Elly Delfia
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Sebuah karya adalah saksi hidup dari realitas sosial masyarakat tempat ia dilahirkan. Demikian juga dengan buku kumpulan puisi Esok yang Selalu Kemarin (EYSK) ditulis oleh Ragdi F. Daye. Buku yang diterbitkan pada tahun 2019 oleh penerbit jualbukusastra.com ini adalah saksi hidup dari realitas dan kognisi sosial masyarakat. Buku ini memuat 52 puisi. Kelima puluh dua puisi tersebut, yaitu Hiruopal 5, Siluet, Punggung Padang Rumput, Tikam Aku Tengah Hujan, Pemeluk Api, Sungai Ibu, Peladang Lado, Lalu Aku Mati, Hiruopal 4, Memorabilia Amnesia, Kucing Semak, Mudik, Lekuk, Semenjana, Tonggak Tua, Sebatang Ayah, Anak Ayah, Tidur di Ketiak Ayah, Anak-Anak Hujan, Bunga yang Tak Kena Hujan, Ladang Kardamunggu, Tanah Darah, Mandeh, Laut Tumpah, Camar Bosporus, Perahu Kayu, Lauk Pukat, Anak Ikan, Tak Ada Paus di Singkarak, Jepit Rambut, Mug Biro Bahagia, Kapal Sabut Kelapa, Siput, Meyayat Lemon, Kopi Dingin Nan Yo, Sol 39, Enamel, Stasiun, Hotel Tepi Sungai, Kolam Kecil Hotel Oranye, Memandikan Kuda, Lingkar Danau, Kota Kelemayar, Kerankustik, Riwayat Kesedihan Anak-Anak Kumbang Tanah, Obituarium, Enggang Mencari Sarang, Suaka, Esok Yang Selalu Kemarin.
Dalam buku ini, tidak disebutkan dengan jelas kapan saja tahun masing-masing puisi ditulis. Menilik tema-temanya, sepertinya puisi-puisi tersebut ditulis dalam tahun yang berlainan. Buku ini merupakan buku kumpulan puisi tunggal pertama Ragdi F. Daye. Puisi-puisi dalam EYSK merupakan puisi-puisi pilihan dan beberapa sepengatahuan saya sudah memenangkan beberapa lomba. Dengan kata lain, puisi-puisi dalam EYSK merupakan puisi-puisi pilihan yang layak mendapatkan apresiasi dari pembaca. Apresiasi dapat dilakukan dalam bentuk perbincangan di ruang-ruang akademis, seperti dalam diskusi dan dalam seminar di kampus-kampus, maupun dalam diskusi yang hangat di kedai-kedai kopi. Penulis dengan nama asli Ade Efdira ini telah berkonsisten menulis puisi-puisi sarat kontemplasi tentang yang paradoksitas, yang berpilin, yang sedih, yang luka, dan yang rumit dengan frasa-frasa lirisnya yang manis.
Kali ini, apresiasi dilakukan dengan membentangkan dan mengulas buku ini untuk diperbincangkan dengan pendekatan analisis wacana kritis sederhana. Menurut catatan sejarah Young dan Harrison (ed.2004:2-4) dalam Wiratno (2018:375), analisis wacana kritis (AWK) merupakan cabang dari analisis wacana (AW) yang dikenal dengan linguistik kritis (critical linguistics) dan berkembang di East Anglia, Inggris pada tahun 1970-an yang berasal dari pemikiran Roger Fowler, Gunther Kress, Robert Hodge, dan Tony Trew yang mendasarkan pemikiran pada linguistik sistemik fungsional yang dipelopori oleh M.A.K Halliday.
Dalam pandangan linguistik kritis, analisis penggunaan bahasa memusatkan perhatian kepada peran yang dimainkan oleh bahasa dalam menyuarakan kekuasaan bagi kelompok sosial tertentu dalam masyarakat dan ada ideologi yang melekat di dalam teks. Kekuasaan itu dapat disampaikan dengan teks-teks yang diciptakan dan diproduksi oleh kelompok sosial atau individu tertentu sebagai bagian dari anggota masyarakat. Untuk membongkar kekuasaan dan ideologi yang tersembunyi di balik teks, dibutuhkan suatu analisis kognisi dan konteks sosial yang berkaitan dengan memori.
