Bansi Pak Kaharuddin
Cerpen Oleh: Najla Anissa Fatin
Baru-baru ini, Pak Kaharuddin mendadak sangat terkenal di dunia maya, karena keberadaannya menyaingi berita persiapan piala dunia. Pak Kaharuddin menjadi tranding topic di twitter, dan menjadi buah bibir paling hot di facebook. Pak Kaharuddin sebenarnya adalah seorang pengamen yang saban hari berdiri di depan sebuah pusat perbelanjaan atau toko buku di daerah Kota Padang dengan sebuah bansi yang tak lelah dibunyikannya. Walaupun dengan mata yang tidak sempurna, tak menghalangi ia untuk melihat orang-orang hanya berlalu lalang di depannya. Di tengah lalu lalang orang yang lewat, ia tetap saja bernyanyi dan tersenyum sambil terus membunyikan bansinya. Namun, sekarang Pak Kaharudin seperti artis. Banyak yang sengaja menunggunya untuk mendengarkan bansinya.
Suatu ketika ada sebuah keluarga yang dapurnya kembali mengepul dan sepengakuan keluarga tersebut. Salah satu dari mereka mendapatkan tawaran pekerjaan setelah berdoa persis ketika Pak Kaharuddin selesai membunyikan satu lagu. Padahal, keluarga itu hampir saja bunuh diri massal karena usaha sang bapak yang tiba-tiba bangkrut. Keadaan tersebut diceritakan sang anak di sosial media yang ia punya. Pada awalnya, banyak orang yang tak percaya, tetapi setiap orang yang mencoba datang pada Pak Kaharuddin dan berdoa setelah beliau membunyikan bansinya. Mereka membenarkan kabar burung itu dan semakin hari kabar itu kian menjadi viral.
Entah dari mana saja orang-orang datang, bahkan banyak dari daerah Jawa yang ingin berdoa setelah bansi dibunyikan Pak Kaharuddin. Namun, karena keadaan beliau dengan mata yang tak begitu jelas melihat tersebut, menjadikan ia hanya menganggap hal tersebut sebagai sebuah rahmat, ia menganggap bahwa sudah banyak orang yang ingin mendengar bansi. Berbeda dengan orang Indonesia, netizen dunia jauh-jauh datang lebih karena tertarik pada bansinya.
Cerita lain beredar bahwa bansi Pak Kaharuddin adalah bansi yang biasa dibunyikan di depan Adityawarman, pendiri Kerajaan Pagaruyuang dan entah dari mana kabar itu menyeruak, tapi yang jelas kemudian cerita bertambah-tambah dengan cerita bahwa Pak Kaharuddin adalah keturunan dari orang yang dulu suka membunyikan bansi untuk Raja Adityawarman. Cerita yang berkembang adalah setelah satu lagu selesai dibunyikan maka Adityawarman berdoa. Tak ada yang tahu persis apakah cerita tersebut benar atau salah, tapi yang jelas semakin banyak yang datang padanya untuk berdoa atau sekadar membayar rasa penasaran.
Kabar itu akhirnya sampai pada Presiden. Melalui ajudan presiden mencoba bertemu dengan Pak Kaharuddin sehingga pada hari yang sudah ditetapkan, jalan-jalan ditutup seketika, bukan hanya jalan protokol tetapi jalan menuju Plaza Andalas tempat biasa Pak Kaharuddin memainkan bansi, jalan dari simpang lampu merah pos polisi sampai jalan di depan Plaza Andalas dibuat menjadi sangat lengang. Akibatnya, angkot yang biasa melewati jalanan itu harus mencari jalan lain untuk dilewati untuk beberapa jam.
Tak sedikit yang memberi sumpah serapah karena memang keadaan seperti itu cukup langka walau tidak jarang pejabat dari ibu kota bertandang ke Ranah Minang, tapi tidak seperti ini. Jalan protokol di babat, jalan menuju Plaza Andalas yang biasanya aman ikut menjadi korban. Jelas, warga Padang resah tak ketulungan, apalagi saat itu adalah jam pulang sekolah. Tidak hanya pekerja atau penjual sayur saja yang akan terlambat pulang, tetapi juga anak sekolah.
