Tuah Pusaka Tinggi
Cerpen: Yulfia Afaz
Lelaki itu mematung tepat di depan Halimah. Tatapan matanya penuh iba seakan mengharap belas kasihan. Halimah merasa di alam mimpi. Beberapa kali ia mencubit pergelangan tangan dan merasakan sakit. Itu artinya ia tidak sedang berhalusinasi.
“Benar ini alamatnya Bu?” tanya salah seorang pria yang memapah lelaki itu. Beberapa menit berlalu, lelaki itu tak kunjung mengeluarkan sepatah kata.
“Ibu kenal dengan lelaki ini?” tanya pria yang satunya lagi. Ia juga memapah lelaki itu sama halnya dengan pria yang sebelumnya. Halimah menatap mereka sesaat kemudian membuang pandangannya jauh-jauh seolah ia tidak sudi atas kedatangan lelaki itu.
“Ibu yang bernama Halimah?” ujar pria yang berkumis tipis dengan ragu-ragu. Jika dilihat dari penampilan, usianya ditaksir sudah lebih dari setengah abad. Wajahnya bulat dan suaranya terdengar begitu lantang di telinga Halimah.
“Kami menemukan pria ini di Bukittinggi. Ia mengalami masalah kesehatan. Awalnya kami beranggapan ia orang Bukittinggi dan kami berniat mengantarkan ke rumah keluarganya, tetapi sepertinya ia lebih memilih diantarkan ke sini,” lanjut pria tersebut sambil memperlihatkan kartu pengenal kepada Halimah.
KTP, tak salah lagi. Sebuah KTP lama yang sudah kadaluarsa. Benda yang dipegang pria itu benar milik suaminya, lebih tepatnya lelaki yang telah menyengsarakan hidupnya. Bisa jadi, benda itulah yang menjadi petunjuk hingga akhirnya mereka kini bisa berdiri tepat di depan pintu rumah Halimah.
“Kami tidak salah alamatkan, Bu?” ujar pria yang satu lagi seolah meyakinkan Halimah. Usianya lebih muda dari pria sebelumnya. Hal itu terlihat jelas dari perawakannya. Jika memandang kedua pria itu, Halimah lebih kasihan kepada mereka ketimbang lelaki yang sedang mereka tolong. Beberapa kali Halimah menyaksikan mereka mengusap peluh yang mengucur di pelipis. Kelelahan jelas tergambar di raut keduanya. Belum lagi jarak yang mereka tempuh puluhan kilo untuk bisa sampai di pelosok desa ini.
“Sebelumnya kami tak mengenal Pak Haryanto. Tadi pagi, saya menemukannya tergeletak di depan toko saya. Ia mengalami kesulitan dalam berbicara. Begitu juga halnya berdiri dan berjalan. Sepertinya ia mengalami kelumpuhan,” tutur salah seorang laki-laki itu.
Halimah hanya bisa menghela nafas panjang. Kisah-kisah kepahitan hidup selama bertahun-tahun ini berkelindan dalam hati dan pikirannya. Di ruang matanya terbayang bagaimana sakitnya perjuangan membesarkan anak-anaknya.
“Saya bingung bagaimana cara menghubungi keluarganya. Saya juga tidak tahu bagaimana ia bisa sampai berada di depan toko. Untungnya saya menemukan sebuah KTP dalam dompet dan akhirnya kami mengantarkannya ke sini. Ini anak saya,” ujar pria berkumis yang mengaku bernama Yamin itu sambil menunjuk pria yang bersamanya.
Halimah memang sudah mempersilahkan mereka masuk dan duduk di tikar seadanya beberapa menit yang lalu. Halimah berusaha mendengarkan penuturan pria itu tetapi memori otaknya sudah dipenuhi oleh rasa benci kepada lelaki yang kini terbaring lemah tepat di hadapannya. Seribu tanya berkecamuk hebat di benaknya. Tapi aneh, sepatah kata pun tak kunjung keluar dari bibirnya.
Setelah mobil yang dikendarai pria itu menghilang, Halimah bergeming. Ia sebenarnya enggan bersua dengan lelaki yang telah menelantarkan hidupnya dan kedua anaknya bertahun-tahun itu. Kaki perempuan paruh baya itu enggan bergerak seolah terpahat di depan halaman.
