” tanyaku pelan
Si Jangkung mengangkat kedua bahunya berbarengan dengan kedua alisnya. “Nggak, Bu.” Jawabnya datar.
“Orang tua saya saja tidak salat, Bu. Apalagi saya.” Timpal Si Subur diikuti tawa beberapa temannya.
“Yakinkah kalian kalau akhirat itu nyata, kalau neraka itu tempat orang yang penuh dosa, kalau surga itu adalah hadiah bagi orang mencintai-Nya, dan kalau surga itu adalah sebaik-baik tempat kembali?”
“Yakin, Bu.”
“Tak takutkah kalian dengan neraka?”
“Takut, Bu…”
“Lalu kenapa kalian tak salat? Kenapa kalian tak mengaji?” Diam, tak ada yang menjawab.
“Kalian ada uang untuk jajan??”
“Ada, Bu. Minta sama orang tua.”
“Bagaimana caramu meminta uang.”
“Ya dimintalah Bu. Ngomong, kadang merengek. Masa diam saja. Merengek pun kadang belum tentu juga diberi,” kata seorang siswa laki-laki yang duduk persis di depan meja guru.
“Orang tuamu saja baru mau memberi uang kalau kalian meminta. Apalagi Allah Sang Penguasa Jagad, Sang Maha Penguasa Kerajaan Langit dan Bumi. Salat dan membaca surat-Nya adalah cara kalian berbicara dengan Allah, berdoa adalah cara kalian meminta. Kalau kalian tak bicara pada-Nya, tak meminta pada-Nya, takkan mungkin Dia berikan kalian surga.”
“Berarti Allah juga tidak akan memberikan neraka kepada kami, bukankah kami tak meminta,” kata siswa bertubuh subur.
“Tidak berbicara dengan-Nya, tidak membaca surat-Nya, sama dengan meminta neraka pada-Nya. Jadi, apakah kalian akan meminta surga atau neraka??”
“Surga, Bu…” jawab mereka serempak.
“Kalau begitu, salatlah dan mengajilah, Nak!”
Siswa-siswi yang berada di kelas di ujung lorong terdiam. Ada dua kemungkinan. Diam karena mereka mulai memahami artinya menjadi manusia, atau diam karena tetap ingin tak bicara dengan Tuhannya.
“Baiklah anak-anak, mari kita mulai pelajaran hari ini dengan membahas tugas rumah yang kemarin Ibu berikan.”
Para siswa merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah pena dan sebuah buku kosong. Beberapa siswa asyik bercerita dengan teman sebangkunya, ada juga yang menjahili teman perempuan, ada yang saling lempar kertas yang dibuat bulatan kecil sebesar gundu. Si Jangkung yang sedari tadi begitu hebong, kulihat merenung. Entah apa yang dipikirkannya.
“Kalian tidak mengerjakannya?” Hening.
“Ya, aku ingat. Tugas dari Sang Maha Pemberi Tugas saja tak pernah kalian kerjakan, apatah lagi tugas dariku. Sekarang, boleh aku meminta tolong kepada kalian untuk melakukan sesuatu.”
“Apakah ada untungnya bagi kami? Kalau ada tak ada salahnya. Tapi kalau tidak ada untungnya, kami pikir-pikir dulu ya, Bu,” jawab Si Kurus.
“Untungnya adalah kalian bisa mendapatkan selembar ijazah yang akan berguna kelak kalau kalian sudah tamat, berguna untuk melanjutkan pendidikan dan berguna untuk mendapatkan pekerjaan.”
“Kalau cuma ijazah, urusan kecil, Bu. Ada atau tidak ada ijazah kami tetap bisa bekerja. Tak bisa bekerja di kantoran pun tak apa, kerja apa saja tak masalah yang penting ada uang masuk.”
“Syukurlah kalau begitu, tapi ingat, pekerjaan apa pun tak masalah, yang penting halal, aku tersenyum, ternyata mereka sudah mulai berubah.”
“Mencari pekerjaan yang haram saja susah, apalagi pekerjaan yang halal. Tidak masalah kalau ketika muda bekerja yang tak baik, nanti kalau sudah tua kalau sudah hampir mati barulah bertobat,” kata Si Subur disambut gelak tawa teman-temannya yang lain.
Aku mengurut dada. Pastikah waktunya oleh kalian kapan akan mati….?
“Mati itu rahasia Tuhan, Bu.”
“Lalu bagaimana kau sangat yakin kau akan sempat bertobat di masa tua. Bisa jadi Allah akan cabut nyawamu ketika kau masih bergelimang dosa.”
“Berarti itu takdir Allah buat kami, Bu. Allah yang ingin kami seperti itu, Bu” Kata Si Subur tanpa merasa takut sedikitpun.