***
Ayam belum lagi bangun saat ia sudah membersihkan bansi kesayangannya. Ditiup-tiupinya lubang-lubang alat musik tradisional Minangkabau itu, sambil di usap-usapnya dengan kain yang lusuh selusuh rambutnya yang kian memutih.
“Pak, usah seperti ini lagi. Malu pak,” secangkir teh tersaji oleh dua tangan yang lembut milik anak Pak Kaharuddin. Melihat bapaknya, mata Mutia mulai beranak dan bersungai namun cepat ia seka. Takut bapaknya tahu.
Namun, yang dikhawatirkan malah tersenyum pias.“Tak apa Nak, setidaknya Bapak bisa membantu memperkenalkan musik tradisonal kepunyaan kita kepada generasi muda,” dan sebelum anaknya menjawab lagi, Pak Kaharuddin lekas berdiri sambil berkata, “Bapak mau mandi dulu.”
Seperti biasa, Pak Kaharuddin enggan naik angkot menuju pusat Kota Padang. Hal ini ia lakukan mungkin sejak 10 tahun lalu. Ini lebih karena angkot yang mulai bising dan Pak Kaharuddin sudah terbiasa berjalan kaki semenjak muda. Di perjalanan, Pak Kaharuddin sering membunyikan bansinya memainkan musikapa saja yang ia mau.
Dalam bayangannya, ia sedang melewati persawahan yang hijau dengan menapaki setapak kecil di sela-sela bentangan sawah. Walaupun sesungguhnya ia tengah melewati jalan raya yang ketika pagi sering dilewati mobil-mobil raksasa beroda delapan. Pula ketika ia sudah sampai di pusat kota, saat melewati pasar yang baru dibuka, ia berharap bahwa bansinya bisa membantu membuat semangat para penjual sayur, penjual ikan, atau yang lainnya. Akan tetapi, Pak Kaharuddin tidak tahu. Suara sumbang yang terhasil dari dia dan bansinya.
Begitulah, Pak Kaharuddin sepanjang hari. Sepanjang masa semenjak istrinya pergi. Anak-anaknya sudah lama meminta agar ia tak lagi bertindak semacam itu. “Bapak hanya mencari gelak tawa orang saja,” sesal anaknya yang semata wayang tersebut, tetapi dasar Pak Kaharuddin kepala batu. Ia percaya jika usahanya itu tidak akan sia-sia sampai hari itu.
***
Lama jalanan ditutup, kemudian terlihat banyak mobil-mobil mewah melaju dengan kecepatan kencang lewat di jalanan kosong dengan pengawalan mobil polisi yang cukup ramai. Sesampainya di pusat pemberlanjaan, rombongan presiden itu langsung mencari Pak Kaharuddin. Ditanyanya ke sana-sini tentang keberadaan Bapak paruh baya itu, tetapi gerombolan yang sejujurnya lebih banyak diisi orang bingung dan tidak mengerti oleh karena keadaan tersebut hanya terbengong-bengong mendengar pertanyaan mengenai Pak Kaharuddin. Apalagi, yang ditanya itu adalah para ibu-ibu penjual sayur yang sebelumnya mereka tidak mengetahui masalah yang sebenarnya terjadi sehingga ketika ajudan itu bertanya pada ibu-ibu di daerah Kuranji yang terbiasa untuk pulang dari pasar dengan angkutan kota berwarna merah, bukannya mendapat jawaban, para ajudan presiden tersebut malah ditanya balik.
“Ado apo ko?,” tanya ibu-ibu itu malah membuat ajudan kepresidenan garuk-garuk kepala yang pada akhirnya mereka balik kanan ke mobil presiden untuk melaporkan keadaan.
