Cerpen: Bernardus Kolling Pamungkas
Sore yang senggang untuk Janu, pendiri Bhakti Media, perusahaan yang bergerak di bidang media massa. Bhakti Media tumbuh dengan baik lagi cepat. Janu dan beberapa kawan yang tertarik dengan dunia jurnalisme merintis Bhakti Media sejak di bangku perkuliahan. Surat kabar kampus adalah langkah pertama Bhakti Media berjalan. Langkahnya berlanjut. Bhakti Media kini memiliki wajah di majalah, radio, program televisi, bahkan di dunia daring, mengikuti perkembangan zaman.
Janu sedang tidak sibuk belakangan ini, bukan karena tidak ada pekerjaan yang harus ia tangani melainkan butuh waktu untuk bangkit dari rasa duka. Sembilan hari yang lalu Ibu Hera berpulang. Setangguh apapun Janu di mata orang lain, Janu tetap manusia. Janu kehilangan keseimbangan.
“Tak apa, Jan. Ambil waktu khusus untuk dirimu. Aku paham. Tak perlu khawatir, ada aku, yang akan urus pekerjaanmu.” Budi menasihati Janu.
“Apa kau yakin sanggup seorang diri?” Janu bertanya. Nadanya datar tapi terdengar merendahkan.
“Apa katamu? Seorang diri? Kawan, Bhakti Media bukan soal kau dan aku, tapi tiap-tiap anggota yang bahu membahu menghidupkannya. Lagi pula, Bhakti Media memiliki akar kokoh yang menancap dalam. Tak mungkin goyah. Apalagi, yang kau khawatirkan?” Budi memberikan jawaban dengan nada tinggi.
Budi adalah kawan karib Janu sekaligus rekan kerja yang turut ambil andil dalam mendirikan Bhakti Media. Sekilas, Budi dan Janu terlihat seperti musuh bebuyutan, selalu berseberangan dan seringkali berbebat hebat, tapi jika dilihat lebih dalam, mereka adalah satu kesatuan yang saling melengkapi. Janu bersyukur mengenal Budi. Berkat Budi, Janu seperti memiliki tangan lain di luar tubuhnya.
Janu mengindahkan nasihat Budi. Janu berkemas. Ia akan bertolak dari Jakarta ke Bandung, kampung halamannya, tempat ia tumbuh. Di sana, ia bertemu dengan Ibu Hera, sosok yang berperan penting dalam hidupnya. Ibu Hera adalah seorang guru tingkat SMA, pengampu mata pelajaran bahasa Indonesia yang juga menjabat sebagai kepala sekolah di salah satu sekolah swasta di Bandung tempat Janu bersekolah.
Janu remaja adalah seorang anak laki-laki yang tak banyak bicara dan sering melanggar aturan. Ia sukar bersosialisasi dan hobinya berkelahi. Di awal semester, tingkat pertama di bangku SMA Janu terlibat 9 kasus perkelahian (yang tercatat). Hal tersebut membuat Ibu Hera penasaran dan turut berpartisipasi menyelesaikan permasalahan yang terjadi dengan siswanya.
Ibu Hera membuka daftar data diri siswa. Dengan teliti, ia mencari sebuah nama. Januar Wicaksono. Setelah mendapatkan nama tersebut air wajah Ibu Hera keheranan. Semasa SMP, Janu berpindah sebanyak dua kali. Jika dilihat dari hasil belajar, Janu tidak memiliki nilai yang buruk, bahkan bisa dibilang cukup baik. Tidak heran jika Janu lolos seleksi tertulis penerimaan siswa baru. Akhirnya, secara khusus Ibu Hera memanggil Janu untuk bicara.
“Selamat siang, Bu.” Wajah Janu yang dingin menghampiri Ibu Hera di ruang kepala sekolah.
“Selamat siang, Janu. Duduklah! Ibu mau bicara.” Ibu Hera menyambut Janu dengan ramah. Janu duduk berhadapan dengan Ibu Hera. “Janu, bisa kamu ceritakan permasalahan apa yang terjadi sampai kamu berekelahi dengan teman-temanmu?”
“Saya hanya tidak suka mereka, Bu.”
“Apa yang membuatmu tak suka?”
“Sikapnya.” Hanya jawaban-jawaban singkat yang dilontarkan Janu.
“Baiklah, Janu. Minggu depan adalah penerimaan hasil belajar semester pertama. Bisa Ibu bertemu dengan orangtuamu?”
“Saya tidak yakin, Bu. Ayah saya bekerja.”
“Bagaimana dengan Ibumu?”