****
Sekian tahun yang lalu…
“Aku tidak tahan ditagih hutang melulu di sini. Biarlah aku merantau untuk mencari pekerjan yang lebih baik. Dengan begitu, hutang-hutang kita akan bisa kucicil,” ujar Yanto pada Halimah pada suatu senja.
Halimah hanya diam. Di satu sisi, ia tak bisa berjuang sendirian membesarkan kedua buah hatinya yang sedang membutuhkan kasih sayang. Namun di sisi lain, ia tahu kondisi ekonomi keluarganya sangat terpuruk. Ia juga tak kuat menerima makian warga kampung. Setiap hari ada saja yang menagih hutang ke rumahnya.
Semua itu berawal sejak Yanto menjual tanah pusaka untuk membayar uang muka membeli mobil pick up. Mobil itu tidak menghasilkan uang. Kredit tiap bulan yang mesti dikeluarkan tidak sebanding dengan uang yang masuk. Alhasil, mereka hutang sana-sini agar mobil tidak ditarik dealer. Pada cicilan tahun kedua, mimpi buruk itu terjadi. Mobil ditarik dealer karena sudah nunggak beberapa bulan sementara hutang mereka terus menumpuk. Mobil lebih banyak diam di rumah ketimbang mengangkut barang.
Seminggu setelah senja itu, Yanto tiba-tiba menghilang. Ia pergi tanpa meninggalkan pesan apa-apa. Halimah sendiri tidak tahu kemana perginya lelaki yang sudah dua belas tahun menikahinya. Sementara itu, setiap hari kupingnya harus kuat menerima cemoohan, makian bahkan umpatan warga yang memiliki piutang dengannya. Tidak sampai di situ, kesulitan demi kesulitan hidup ia lalui seorang diri. Puncaknya, anak sulungnya terpaksa berhenti sekolah lantaran tak kuat lagi menanggung biaya hidup.
Bagaimana dengan suaminya? Jangankan mengirimkan uang, memberi kabar saja ia tidak ada. Ia seperti hilang ditelan bumi. Tak ada satu pun warga yang mengetahui keberadaan lelaki itu meski pernah beberapa orang menelusuri beberapa tempat untuk mencarinya. Lama kelamaan, warga tak berani lagi menagih hutang kepada Halimah. Melihat perempuan itu, terbesit juga rasa iba di hati mereka. Meski banyak orang yang mencibir Halimah, namun tak sedikit juga orang yang peduli padanya.
Setiap tahun, tak sedikit zakat fitrah yang ia terima. Selain itu, banyak juga warga desa yang menawarkan pekerjaan kepada Halimah agar perempuan itu tetap bisa bertahan hidup. Saban hari ada saja yang memintanya bekerja di ladang. Yogi, putra sulungnya juga ikut membantu bekerja. Terkadang anak sulungnya mengambil upah dari pemanjat pohon pinang warga desa. Jika musim manggis, ia menjadi pemetik manggis. Kesulitan hidup telah menempa anak yang ditinggal ayah itu menjadi lelaki yang tahu diri. Hinaan dan makian menjadi makanannya sehari-hari. Makanya ia sangat marah jika mendengar nama bapaknya disebut-sebut. Baginya, lelaki yang dipanggil bapak itu telah membuat hidupnya bertambah hina. Biarlah berhenti sekolah asalkan ibunya tidak lagi mengalami beban hidup yang berkepanjangan.
“Tak ada gunanya memikirkan Yanto. Lelaki itu tak peduli lagi denganmu dan kedua anakmu, Halimah. Lagian kamu juga perlu memikirkan masa depan kedua anakmu. Kamu tak akan butuh waktu lama mengurus surat cerai. Bukankah ia sudah tak menafkahimu lagi? Kamu punya hak untuk mengajukan cerai dan menerima pinangan lelaki lain agar beban hidup ini tak kamu pikul sendirian.” Begitulah nasihat orang-orang padanya. Mendengar kata menikah, ulu hati Halimah terasa ngilu.
Di mana-mana Halimah menjadi pokok pembicaraan. Belum lagi desas-desus tentang Yanto yang terkena azab tanah warisan.