Setelah lama berbicara, para ajudan kembali mencari Pak Kaharuddin hingga malam dan pada pukul 05.00 wib pencarian beranjak ke daerah toko buku tempat biasa Pak Kaharuddin memainkan bansinya. Melihat mobil mewah tadi beranjak, para gerombolan tersebut mulai membubarkan diri sehingga kawasan Plasa Andalas menjadi lengang, gerombolan mulai menyebar mengira masalah sudah selesai, tetapi malang tak dapat dielak. Jalanan yang ditutup kini bertambah ke arah toko buku. Jalan sepanjang Permindo dan Damar kini disterilkan, sedangkan gerombolan yang tadi sudah senang karena keadaan sudah pulih kembali terbengong.
“Ahh… apa-apaan ini.”
Sesampai di depan toko, para pengemis berebutan mengangkat wadah tempat recehan mereka, jarang-jarang mereka kedatangan orang berjas rapi seperti itu, tapi hanya pertanyaan yang mereka dapatkan.
“Anda Pak Kaharuddin?”
Pertanyaan itu dijawab gelengan beberapa orang sampai satpam yang melihat keadaan itu merasa khawatir dan bertanya. Lama tanya jawab tersebut dilakukan. Kemudian, ajudan presiden tersebut mengundurkan diri. Ternyata yang dicari sudah lama tak terlihat di area toko buku tersebut. Hal ini membuat rombongan presiden pun pergi dengan perasaan kecewa.
***
Berita mengenai Pak Kaharuddin mulai lengang, presiden tidak lagi memikirkan Pak Kaharuddin dan bansinya. “Mungkin beliau sudah meninggal,”ucapnya kepada salah satu ajudan saat perjalanan pulang ketika itu. Keadaan mulai normal seperti sediakala, sampai ada salah-satu ajudan presiden yang tergopoh-gopoh membawa sebuah kabar dari satpam yang mereka temui tempo hari.
Aku melihatnya hari ini.
SMS itu diperlihatkan kepada Pak Presiden. Seketika itu, beliau langsung meminta ajudannya untuk menelepon nomor tersebut.
“Assalamualaikum, benar dengan Bapak Kaharuddin?”
Bapak Kaharuddin seketika terhenyak. Suara yang biasa ia dengar di televisi kini didengarnya langsung tanpa kesalahan. Bansinya terlepas seketika, lalu kedua tangannya kemudian menggenggam handphone tersebut dengan erat seakan tengah memeluk orang yang meneleponnya. Ia terdiam lama sampai suara Presiden itu kembali menghentak.
“Pak Kaharuddin,” ucap sang Presiden.
“Iiiiooo…,” suaranya bergetar.
“Boleh saya pinjam bansinya Pak,” tanya bapak presiden.
“Baa tu Pak?” heran Pak Kaharuddin, dan setelah dibisiki seorang ajudan, Bapak Jokowi mulai bercerita alasan permintaannya tersebut.
“Sia ngecek?” Walaupun tinggi, suaranya terdengar serak akibat batuk yang semakin parah karena sudah lama menggerogoti tenggorokannya 5 tahun yang lalu.
“Ia pak, boleh kami lihat?” jawab Bapak Presiden.
“Untuak apo diliek-liek, indak ado bagai carito mode itu do!” sentak Pak Kaharuddin. Bapak presiden yang mulai bingung menyerahkan telepon genggamnya pada ajudannya yang orang Minang. Setelah perdebatan yang cukup panas, keduanya kemudian bersepakat menutup pembicaraan mereka.
“Buliah den minta wakatu?” pinta Pak Kaharuddin sebelum kesepakatan mereka sepakati.
“Kami akan menunggu keputusan Bapak, terima kasih Pak. Kalau begitu saya tutup dulu teleponnya,” Jawab ajudan seketika.
