Ingkar
Atap rumah tinggi menjulang
Tembok raksasa tua adalah saksi bisu
Kau junjung kesetiaan pada satu hari yang tak berdosa
Saat itu titik dari mulutmu begitu jelas
Bibirmu bergetah sehingga tak satu pun menentang
Pikiranmu semakin tajam mengawang
hingga menembus langit Tuhan
Jalanmu tiada dapat kuperoleh
Dalam seperempat jalan kamu berubah akal
Kata tak berpucuk begitu lantang menggema
Aku kau buat bagai kinantan hilang taji
Tenang aku bagai dekan di bawah pangkal buluh
Pengharapanku selalu bertuah untukmu
Perwira Lama
tunas cerita di malam sunyi
angin kian bersemangat membawa cerita
angin menusuk hulu hati
diri meronta-ronta menolak sengatannya
angin membuat ingatanku buyar
mengingat malam
pikiran ini semakin tajam memikirkan perkara lama
angin kencang menjatuhkan lentera
yang tergantung rapi di sudut kiri
untung saja pikiranku tak kau jatuhkan pula
mengulang perkara lama
dulu, Tuan, Puan bersemangat berlayar
mengarungi samudera
untuk siapa?
sudahlah ini hanya soal perkara lama
pekatnya malam kian menggebu-gebu
terulang kembali
semakin lama semakin rindu perkara lama
satu, dua, tiga
ini perihal perkara lama
tiga perwira tak akan cukup menyelesaikan
perkara lama
perkara lama itu sangat rumit
lalu
pekat malam membungkus tunas cerita
perkara lama jadi cerita selamanya
Perjalanan
aku mencari kesunyian
dalam kesunyian kutemukan kehidupanku
kehidupan yang penuh bagi jiwaku
kudapati padang-padang tak bertepi
matahari dengan bangga melabuhkan dirinya
seolah mengejekku
bunga-bunga menebarkan wewangian ke udara
aroma yang begitu kental dan menusuk rongga hidungku
sungai-sungai pun mengalir
melintasi setiap persimpangan hutan belantara
tampak sekilas beriak
kicauan burung seperti nyanyian syahdu
yang terus mengiang dalam benakku
sunyi senyap
kutemukan perbukitan saat musim semi
udaranya begitu segar
namun,
sesekali kerinduanku akan musim gugur tumbuh
misteri musim dingin begitu jelita
menggoda di saat tak bersama
aku datang dalam kesendirian
jauh dari sudut kekuasaan Tuhan
aku lapar!
lapar tentang segala rahasia Alam
inginku mendekat
dan mendapati segalanya
Lidia Ningsih lahir di Padang, 21 November 1995. Ia merupakan dosen di Universitas Terbuka Jakarta dan saat ini ia juga tenaga pendidik di SMP PMT Prof. Hamka II Padang. Selain menulis puisi, ia juga aktif dalam kegiatan seni.
Merangkai Pengalaman Puitik
Oleh: Ragdi F. Daye
(buku terbaru yang memuat puisinya Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian, 2021)
dalam kesunyian kutemukan kehidupanku
kehidupan yang penuh bagi jiwaku
Pada dasarnya, menulis puisi adalah mengekspresikan sebentuk pengalaman dengan media kata-kata. Pengalaman yang diekspresikannya itu bisa berupa pengalaman hubungan manusia dengan Tuhan, dengan dirinya sendiri, dengan sesama, maupun dengan alam. Menulis puisi merupakan sebuah kegiatan ruhani yang mengekspresikan hubungan manusia dengan segala hal, baik secara fisik maupun metafisik (Maulana, 2012).
Untuk dapat mengekspresikan pengalaman tersebut, lebih lanjut Maulana (2012) mengungkapkan bahwa penulis harus mampu mengkreasi bahasa ungkap melalui kosakata yang dipilih dan dipahaminya secara sungguh-sungguh dengan bahasa yang dikuasainya pula. Selain itu, menulis puisi tidak bisa dengan menuliskan sesuatu yang tidak kita alami secara fisik maupun metafisik. Jika hal itu dipaksakan, hasilnya adalah sebuah puisi hampa makna dan bahkan hampa rasa karena tidak mengandung penghayatan atas obyek yang ditulis.