“Inilah akibatnya jika menjual harta warisan. Jika dulu Yanto dan Ujang tidak bersikeras menjual tanah, mungkin nasibnya tidak akan begini. Lihatlah adiknya Ujang, hidupnya juga tidak jauh berbeda, sama menderitanya. Harta pusako tinggi itu tidak boleh dijual. Tidak akan berkah uangnya,” begitulah celotehan warga yang kerap kali membuat panas kuping Halimah.
Perempuan itu tahu persis jika uang muka pembeli mobil berasal dari tanah keluarga yang dijual Yanto. Berbagai cara dilakukan suaminya agar tanah itu bisa diuangkan. Bahkan sempat terjadi perseteruan hebat dengan Datuak Rajo Suaro yang menasihati Yanto agar mengurungkan niatnya. Halimah sendiri tidak tahu, apakah benar ucapan yang ia dengar. Namun yang pasti hidupnya semakin terpuruk semenjak memiliki mobil. Yanto semakin malas, bukannya semakin rajin berusaha setelah membeli mobil itu.
Dari sekian banyak omongan warga desa yang ia dengar, ucapan Maria yang yang paling menyakitkan baginya.
“Halimah, kamu sudah tahu Yanto sudah menikah? Aku melihatnya di Bukittinggi. Ia berada di sebuah rumah makan bersama seorang perempuan,” ucapan Maria tiga bulan yang lalu membuat dunia Halimah runtuh seketika.
Suami yang tak pernah lagi menafkahinya selama 5 tahun lebih, yang meningggalkannya sendirian dalam kubangan derita itu telah menikah? Halimah tidak mempercayainya begitu saja. Namun makin lama, berita itu makin santer terdengar. Halimah pun sempat menuju tempat yang dimaksud orang-orang kampung untuk memastikan kebenaran ceritanya secara langsung. Namun ia tetap tidak menemukan Yanto.
“Ya Allah, jika benar suamiku sudah menikah, izinkan aku bertemu dengannya meski ia tidak mau bicara sepatah kata pun denganku,” Gumam Halimah tanpa sadar kala itu.
***
Suara azan pertanda masuk waktu ashar membuyarkan lamunan Halimah. Kini ia sadar, Tuhan telah mengabulkan doanya. Ia sudah bertemu dengan lelaki itu, dan Tuhan tak mengizinkan mereka untuk berbicara. Kata pak Yamin, penyakit yang dialami Yanto seperti gejala stroke. Halimah semakin yakin jika lelaki itu sudah menikah. Bisa jadi istri barunya telah menelantarkan Yanto begitu saja. Mampukah ia memafkan Yanto dan merawat lelaki itu sepenuh hati? Sementara rasa sakit yang ia rasakan membuat tidurnya tak nyenyak selama bertahun-tahun. Tak ada pilihan lain, gegas Halimah berlari ke halaman masjid. Hanya di sanalah tempat yang nyaman untuknya saat ini, meminta pertolongan kepada sang pemilik kehidupan.
“Jika dengan memaafkan dan merawat Yanto mampu menjamin surga untukku, berilah aku kekuatan dan kesabaran untuk menerimanya kembali. Namun jika kehadirannya hanya menambah beban hidupku, maka sejujurnya aku belum sanggup melupakan apa yang telah ia perbuat,” isak Halimah dalam sujudnya.(*)
Profil Penulis
Yulfia Afaz, S.Pd. dilahirkan di Harau, Kabupaten Lima Puluh. Saat ini, ia menjadi guru di MTsN 2 Lima Puluh Kota dan mengajar Bahasa Indonesia. Bukunya kumpulan cerpen “Racun dari Istri” (2019), antalogi puisi bersama peserta didik, “Malaikat yang Terlihat” (2020), novel “Impian Kartini” (2020), “Menulis Teks Eksposisi dengan Game Kabar Narsis” (2020). Penulis dapat dihubungi via email yulviaafaz@gmail.com. Bergabung di Forum Lingkar Pena (FLP) Sumatra Barat tahun 2020 dengan NRA: 089/D/003/005.
Potret Lokalitas dalam Cerpen “Tuah Pusaka Tinggi”
Oleh: Azwar Sutan Malaka
(Dewan Penasehat Pengurus FLP Sumbar
dan Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, UPN Veteran Jakarta)
Ragdi F. Daye dalam pengantarnya untuk buku antologi cerpen Idul Fitri untuk Ibu (2021) menuliskan sebuah gambaran tentang bagaimana hubungan antara tradisi dan karya sastra. Ia menuliskan bahwa setiap karya adalah refleksi zamannya. Tradisi—atau lokalitas dalam skala luas—pun akan senantiasa ditulis ulang oleh generasi demi generasi yang hidup di dalam dan darinya (Ragdi F Daye, 2021).