Aku bergidik.
Tiba-tiba tubuh Si Subur berkelejotan, wajahnya menegang, matanya mendelik liar bergerak tak tentu arah. Kursi yang didudukinya terpental ke belakang karena gerakan yang tak terkendali. Meja yang ada di hadapannya dijungkirbalikkannya.
Sontak seisi kelas menjadi heboh. Anak-anak perempuan menjerit-jerit ketakutan. Begitu juga beberapa anak laki-laki. Mereka berhamburan ke luar kelas.
“Ayo keluar, nanti kita ketularan.”
Kelas telah sepi. Hanya aku, Si Jangkung, dan Si Subur yang berjalan mondar mandir di sela-sela meja dan kursi sambil sesekali menyepak kaki meja atau kursi yang menghalangi langkahnya.
“Ibu tak usah cemas. Dia sudah biasa seperti ini.” Si Jangkung melihat kecemasan di wajahku.
“Maksud kamu…?”
“Sudah beberapa tahun belakangan ini, Si Subur selalu diikuti oleh makhluk halus. Kata ibunya, makhluk itu tak mau meninggalkan Si Subur. Sudah berbagai cara dilakukan untuk memisahkan makhluk itu dari Si Subur. Sudah banyak dukunnya, tapi tak ada yang berhasil.”
“Bagaimana kalau kita ruqyah, kita panggil ustad Dayat ke sini.” Ustad Dayat adalah salah seorang guru di madrasah ini. Beliau sering menangani orang-orang seperti Si Subur ini.
“Percuma, Bu. Ketika diruqyah atau dibacakan ayat-ayat Tuhan, Si Subur ini akan tenang, setelah ustadnya pergi, dia akan kambuh lagi, Bu.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan.”
“Tidak ada, Bu. Kita tunggu saja. Kata ibunya Si Subur, kalau Si Subur ini sudah berdamai dengan makhluk yang bersemayam di tubuhnya, dia akan tenang dan kembali normal.”
“Jadi maksud kamu, tadi Si Subur membangkang kepada makhluk yang selalu mengikutinya itu?”
“Bukan Si Subur yang membangkang, Bu!”
“Lalu…??”
“Kata-kata ibu yang mengusik ketenangan makhluk yang bersemayam di tubuh Si Subur, Bu.” Ucapan Si Jangkung mengejutkanku. Seolah tak percaya, kutatap lama Si Jangkung yang berdiri di pojok kelas, tak jauh dari si subur yang sekarang sedang memukul-mukul kepalanya.
Kulihat mata Si Jangkung bergerak liar, berkilat-kilat, dan tak berbeda dengan mata Si Subur. Secepat kilat, kusambar Alquran lusuh yang terletak di sudut meja salah seorang siswa. Sekuat tenaga, kudekap erat-erat ke dada, takkan kulepas. Sampai suasana tenang. Sampai makhluk yang bersemayam di tubuh bocah-bocah itu berdamai dengan tuannya.
Kelemahan Klasik dalam Sang Guru dari Negeri Kabut
Oleh: M. Adioska
(Anggota Forum Lingkar Pena Sumbar dan Guru di Bukittinggi)
Mengacu pada Muntijo (2011) terdapat beberapa penjelasan terkait dengan sastra sebagai representasi dari kenyataan, di antaranya menurut Plato, karya sastra adalah tiruan dari kenyataan. Oleh karena itu, karya sastra merupakan gambaran dari hal-hal yang benar-benar nyata dalam kehidupan (Saraswati, 2003:20). Lebih jauh, sastra itu lahir dalam konteks sejarah dan sosial-budaya suatu bangsa yang di dalamnya sastrawan penulisnya merupakan salah seorang anggota masyarakat bangsanya (Pradopo, 2010:107). Hal ini sejalan dengan pendapat Teeuw yang mengatakan bahwa karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya (Teeuw dalam Pradopo, 2010:107).
Sejalan dengan pemaparan di atas, barangkali cerpen Sang Guru dari Negeri Kabut karya Silvianti telah membuktikan bahwa karya sastra sebagai representasi dari kenyataan, benar adanya. Secara umum, cerpen tersebut berkisah tentang seorang guru yang senantiasa berhadapan dengan berbagai macam kelakuan para siswanya. Cerita dimulai dari perjalanan sang guru menuju sekolah tempat ia mengajar. Dalam perjalanan tersebut sang guru harus berjibaku dengan hiruk pikuk jalanan.
“Berpuluh-puluh motor dan mobil merangkak perlahan di antara gelimang debu yang menari-nari. Berpacu dengan detak jarum jam yang tak pernah mau berhenti barang sebentar. Tua muda, laki perempuan, besar kecil, kaya miskin, saling salip, tikung kiri, tikung kanan. Yang berani lari, yang takut tersikut, yang lambat mengumpat. Sumpah serapah berhamburan bebas dari mulut-mulut asam tak berperikelidahan.”