Pengalaman yang diolah penyair menjadi puisi bisa berupa pengalaman religius, cinta, sosial, ataupun kematian yang dapat diekspresikan melalui citraan visual ataupun berupa simbol. Seperti puisi Chairil Anwar berjudul “Nisan” berikut: ‘- untuk nenekanda// Bukan kematian benar menusuk kalbu/ Keridaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ dan duka maha tuan bertakhta.’ Puisi Chairil tersebut hanya terdiri atas empat larik, tetapi dengan sangat kuat berhasil mengekspresikan pengalaman batin sang penyair tentang sedemikian tak terlawannya kematian. Jika ia sudah tiba, tak ada yang bisa lari, hanya bisa menerima dengan rida.
Edisi kali ini Kreatika menampilkan tiga buah puisi Lidia Ningsih, seorang pengajar muda yang menyukai kegiatan kesenian. Ketiga puisi Lidia masing-masingnya berjudul “Ingkar”, “Perwira Lama”, dan “Perjalanan”.
Puisi pertama berisi curahan perasaan ‘aku’ lirik kepada ‘kamu’ lirik yang mengandung emosi tidak senang. Emosi tidak senang tersebut muncul dalam rangkaian-rangkaian diksi marah, seperti ‘mulutmu bergetah’, ‘pikiranmu semakin tajam mengawang’, ‘kata tak berpucuk begitu lantang’, dan ‘aku kau buat bagai kinantan hilang taji’. Metafora ‘kinantan hilang taji’ mengandung makna sesuatu yang tak memiliki kekuatan. Kinantan adalah hewan mitos berupa ayam jantan yang gagah dalam Kaba Cinduamato. Taji yang merupakan senjata alamiah berwujud cakar tambahan menyerupai pisau di kaki ayam menjadi perisai untuk bertarung mekawan musuh menunjukkan eksistensi diri. Ketika ayam tak lagi mempunyai taji, maka ia menjadi lemah dan gampang ditaklukkan. Kembali ke larik ‘aku kau buat bagai kinantan hilang taji’ menunjukkan relasi yang tidak harmonis antara ‘aku’ dan ‘kau’. Sosok ‘kau’ menjadi antagonis yang menghalangi ‘aku’ mencapai kebahagiaan atau sesuatu yang diinginkannya.
Puisi kedua, “Perwira Lama” juga mengandung perasaan gundah dan pengalaman yang tidak menyenangkan. Padahal telah diawali diksi ‘tunas’ yang semestinya berasosiasi dengan harapan ditambah klausa ‘angin kian bersemangat membawa cerita’. Seolah-olah ada suasana manis yang hendak digambarkan. Ternyata ‘tunas cerita’ itu justru ‘menusuk hulu hati’, ‘menjatuhkan lentera’, dan menyengat. Suasana puisi masih kelam dan berkecamuk dan ditutup dengan nada putus asa:
pekat malam membungkus tunas cerita
perkara lama jadi cerita selamanya
Kedua puisi Lidia di atas menunjukkan pengalaman yang belum dihayati dengan tuntas sehingga bangunan imaji visual belum utuh walaupun beberapa bagian telah memberi peluang untuk gagasan yang menggugah. Sejumlah kata muncul berulang kali tanpa efek repetisi yang memadai, malah seolah kekurangan kosakata.
Puisi ketiga, “Perjalanan” juga belum cukup menunjukkan kepaduan larik demi larik yang membangun struktur tipografik puisi. Banyak diksi menyerupai potongan-potongan kain perca yang disambung-sambung. Jika pandai kain-kain perca yang berbeda corak, warna, dan motif dapat menjadi sehelai selimut yang bagus juga. Seperti lagu “Buruak Sisiak” yang dinyanyikan Zalmon, “Yo pandai bana adiak malipek, paco-paco jadi salendang.”
Luxemburg (1992) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan teks puisi adalah teks-teks monolog yang isinya tidak pertama-tama merupakan sebuah alur. Selain itu, teks puisi bercirikan penyajian tipografik tertentu. Tipografik ini merupakan ciri yang paling menonjol dalam puisi. Apabila kita melihat teks yang barisnya tidak selesai secara otomatis kita menganggap bahwa teks tersebut merupakan teks puisi.
Menulis puisi sebenarnya mengasyikkan sama halnya dengan aktivitas kesenian lain yang memanjakan urat syaraf. Itu yang terkandung dalam fungsi dulce et utile karya sastra, menghibur, dan mendidik. Karya sastra dapat menjadi wadah refleksi diri sekaligus untuk menyampaikan pesan nilai-nilai kehidupan. Selamat untuk Lidia. Ditunggu puisi-puisi barunya!
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post