***
“Sudah saya bilang kan Pak, mereka tidak tertarik dengan lagu Bapak. Tapi malah dengan bansi Bapak. Sekarang Bapak mau apa Pak?,” suara itu terdengar sedikit tinggi dari biasanya, sedangkan Pak Kaharuddin hanya terdiam. Usaha yang ia lakukan selama ini ternyata tidak memberikan hasil apa-apa. Bahkan kesalahpahaman yang terjadi kemudian. Pak Kaharuddin kemudian masuk ke dalam kamarnya.
“Bapak kira,” ucapnya semakin tersedu.
“Buk… maafkan aku,” kini tangisnya tumpah ruah. Suara tangis yang sendu itu membuat anaknya tak kuasa pula menderaskan anak sungai di luar kamar sampai bapaknya kembali keluar kamar membawa bansi itu dan menyerahkan kepada anaknya.
“Ini, mungkin perjuangan Bapak sudah harus berhenti di sini. Tolong serahkan ini kepada Bapak Presiden. Semoga bisa digunakan dengan lebih baik,” diserahkannya bansi kepada anaknya dengan senyum sesimpul taji ayam malam itu.
“Bapak mau salat Isya dulu,” ucapnya kemudian.
***
Bapak presiden bergetar saat membaca surat dari Padang yang dikirim bersama bansi Pak Kaharuddin tersebut dan untuk mengapresiasi perjuangan Pak Kaharuddin, bansi tersebut disimpan sebagai warisan budaya di Museum Nasional sebagai bansi Pak Kaharuddin. (*)
Biodata Penulis:
Najla Anissa Fatin adalah alumni Jurusan Sejarah Universitas Negeri Padang (UNP) Angkatan 2010. Putri pertama dari Hendry Anharyadi dan Elfianti ini pernah berproses di Unit Kegiatan Kesenian UNP dan pernah menjadi Koordinator Sastra selama dua kali kepemimpinan. Ia berasal dari Sungai Tanang, Kabupaten Agam dan pernah ikut Peksiminas dalam rangka lomba Penulisan Puisi pada tahun 2012 dan karyanya pernah terbit dalam beberapa buku antologi. Kontak Najla, adalah 081374138865/ email: najlaanissafatin@gmail.
Logika Bertutur dalam Cerpen Bansi Pak Kaharuddin
Oleh: M. Adioska
(Anggota Forum Lingkar Pena Sumatera Barat dan Guru di Kota Bukittinggi)
Lebih dari satu dekade yang lalu, ketika penulis menghadiri pelatihan menulis bersama penulis nasional, sekaligus editor salah satu surat kabar, Yusrizal KW, kami membahas beberapa hal terkait dengan penulisan fiksi, khususnya cerpen. Saat itu, Om KW (begitu kami memanggil beliau) menyampaikan dan menekankan masalah logika dalam bercerita. Ia menyampaikan bahwa banyak cerpen yang menarik dengan ide-ide yang bagus. Namun sayang, banyak pula di antara cerita tersebut yang “tergelincir” hanya karena masalah logika.
Sebagai contoh pendapat tersebut, ia menyampaikan, ada sebuah cerita menarik yang dikirimkan kepadanya tentang seorang tokoh yang mempunyai patung setinggi 12 meter yang diperoleh dari daerah Timur Indonesia. Patung tersebut kemudian dimasukkan ke dalam rumah. Cerita kemudian berlanjut hingga selesai, tetapi yang menjadi permasalahannya adalah patung yang sedemikian tinggi dapat masuk ke dalam sebuah rumah biasa, rumah kebanyakan, yang kisaran tingginya hanya tiga sampai empat meter saja. Hal ini akhirnya menjadi pertimbangan untuk tidak memuat cerpen tersebut dalam media masa yang kolomnya ia kelola saat itu.
Pada dasarnya, logika bercerita adalah masalah klasik yang sering ditemui dalam sebuah cerpen. Anindito (2008) membahasakan logika bercerita dengan logika bertutur. Menurutnya, logika bertutur adalah logika dalam menyajikan atau mengungkapkan pesan ke pembaca/penonton.