“Ibu juga tidak bisa. Sudah dikubur lima tahun lalu.” Janu menjelaskan situasi.
“Oh, maaf atas hal itu.” Suasana menjadi canggung. Ibu Hera merasa tidak enak. “Kalau begitu, bisa kamu luangkan waktumu sore ini? Sepulang sekolah, bisa bantu Ibu?”
Janu mengangguk tanpa tahu bantuan apa yang diperlukan Ibu Hera, lalu berjalan keluar ruangan diantar senyum hangat Ibu Hera. “Anak yang malang. Mungkin hanya butuh perhatian.” Ucap Bu Hera dalam hati.
Bel pulang sekolah berdering. Janu menunggu Ibu Hera di depan ruang kepala sekolah. Setelah tiga puluh menit menunggu, Ibu Hera muncul dari balik pintu. “Maaf lama, Jan. Ada beberapa hal yang harus Ibu urus terlebih dahulu.” Mereka pergi dengan menggunakan bus menuju rumah Ibu Hera. Rumah Ibu Hera berada di ujung jalan. Rumahnya asri, banyak tanaman. Begitu sampai, Janu disuruh menyiram tanaman-tanaman, sementara Ibu Hera sibuk menyiapkan makan malam.
“Sehabis magrib akan ada anak-anak datang. Kita akan makan malam bersama, setelah itu bantu Ibu mengajarkan anak-anak matematika, ya.” Ucap Ibu Hera. “Ibu tahu kamu pintar matematika,” lanjutnya. Selang beberapa lama, seorang bapak datang mengenakan sepeda motor.
“Janu, kenalkan ini Pak Bondan, suami Ibu.” Ibu Hera menjelaskan.
“Halo, siapa namamu? Murid Bu Hera?” Sapa Pak Bondan kepada Janu.
“Saya Janu, Pak. Murid Bu Hera.” Janu memperkenalkan diri.
Anak-anak mulai berdatangan. Sekitar sembilan anak jumlahnya. Mereka duduk memenuhi ruang tamu dan teras Ibu Hera. “Anak-anak, kenalkan ini Kak Janu. Hari ini Kak Janu akan bantu Ibu mengajarkan matematika.” Ibu Hera memperkenalkan Janu kepada anak-anak.
Janu mulai mengajar. Anak-anak yang antusias menghadirkan semangat dalam diri Janu. Satu per satu soal matematika tingkat SD diselesaikan oleh Janu disertai dengan penjelasan yang menjawab kebingungan anak-anak. Pengajaran matematika usai kira-kira pukul delapan malam. Anak-anak berpamitan. Janu akan pulang diantar oleh Pak Bondan menggunakan sepeda motor.
“Terima kasih bantuannya, ya, Janu,” ucap Ibu Hera. “Ini rumah Ibu. Kapan pun kamu ingin, kamu boleh datang kemari.”
Di perjalan pulang, Pak Bondan banyak bercerita. “Bu Hera dan saya tidak dikaruniai anak. Jadi, Bu Hera sering undang anak-anak datang ke rumah. Itu juga alasan Ibu Hera jadi guru. Biar dekat dengan anak-anak. Tahu rasanya mengurus anak.”
Pascahari itu, Janu sering ikut serta mengajar anak-anak di rumah Ibu Hera. Hubungan Ibu Hera dan Janu semakin dekat, bahkan seperti hubungan ibu dan anak. Janu bisa terbuka terhadap Ibu Hera mengenai hal apa pun. Perlahan sikap Janu pun berubah menjadi lebih baik. Janu mulai kenal kompromi dan bersosialisasi. Banyak hal baik yang Janu serap dari Ibu Hera.
Janu tidak lagi hanya mengajarkan matematika saja, tapi juga membantu anak-anak menumbuhkan kreativitas. Janu mengajak anak-anak untuk menonton film, membuat serta membaca puisi, menggambar serta mewarnai dan lain sebagainya. Secara tak disadari, kegiatan-kegiatan itu menjadikan Janu jatuh cinta terhadap dunia sastra dan pendidikan. Tawa anak-anak membuat Janu termotivasi untuk lebih banyak lagi memberikan hal baik.
***
Hari itu, hari Minggu. Janu mengunjungi rumah Ibu Hera untuk sekedar melepas penat dan sarapan. Janu mendapatkan Ibu Hera duduk di teras membaca surat kabar sambil mengomel. “Kenapa, Bu?” Tanya Janu. “Masih pagi, kok, marah-marah?”