Analisis kognisi atau koginitif memandang teks tidak mempunyai makna, tetapi makna diberikan oleh pemakai bahasa, atau lebih tepatnya proses kesadaran mental dari pemakai bahasa (Eriyanto, 2011:260). Salah stau elemen penting dalam proses kognisi sosial menurut Van Dijk dalam Eriyanto (2011:264) adalah memori. Memori manusia terdiri atas dua, yaitu memori jangka pendek (short term memory) dan memori jangka panjang (long term memory). Memori jangka pendek adalah ingatan memori terhadap peristiwa, kejadian, atau hal yang kita acu yang terjadi beberapa waktu lalu, misalnya pertemuan dengan seorang teman beberapa waktu lalu dan demonstrasi yang terjadi di kota beberapa hari lalu. Memori jangka panjang adalah memori atau ingatan yang dipakai untuk mengingat peristiwa yang terjadi dalam jangka waktu yang lama, misalnya wajah teman sebangku waktu SMA, peristiwa G-30S/PKI, dan lain-lain. Memori ini disebutkan sebagai memori yang paling relevan dengan kognisi sosial (Eriyanto, 2011:265). Memori ini terbagi dua, yaitu memori episodik dan memori semantik. Memori episodik adalah memori adalah memori yang berhubungan dengan diri sendiri dan menyediakan ingatan tentang autobiografi, misalnya siapa diri kita, orang tua, dan di mana kita sekolah. Memori semantik adalah ingatan yang digunakan untuk menjelaskan pengetahuan tentang dunia realitas, misalnya ibu kota Indonesia adalah Jakarta, Soekarno adalah presiden pertama Republik Indonesia, dan sebagainya.
Puisi-puisi dalam EYSK merupakan puisi-puisi yang mencerminkan kumpulan dari memori episodik yang berasal dari alam pikiran Ragdi F. Daye sebagai penulis. Ada ideologi yang tertanam dalam setiap rangkaian memori ini. Memori episodik salah satunya dapat dilihat dari puisi yang menjadi judul buku, yaitu Esok Yang Selalu Kemarin. Esok yang selalu kemarin adalah pergulatan ingatan atau memori tentang waktu. Bagaimana orang-orang mengingat hari esok itu selalu sama atau konstan atau tidak berubah atau sama dengan hari kemarin. Esok yang selalu kemarin adalah representasi waktu yang selalu sama yang tertanam dalam memori episodik manusia. Memori episodik tersebut tergambar dalam larik-larik puis Esok Yang Selalu Kemarin berikut:
Lingkaran ini telah memilih kita/ burung-burung kecil dengan kicau/seperti tangis, seperti erang luka/ mengepak-ngepak tinggi/ mengagumi indah semesta/ tapi tidak kemana-kemana/
Angin menyeka kesedihanku/meredam sedu-sedanku/ sayap cabikku memeluk kesepianmu/mendekap sumuk hampamu/ Eroseutica!/ Jiwa kita sudah tertawan di sini/Selamanya/ Pada esok yang selalu kemarin.
Memori episodik dalam larik-larik di atas adalah kata-kata dan frasa yang berkaitan dengan ingatan diri sendiri tentang waktu yang selalu sama, hidup yang selalu sama, hari yang selalu sama, dan peristiwa yang selalu berulang yang dilalui dalam hidup. Ada banyak manusia yang pernah terjebak dalam situasi yang sama. Tidak bisa bisa pergi ke mana-mana dan selalu menjalani rutinitas yang sama setiap waktu. Orang-orang hanya bisa menyerah dan pasrah dengan situasi seperti itu, seperti takdir yang harus dijalani. Larik Lingkaran ini telah memilih kita bisa dimaknai sebagai waktu esok yang selalu kemarin seperti ketetapan atau takdir yang telah menawan dan memenjarakan. Waktu seperti itu harus dijalani oleh manusia yang terjebak dan tertawan dalam lingkaran tersebut. Lingkaran yang menyebabkan kesedihan, sedu-sedan, dan kesepian. Namun, tetap masih ada harapan dan kegembiraan di tengah keadaan yang paling menyedihkan dan menjadi tawanan dari penjara waktu, seperti larik berikut: Angin menyeka kesedihanku/meredam sedu-sedanku/ sayap cabikku memeluk kesepianmu/mendekap sumuk hampamu/.
Puisi “Esok Yang Selalu Kemarin” juga bisa dikaitkan dengan kondisi hari ini saat dunia dilanda wabah corona atau covid-19. Wabah yang mematenkan memori episodik orang-orang tentang ketakutan terhadap virus covid-19, bahkan juga memori semantik setiap orang akan merekamnya. Memori semantik menjadi pengalaman kolektif atau pengalaman yang dimiliki bersama yang akan diingat orang-orang dalam waktu yang panjang tentang wabah. Wabah covid-19 akan memenuhi memori jangka panjang orang-orang di setiap sudut belahan dunia bahwa pada suatu masa nanti, mereka akan mengingat dan menceritakan kembali pada anak cucu tentang wabah mengerikan yang pernah melanda dunia. Meskipun saat ini dan esok, hari terasa masih sama seperti hari kemarin.