Terkait dengan logika bertutur ini, banyak sudah cerpen yang menyajikan cerita yang pada dasarnya tidak terterima oleh akal sehat. Namun, karena kepiawaian penulis serta alur yang masuk akal. Justru ketidakmasukakalan ini akhirnya menjadi daya tarik sendiri. Sebagai contoh, sebuah cerpen yang berjudul “Sepotong Senja untuk Pacarku” karya Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 9 Febuari 1991). Secara ringkas, cerpen ini menceritakan tentang tokoh yang memotong senja, dengan angin, debur ombak, matahari terbenam dan cahaya keemasan. Dalam cerita ini, senja tersebut memang dipotong secara harfiah, dengan nyata, kemudian dimasukkan ke dalam amplop yang tertutup rapat. Senja dalam amplop inilah yang kemudian dikirimkan ke sang pacar.
Pada lanjutan ceritanya, penulis menerangkan bagaimana si tokoh mendapatkan sepotong senja itu, bagaimana reaksi orang-orang yang melihat kejadian tersebut, bagaimana perjuangannya agar senja itu sampai kepada sang kekasih, serta kejadian-kejadian lain yang menyangkut peristiwa pemotongan senja tersebut. Secara nyata, tindakan memotong senja tidak dapat diterima akal sehat namun alur yang dibangun serta penjelasan-penjelasan yang disajikan pengarangnya mampu menggiring pembaca untuk memahami cerita tersebut sehingga seakan-akan tindakan tersebut adalah sesuatu yang logis. Dengan demikian, tindakan yang tidak logis menjadi padu dengan alur pendukungnya dan pada ujungnya dapat diterima secara akal sehat. Cerpen ini akhirnya banyak dikutip oleh orang lain dan dijadikan perbandingan untuk dianalisis pada kajian ilmiah dan lain sebagainya.
Mengacu pada penjelasan di atas, edisi kali ini, Kolom Kreatika mengangkat sebuah cerpen yang berjudul “Bansi Pak Kaharuddin” karya Najla Annisa Fatin. Dalam cerpen ini, dapat dilihat dengan jelas bahwa sumber cerita ini berasal dari rasa keprihatinan penulis terhadap keberadaan musik tradisional yang mulai hilang ditelan masa. Hal ini digambarkan dengan jelas melalui tokoh Pak Kaharuddin yang tetap bersikeras meniup bansi di tengah perkembangan zaman dengan harapan sederhana, yaitu memperkenalkan alat musik tradisional kepada generasi muda. “Tak apa Nak, setidaknya Bapak bisa membantu memperkenalkan musik tradisonal kepunyaan kita kepada generasi muda”.
Konflik dalam cerita ini muncul ketika bansi Pak Kaharuddin diyakini oleh sekelompok orang memiliki kemampuan yang bisa mengabulkan doa. Konon, sesaat seusai bansi dibunyikan, semua doa yang dipanjatkan orang-orang akan terkabul. Berita burung itu akhirnya menyebar, bahkan tersiar melalui media sosial, dan akhirnya viral. Saking viralnya, berita itu sampai pula ke telinga Presiden. Presiden lalu mengutus beberapa ajudannya untuk mencari Pak Kaharuddin. Peristiwa pencarian Pak Kaharuddin dijelaskan dengan rinci oleh pengarang dengan cara mencantumkan nama-nama tempat di kota Padang, seperti kawasan Plaza Andalas, Permindo, Damar, Kuranji dan tempat lainnya. Hal ini memberikan kesan bahwa pengarang benar-benar menguasai lokasi yang diceritakan dalam cerpen tersebut.