Sang guru pun sampai di sekolah sebelum bel masuk berbunyi. Kondisi penampakan sekolah juga turut digambarkan dengan jelas. Sebuah pohon beringin yang dahannya mengarah ke kantor guru menyebabkan daunnya menumpuk di atas atap. Tumpukannya menyebabkan atap kantor guru tersebut berlumut dan menyebabkan kebocoran jika hujan turun.
Tidak hanya sampai disitu, kelakuan para siswa ketika mendengar bel masuk telah dibunyikan juga turut digambarkan dengan gamblang. Ada yang langsung masuk menuju kelas, ada yang masih bercengkrama dengan teman, bermain kejar-kejaran dan kegiatan lainnya. Hal ini memaksa seorang guru piket memberikan pengumuman agar para siswa segera masuk kelas karena guru yang akan mengajar sudah menunggu di kelas. Hingga sampai pada akhir cerita, semua situasi persekolahan disajikan dengan gambaran yang jelas.
Seluruh pemaparan tentang kehidupan sekolah yang digambarkan dalam cerpen ini memang terjadi di dunia nyata. Hampir di setiap sekolah yang ada di negeri ini, mengalami hal yang sama. Mulai dari dari kondisi keberangkatan guru ke sekolah, situasi di sekolah itu sendiri dan tingkah laku siswa, serta hal-hal yang terkait dengan sekolah lainnya. Hal ini membuktikan bahwa cerpen sebagai sebuah karya fiksi memang merepresentasikan kehidupan nyata.
Di sisi lain, penceritaan yang mendetail tentang situasi dalam cerpen ini bisa saja mendatangkan simpulan sederhana kepada pembaca bahwa penulisnya benar-benar ada dalam situasi ini dan mengalami kejadian seperti yang diceritakan dalam karyanya tersebut. Artinya, bahwa penulis adalah salah satu anggota masyarakat yang mengalami semua pemaparan yang ia ceritakan. Hal ini menjadi kelebihan bagi penulis sebab dengan mengalami langsung seperti simpulan awal pembaca, ia berhasil menghidupkan suasana dalam ceritanya. Bagi pembaca, situasi yang terbangun di dalam cerpen ini dapat memudahkan mereka untuk memahami situasi yang sedang diceritakan, sehingga akan memudahkan mereka untuk memahami alur cerita berikutnya. Ditambah lagi penggunaan diksi dan gaya bahasa yang sederhana, semakin menjadikan cerpen Sang Guru dari Negeri Kabut ini semakin mudah dimengerti.
Namun, terlepas dari semua itu, menulis karya fiksi, terutama cerpen, tidak melulu berbicara tentang kemampuan penulis dalam merepresentasikan kehidupan nyata dalam karya. Tidak pula tentang kepiawaian bercerita sehingga membuat pembaca mudah memahami cerita, tapi lebih dari itu. Sebuah cerpen sebagai suatu karya fiksi juga harus memenuhi beberapa kaidah penulisan yang baik sehingga dengan memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut. Sebuah karya fiksi dapat lebih bernilai dan lebih “gurih” untuk dinikmati.
Terkait dengan adanya kaidah penulisan tersebut dan mengacu kepada beberapa literasi yang dapat ditemukan secara jamak di dunia maya, ditemukan beberapa kelemahan yang umumnya terjadi dalam penulisan sebuah fiksi terutama cerpen -yang juga tampak muncul dalam cerpen Sang Guru dari Negeri Kabut ini, di antara kelemahan tersebut adalah ketidaksesuaian antara judul dan isi cerita.
Menurut KBBI (Edisi Ketiga, 2010) kata judul diartikan sebagai kepala karangan (cerita, drama, dsb); tajuk. Dari pengertian tersebut dapat diartikan bahwa judul merupakan cerminan mengenai suatu permasalahan yang diangkat dalam sebuah tulisan. Fungsi utama judul adalah sebagai penarik minat pembaca. Judul yang baik akan menarik perhatian dan dapat menimbulkan keingintahuan pembaca tentang isi atau permasalahan dalam cerita tersebut.