Memori-memori episodik juga dapat dilihat pada puisi-puisi lain dalam EYSK, seperti pada puisi “Anak Ayah” dan “Tidur di Ketiak Ayah”. Puisi-puisi ini merepresentasikan ingatan tentang orang tua, khususnya tentang sosok ayah dan kerinduan pada pelukan serta dekapannya.
Pernahkah dia memelukku sesendu ini:/antara rindu dan gundah, janji mencintai sampai mati/Seperti aku memelukmu sekarang/mendekap erat di dada.biarkan kepalamu/rebah di bahu.mengecup ubun-ubunmu/membisikkan doa-doa.
Tidurmu akan lebih lelap/daripada tidurku/ Aku memelukmu.membelai/rambutmu yang selegam bayang-bayang/Melerai masa kecil yang demam/
Larik-larik di atas merepresentasikan memori episodik tentang bagaimana ayah diingat dan dikenang dalam hidup. Pernahkah dia memelukku sesendu ini:antara rindu dan gundah, janji mencintai sampai mati/. Memori atau ingatan tentang ayah tidak hanya tergolong ke dalam memori episodik, tetapi juga memori semantik. Memori tentang ayah adalah memori yang dimiliki oleh semua orang dan diingat orang dalam waktu yang panjang dan lama karena semua orang pasti mempunyai ayah dalam hidupnya. Perbedaannya hanya pada bagaimana setiap orang mengingat kenangan tentang ayah dan bagaimana setiap orang merepresentasikan sosok ayah dalam hidup mereka.
Representasi setiap orang terhadap sosok ayah berkaitan dengan representasi sosial atau kognisi sosial individu sebagai anggota masyarakat. Ayah bukan hanya representasi biologis, tetapi juga representasi sosial dalam suatu masyarakat. Ayah mempunyai tanggung jawab sosial dan moral dalam masyarakat, misalnya ayah harus menjadi teladan yang baik bagi anak-anak, ayah harus menafkahi dan mendidik anak-anak menjadi orang sukes. Itu adalah kognisi sosial yang ada dalam masyarakat. Selain mengandung memori episodik dan semantik yang mencerminkan ideologi dan mental penyair, puisi-puisi dalam EYSK juga merepresentasikan proses komptemplasi dan keterikatan penyair dengan alam dan dengan kehidupan sosial yang tersimpan dalam bentuk memori episodik dan memori semantik. Memori-memori tersebut dimanisfestasikan dengan kata-kata dan frasa yang kaya metafora.
Kekayaan metafora yang terdapat dalam puisi-puisi EYSK berasal dari proses kontemplasi atau perenungan yang mendalam dari penyair terhadap kehidupan. Kontemplasi yang membuahkan kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang terlahir dari kemenangan atas pergulatan perasaan paling primitif dari manusia, seperti benci, marah, dendam, gembira, dan bahagia. Metafora-metafora dalam EYSK mencerminkan perbauran dengan alam. Banyaknya ditemukan kata-kata tentang alam pada puisi-puisi dalam EYSK, seperti kata pantai, sungai, gunung, lembah, laut, matahari, angin, ombak, pelabuhan, rempah, kupu-kupu, pinguin, jin, hantu,api, siput, babi, dan beberapa metafora tentang sejarah dalam puisi berjudul “Sungai Ibu”, seperti larik berikut:
Sungai dalam dirimu menempuh gelap benua/Di tepinya anak-anak berkecimpung menyelam sejarah yang dialirkan sepanjang Nil, Huang Ho, Eufrat, Gangga, Kampar, atau Kapuas/Adalah rahimmu yang membersitkan sungai-sungai ke muara/Kehidupan datang, peradaban lahir, digantikan peperangan, penaklukan/
Memang seyogyanya sebuah puisi mendekatkan diri manusia dengan alam. Alam mengajarkan manusia untuk arif dan bijaksana membaca tanda-tanda. Dalam pepatah Minangkabau kearfian dan kebijaksanaan membaca tanda-tanda dalam belajar pada alam ini tertuang dalam pepatah alam takambang jadi guru. Guru bukan hanya manusia dan guru sekolah, tetapi juga alam semesta tempat kita menjalani kehidupan.
Akhir kata, puisi-puisi memang tidak lahir dalam ruang hampa. Puisi-puisi selalu lahir sebagai representasi dari kognisi dan konteks sosial dari diri penyair sebagai penciptanya. Ada nilai-nilai universal yang terkandung dalam setiap lariknya yang dapat dijadikan pembelajaran hidup dan tempat kita bercermin diri. Demikian ulasan singkat tentang buku kumpulan puisi Esok Yang Selalu Kemarin yang terbuka luas untuk diperbincangkan lebih lanjut dari berbagai perspektif. Semoga mencerahkan.
Padang, 17 Juli 2021