Berbicara tentang menyapa dan menyebut, apakah kedua bentuk ini sama? Secara lingual, jelas ada perbedaan. Dalam linguistik, menyapa merujuk kepada orang kedua dan dapat menggunakan bentuk Anda, Saudara, Bapak, atau Ibu dalam komunikasi secara langsung, baik lisan maupun tertulis; sedangkan menyebut merujuk kepada orang ketiga dan dapat menggunakan bentuk dia atau mereka.
Namun, seringkali kita keliru dalam menyapa dan menyebut seseorang dalam sebuah tulisan. Hal ini dapat dilihat pada kalimat berikut.
(1) Apa kabar, Presiden?
(2) Saya bertemu Presiden kemarin.
Jika melihat penggunaan kata presiden pada kedua kalimat tersebut, tidak ada kejanggalan yang ditemukan. Namun, jika dikaji secara linguistik, kata presiden pada kalimat (1) merupakan bentuk sapaan, sedangkan kata presiden pada kalimat (2) merupakan bentuk sebutan. Apakah berbeda antara bentuk sapaan dan bentuk sebutan?
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Republik Indonesia (2016) menyatakan bahwa sapaan merupakan kata atau frasa untuk saling merujuk dalam pembicaraan dan yang berbeda-beda menurut sifat hubungan di antara pembicara itu, seperti Anda, Ibu, Saudara, sedangkan sebutan merupakan bagian kalimat yang menceritakan atau memberi pernyataan tentang pokok kalimat; misalnya “menangis” dalam kalimat “Adik menangis” adalah sebutan.
Definisi tersebut dapat diilustrasikan secara sederhana melalui penjelasan mengenai kalimat (1) dan kalimat (2). Kalimat (1) terbentuk ketika seorang penutur berada pada waktu dan lokasi yang sama dengan presiden, lalu menyapa dengan kalimat, “Apa kabar, Presiden?”. Sementara itu, kalimat (2) terbentuk karena seorang penutur bertemu dengan presiden pada suatu hari, lalu besok hari ia menceritakan pengalaman tersebut kepada lawan tuturnya sehingga terbentuk kalimat, “Saya bertemu presiden kemarin”. Presiden pada kalimat (1) merupakan lawan tutur si penutur, sedangkan presiden pada kalimat (2) hanya disebutkan kepada lawan tutur.
Kata presiden pada kalimat tersebut tidak selalu harus merujuk kepada Presiden Republik Indonesia, tetapi bisa juga merujuk kepada ketua organisasi yang juga disebut sebagai presiden, seperti Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Andalas (Presiden BEM Unand) atau presiden sebagai julukan kepada orang-orang yang memiliki kepemimpinan baik dalam sebuah komunitas.
Dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (2016, 7—13), dijelaskan bahwa huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama gelar kehormatan, keturunan, keagamaan, profesi, serta nama jabatan dan kepangkatan yang dipakai sebagai sapaan, misalnya “Apa kabar, Presiden?”. Namun, huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama unsur yang bukan sapaan atau hanya sebutan, seperti pada kalimat “Saya bertemu presiden kemarin”. Dengan demikian, penulisan kalimat (2) ternyata salah dan tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Penulisan kalimat tersebut dapat diperbaiki menjadi kalimat berikut.
(2) Saya bertemu presiden kemarin.
Situasi percakapan tersebut dapat diterapkan juga pada dua kalimat berikut.
(3) Terima kasih, Dokter.
(4) Saya sudah konsultasi dengan dokter kemarin.
Pada kalimat (3), penutur menyapa lawan tutur yang berprofesi sebagai seorang dokter sehingga dalam penulisan bahasa Indonesia digunakan huruf kapital pada awal kata tersebut. Sementara itu, pada kalimat (4), penutur hanya menyebut seseorang yang berprofesi sebagai seorang dokter dalam percakapannya dengan lawan tutur sehingga tidak perlu menggunakan huruf kapital dalam kalimat tersebut.