Penggunaan latar tempat yang nyata, bisa jadi merupakan kelebihan dalam sebuah cerita. Ditambah lagi dengan kemampuan pengarang yang mampu menghidupkan suasana tempat yang diceritakan tersebut, akan mampu membawa pembaca seakan berada pada tempat yang dimaksud. Hal ini tentu akan memudahkan pembaca untuk memahami alur yang dibangun dalam cerita tersebut. Dalam cerpen “Bansi Pak Kaharuddin” ini juga dapat dilihat bahwa cerita ini ditulis oleh dan/atau ditujukan untuk kalangan milenial. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan beberapa diksi yang menunjukkan itu, seperti kata netizen, trending topic, twitter, status, facebook, viral, serta kata-kata lainnya yang akrab di kalangan anak muda saat ini.
Terlepas dari pembahasan tema, tempat serta diksi di atas, cerpen “Bansi Pak Kaharuddin” menawarkan alur cerita yang mudah dipahami oleh pembaca. Namun, pada tingkat lebih lanjut, alur yang diceritakan dalam cerpen ini belum diikuti oleh logika bertutur yang rasional. Logika bertutur dalam cerpen ini terlihat ketika berita burung mengenai kelebihan bansi Pak Kaharuddin sampai ke telinga presiden. Presiden kemudian menurunkan beberapa ajudannya untuk mencari Pak Kaharuddin. Hasil pencarian itu nol besar. Para ajudan presiden dengan memberlakukan penutupan jalan besar, serta bergerombol pula, tidak dapat menemukan seorang Kaharuddin, si peniup bansi.
Jika dirunut secara akal sehat, seorang presiden dengan kekuasaannya serta alat negara yang berada di bawah perintahnya, tentu tidak akan sulit untuk menemukan satu orang warganya. Sarana dan personil serta data pendukung untuk ukuran seorang presiden tentu sudah dikuasainya. Belum lagi kekuatan intelijen negara yang mampu menyusup ke semua kalangan masyarakat, tentu akan sangat membantu pencarian salah seorang warga negaranya sehingga rasanya untuk mencari seorang Pak Kaharuddin tidaklah diperlukan operasi sebesar itu.
Di samping ajudan presiden yang tidak bisa menemukan Pak Kaharuddin, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah seberapa pentingkah sebuah bansi bagi kepala negara sehingga ia terpaksa turun tangan langsung untuk mendapatkan alat musik tradisional itu? Kembali lagi, jika dirunut secara logika, untuk mendapatkan sebuah alat musik tradisional, yang memiliki kekuatan bertuah pula, tidak seharusnya dan tidak sepantasnya menjadi gawean kepala negara. Sebagai kepala negara, tentu seorang presiden memiliki tugas dan tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan dengan hanya mendapatkan sebuah bansi.
Pada ujung cerita “Bansi Pak Kaharuddin,” melalui perkataan si anak, penulis secara tersurat menyatakan bahwa sebenarnya orang-orang lebih tertarik kepada bansi sebagai benda yang dianggap sakral, bukan pada bansi sebagai seni, seperti yang diharapkan Pak Kaharuddin selama ini. “Sudah saya bilang kan Pak, mereka tidak tertarik dengan lagu Bapak. Tapi malah dengan bansi Bapak. Sekarang Bapak mau apa Pak?” Barangkali, inilah sebenarnya nilai yang ingin diangkat oleh penulis dalam cerpen ini. Sayang, pemunculan nilai ini kurang tereksplorasi dengan sempurna. Hal ini karena peristiwa pendukung berupa pencarian terhadap Pak Kaharuddin oleh presiden terkesan menjebak penulis dalam masalah logika bertutur. Seandainya, penulis mampu membuat sebuah satire tentang presiden yang percaya pada tahayul bansi keramat. Tentu cerita ini akan lain lagi kesannya.
Jika dibaca lagi dari awal hingga akhir dengan penuh pemahaman, cerpen ini memiliki tema yang menarik karena berusaha mengangkat sesuatu yang dinilai tradisional ke dalam kehidupan modern saat ini. Namun sayang, logika bertutur yang ditawarkan dalam cerita ini tidak padu dan kurang terterima di akal sehat. Terlepas dari semua itu, selamat pada Najla Annisa Fatin yang sudah berhasil menulis cerpen ini. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.