“Ini lho, Jan” Ibu Hera menunjuk koran yang ia baca. “Belakangan ini, banyak berita yang dimuat kurang baik. Subyektif. Opininya hanya menggiring masyarakat ke arah buruk. Coba kamu baca! Isinya menjelek-jelekan pihak lain, tidak ada data yang jelas juga disertakan.” Ibu Hera menjelaskan kekesalannya sambil melepas kacamatanya.
Janu duduk dan mengambil surat kabar yang membuat Ibu Hera kesal. Janu mulai membaca. Ibu Hera datang menghampiri Janu setelah dari dapur, membawakan kopi dan pisang goreng. “Menulislah, Jan! Sebarkan kebaikan!” Katanya. “Kamu pintar, kamu paham cara menulis. Tulisanmu bagus. Bantulah negara ini untuk maju!”
Perkataan Ibu Hera membangunkan roh yang lama tertidur di dalam diri Janu. Janu mulai menulis. Janu banyak menulis artikel dan mengirimkannya pada pihak surat kabar. Tulisan Janu bagus. Risetnya mendalam dan yang paling penting isinya mengandung kebenaran. Layak untuk disajikan kepada masyarakat. Tulisan Janu mulai dimuat pada kolom opini di surat kabar. Sesekali, Janu juga menulis puisi.
***
Pesta kelulusan digelar. Sepanjang acara, Janu merasa tidak nyaman. Ibu Hera tidak datang ke sekolah. Seorang guru mengabarkan melalui pengeras suara di atas panggung alasan Ibu Hera tidak dapat hadir pada pesta kelulusan dan memberi sambutan karena suaminya mengalami kecelakaan lalu lintas dan mengajak kami semua untuk berdoa. Mendengar kabar itu, Janu langsung bergegas pergi ke rumah Ibu Hera. Berkali-kali, Janu menelepon Ibu Hera tetapi tidak mendapat jawaban.
Bendera kuning terpasang di depan rumah Ibu Hera. Kecelakaan tersebut membuat Pak Bondan kehilangan nyawanya. Janu memasuki rumah. Dilihatnya Pak Bondan dalam keadaan tertidur dan berbalut kain putih dan batik. Tangis Ibu Hera tumpah. Tidak tega Janu melihatnya. Ia peluk Ibu Hera.
Janu lolos seleksi mahasiswa baru di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta melalui jalur undangan, tapi ia mendaftarkan diri pula untuk mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi negeri di Bandung. Kepergian Pak Bondan menjadikan Ibu Hera rapuh. Hal itu menjadi pertimbangan Janu pula untuk melanjutkan kuliah di luar kota. Janu ingin dekat dengan Ibu Hera.
Janu belajar dengan sungguh. Tiada satu hari pun terlewatkan tanpa belajar. Alhasil, Janu lolos masuk seleksi penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi negeri di Bandung, jurusan teknik elektro. Janu bersyukur atas hal itu. Ia bisa dekat dengan Ibu Hera dan mengajar anak-anak. Mereka adalah sumber semangat bagi Janu.
Janu berdinamika di bangku perkuliahan. Tulisannya makin baik. Bagaimana tidak, Ibu Hera selalu menjadi membimbingnya. Janu mengikuti komunitas menulis di kampus. Dalam komunitas itu, Janu bertemu dengan Budi. Keseriusan Janu dalam menulis membuahkan Bhakti Media.
“Seandainya Ibu memiliki anak, Ibu beri nama dia siapa?” Tanya Janu kepada Ibu Hera.
“Bhakti.” Jawab Ibu Hera. Demikianlah Bhakti Media lahir.
***
“Rumah ini terasa asing tanpamu, Bu,” ucap Janu kepada potret wajah Ibu Hera di dinding ruang tamu.
Sore itu, turun hujan. Suasananya dingin. Janu duduk di teras rumah Ibu Hera, mengamati tanaman-tanaman Ibu Hera yang mulai layu sambil menghangatkan diri dengan kopi. Pikirannya tertarik ke masa lalu.
Biodata:
Bernardus Kolling Pamungkas dilahirkan dan besar di Bandung pada 19 Februari 1996. Penulis berharap mampu kembali berdinamika di tanah kelahirannya setelah ditempa di bagian bumi lainnya. Penulis bercita-cita menjadi guru pada pagi hari, menjadi petani di siang hari dan menjelang malam penulis ingin menjadi seorang jurnalis. Pada waktu senggang, penulis bermain gitar, membaca novel, membuat cerita atau puisi. Penulis tersesat dan jatuh di dunia elektro. Penulis merupakan lulusan Sarjana Terapan Teknik, Politeknik Negeri Bandung pada tahun 2019.
Discussion about this post