Kridalaksana (1985: 69) mengklasifikasi kata sapaan dalam bahasa Indonesia menjadi sembilan jenis, yaitu (1) kata ganti, seperti aku dan kamu, (2) nama diri, seperti Galih dan Ratna, (3) istilah kekerabatan, seperti Bapak dan Ibu, (4) gelar dan pangkat, seperti dokter dan guru, (5) bentuk pe + verba atau kata pelaku, seperti penonton dan pendengar, (6) bentuk Nomina + -ku, seperti kekasihku dan Tuhanku, (7) kata deiksis atau penunjuk, seperti Sini atau Situ, (8) kata benda lain, seperti Tuan dan Nyonya, serta (9) ciri zero berupa makna kata tanpa disertai bentuk kata tersebut, seperti pada kalimat “Mau ke mana?”. Dari klasifikasi tersebut, kata presiden dan dokter merupakan salah satu bentuk kata sapaan yang memuat gelar atau pangkat.
Meskipun demikian, membedakan menyapa dan menyebut dalam penulisan bahasa Indonesia seringkali tidak semudah yang dibicarakan. Banyak pengguna bahasa Indonesia yang keliru dan menggunakan huruf kapital untuk menyebut seseorang dalam sebuah kalimat. Penggunaan huruf kapital tersebut cenderung didorong oleh penggunaan kata ganti, istilah kekerabatan, atau gelar dan pangkat. Hal ini dapat dilihat pada bentuk berikut.
(5) Beasiswa yang diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia akan Saya gunakan untuk biaya studi, biaya penelitian, biaya buku, dan biaya hidup.
(6) Saya sudah berbicara kepada Paman tentang kondisi kesehatan Nenek yang semakin memburuk.
(7) Rapat kebijakan untuk orang tua murid sudah dibicarakan dengan Kepala Sekolah.
Huruf awal pada kata saya, paman, nenek, dan kepala sekolah tidak perlu menggunakan huruf kapital karena tidak digunakan untuk menyapa seseorang yang disebutkan pada kalimat tersebut. Penutur hanya menyebutkan orang-orang tersebut ketika berbicara dengan lawan tutur. Dengan demikian, penulisan yang benar untuk kalimat tersebut dapat dilihat sebagai berikut.
(5) Beasiswa yang diberikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia akan saya gunakan untuk biaya studi, biaya penelitian, biaya buku, dan biaya hidup.
(6) Saya sudah berbicara kepada paman tentang kondisi kesehatan nenek yang semakin memburuk.
(7) Rapat kebijakan untuk orang tua murid sudah dibicarakan dengan kepala sekolah.
Kesalahan penulisan huruf kapital pada kata-kata yang bukan sapaan memang tidak berdampak secara nyata pada kehidupan berbahasa Indonesia sehari-hari. Namun, kesalahan dalam memilih jawaban pada soal bahasa Indonesia yang tercantum dalam Seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) akan berdampak pada nilai atau poin yang diperoleh. Begitu juga dengan tipe soal pada Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) atau seleksi masuk sekolah kedinasan.
Masyarakat Indonesia cenderung gigih memahami kaidah bahasa Indonesia pada kasus yang berkaitan dengan nilai, seperti dalam memperoleh nilai tes tersebut. Sementara itu, setelah penjaringan siswa atau pegawai selesai dilaksanakan, kesalahan penulisan yang berhubungan dengan prinsip menyapa dan menyebut dalam bahasa Indonesia akan terulang kembali.
Salah satu kesalahan muncul dalam penulisan surat resmi atau surat dinas. Kata –nya pada kalimat “Atas perhatiannya, Kami ucapkan terima kasih” merupakan bentuk sapaan yang salah karena kata ganti –nya merupakan sapaan untuk orang ketiga, sedangkan dalam surat resmi kata sapaan ditujukan kepada orang kedua, seperti Saudara, Bapak, atau Ibu. Begitu juga dengan kata ganti Kami yang digunakan untuk menggantikan nama penulis sebagai orang pertama jamak, seharusnya tidak ditulis menggunakan huruf kapital karena tidak digunakan untuk menyapa (menyapa diri sendiri). Penulisan yang benar untuk kalimat pada surat dinas tersebut ialah “Atas perhatian Saudara, kami mengucapkan terima kasih.”
Penggunaan kata berbahasa Indonesia dalam menyapa dan menyebut memang menjadi sebuah dilema. Meskipun demikian, dilema tersebut semoga dapat diatasi dengan membaca tulisan ini. Dalam logika bahasa, menyapa dan menyebut seseorang dalam sebuah tulisan berbahasa Indonesia dapat dibedakan dengan menggunakan huruf kapital. Huruf kapital digunakan untuk kata sapaan saja.
Discussion about this post