Jika dilihat dari fungsinya sebagai penarik minat pembaca, judul Sang Guru dari Negeri Kabut ini tampaknya sudah memenuhi fungsi tersebut. Namun jika dilihat dari pemaparan cerita yang menyertainya, judul yang ditawarkan penulis belum mencerminkan isi ceritanya. Masih menurut KBBI, kata kabut mengacu kepada kelam, suram, tidak nyata. Bisa juga berarti awan lembap yang melayang di dekat permukaan tanah. Jika dipadukan menjadi negeri kabut, akan memunculkan interpretasi bahwa setting cerita dengan judul tersebut berada di daerah pegunungan atau dataran tinggi yang daerahnya senantiasa diliputi kabut. Atau jika lebih diinterpretasikan dengan makna konotasi, Sang Guru dari Negeri Kabut bisa saja diartikan menjadi nasib menjadi guru di sebuah daerah yang tidak menghargai guru sebagaimana mestinya. Artinya, nasib sang guru menjadi suram di daerah tersebut.
Namun, alih-alih menceritakan tentang daerah yang berkabut atau nasib guru yang suram di suatu wilayah tertentu, cerpen ini justru menceritakan tentang kehidupan guru di sekolah sebagaimana yang biasa terjadi. Konflik baru muncul ketika sang guru menghadapi para siswanya. Tidak ada penjelasan lebih jauh mengenai negeri kabut, baik tersurat maupun tersirat, bahkan kata kabut sendiri hanya muncul satu kali dalam keseluruhan cerita dan itu pun tidak mewakili negeri kabut sebagaimana ekspektasi ketika membaca judul cerpen ini. “Berlari menembus kepulan asap kendaraan, debu jalanan, dan pekatnya kabut musim kemarau.”. Jika pun kata kabut atau negeri kabut yang dimaksud penulis sudah termaknai dalam pemaparan ceritanya -Sang Guru dari Negeri Kabut, butuh kiranya penjelasan yang lebih dalam agar pembaca dapat menangkap semua itu.
Selain judul, kelemahan klasik yang juga sering terjadi dalam penulisan fiksi yang juga ditemukan dalam cerpen ini adalah konsistensi penggunaan sudut pandang dalam bercerita. Sudut pandang dimaknai secara bebas, sudut pandang dalam bercerita dapat diartikan sebagai cara seorang penulis menempatkan dirinya dalam suatu cerita. Secara teori terdapat beberapa sudut pandang dalam bercerita. Namun, dalam kebanyakan cerpen, sudut pandang yang digunakan umumnya adalah sudut pandang orang pertama yang ditandai dengan kata ganti “aku’ atau “saya” dan sudut pandang orang ketiga yang ditandai dengan kata ganti “dia”, nama tokoh, atau sebutan khusus bagi si tokoh.
Sudut pandang dalam sebuah cerita dapat menjelaskan bagaimana cara seorang penulis mengisahkan ceritanya. Artinya, penggunaan sudut pandang akan memberikan arahan cerita yang jelas bagi pembaca. Dalam beberapa kejadian, pergantian sudut pandang bisa saja dilakukan oleh penulis dalam ceritanya. Namun, hal ini memberikan tantangan tersendiri dan perlu sebuah kepiawaian agar cerita yang dibangun tetap menyatu dan tidak menimbulkan kebingungan bagi pembaca.
Dalam cerpen “Sang Guru dari Negeri Kabut, ditemukan dua buah sudut pandang. Pada awal hingga pertengahan cerita, penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga yang ditandai dengan kata ganti “sang guru”. Namun, di pertengahan hingga akhir cerita, sudut pandang yang digunakan penulis tiba-tiba berubah menjadi orang pertama yang ditandai dengan kata ganti “aku”. Perubahan sudut pandang yang mendadak ini bisa saja mendatangkan kebingungan bagi pembaca sehingga kenikmatan membaca cerita yang sudah terbangun dari awal akan buyar dan akan menimbulkan pertanyaan di benak si pembaca tentang “si aku” yang tiba-tiba muncul tanpa perkenalan.
Terakhir, sebagai catatan kaki untuk Sang Guru dari Negeri Kabut, penyampaian amanat atau pesan moral pastinya adalah tujuan akhir dari sebuah cerita. Melalui cerita yang dibangun sedemikain rupa oleh penulis, diharapkan akan memberikan nilai lebih atau manfaat bagi pembaca. Namun disisi lain, yang juga harus disadari adalah bahwa pembaca bukanlah orang biasa. Melalui sebuah cerita, para pembaca bisa saja menafsirkan berbagai hal dan dapat memetik nilai tersurat ataupun yang tersirat dari dalamnya dengan sendiri. Oleh karena itu, kurang bijaklah rasanya jika cerita yang sudah ditulis tersebut terkesan menggurui bahkan sedikit “beraroma” ceramah bagi si pembaca.
Terlepas dari semua pemaparan diatas, terciptanya sebuah karya adalah pencapaian yang luar biasa. Selamat kepada Silvianti yang telah menghasilkan sebuah cerpen. Teruslah berproses untuk hasil yang lebih baik.
Bukittinggi, September 2021
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca.
Discussion about this post