Begitu pun generasi FLP Sumatera Barat angkatan 2020–an ini, yang banyak menulis karya sastra yang bertemakan adat dan budaya Minangkabau. Tentang hal ini, Ragdi F. Daye mengemukakan bahwa sebagai sebuah generasi yang mewarisi kebesaran para pujangga klasik Ranah Minang, seperti halnya para pendahulunya, para penulis FLP Sumbar telah melontarkan sebuah wacana tentang tradisi di tengah ingar-bingar masanya. Hal yang demikian bukan ihwal bagaimana meruntuhkan apa yang sudah ada, melainkan pertama-tama untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik atau setidaknya membuka jalan dan membangun fondasinya. Dalam pendapat tersebut, Ragdi F. Daye semakin mengukuhkan bahwa setiap generasi tidak akan begitu saja bisa tercerabut dari nilai-nilai budaya yang melatarbelakanginya dalam berkarya. Demikian jugalah penulis-penulis FLP di Sumatera Barat yang banyak menulis karya tentang adat dan budaya Minangkabau.
Ragdi F. Daye (2021) melanjutkan pendapatnya bahwa bangun dunia cerita pendek yang serba terbatas menjadikan apa pun yang termuat di dalamnya hadir secara ringkas sekaligus berfokus pada satu titik, seperti yang dinyatakan Edgar Allan Poe dalam esainya “The Philosophy of Composition” bahwa cerita pendek semestinya dapat dibaca dalam satu kali duduk, antara setengah sampai dua jam. Ini pula yang membuat siapa pun pengrajinnya perlu bekerja keras untuk menyaring berkali-kali hingga kemahaluasan realitas sampai tinggal segenggaman telapak tangan.
Sementara itu, Wilda Fizriyani dalam tulisannya yang berjudul “Peranan Sastra Indonesia Dalam Membangun Keragaman Budaya: Perspektif Sejarah” yang dimuat dalam Jurnal Dialektika Vol. 1 No. 1 Juni 2014 dia menulis bahwa pada zaman Balai Pustaka yang berlangsung dari tahun 1900-1933 di bawah kekuasaan penjajahan Belanda, banyak lahir karya-karya sastra yang bertemakan adat-istiadat. Menurutnya, pada masa itu, memang sudah ditentukan oleh pemerintah Belanda. Perlu diingat bahwa apabila ada karya yang tidak mengikuti peraturan yang sudah ditentukan pemerintah Belanda, tulisan tersebut dianggap liar bahkan pengarangnya mendapat hukuman. Pada masa itu, Belanda takut jika karya sastra dijadikan alat propaganda yang bisa menghasut rakyat untuk berontak. Contoh karya sastra yang dikarang oleh pengarang Indonesia dengan tema adat istiadat tersebut adalah Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1922), Salah Asuhan (Abdul Muis, 1928), dan Azab dan Sengsara (Merari Siregar, 1920).
Berbeda dengan zaman Balai Pustaka, pilihan menulis karya sastra dengan tema adat-istiadat pada zaman pasca reformasi ini karena kesadaran penulis karya sastra akan pentingnya melestarikan nilai-nilai tradisi dalam karya sastra. Upaya melestarikan adat-istiadat tersebut seiring dengan upaya untuk menciptakan nostalgia atas kisah-kisah budaya dalam adat dan budaya sebuah masyarakat.
Salah satu cerpen yang mengangkat nilai-nilai tradisi itu adalah cerpen “Tuah Pusaka Tinggi” karya Yulfia Afaz. Cerpen yang bercerita tentang seorang suami yang meninggalkan anak dan istrinya pergi merantau untuk mengubah nasib, namun tidak kembali karena memilih beristri lagi. Hidup Yanto yang melarat itu dipercayai oleh masyarakat karena Yanto menjual harta pusaka tinggi kaumnya.
Singkat cerita, Yanto setelah beristri baru ternyata tidak juga berubah menjadi lebih baik. Hidupnya semakin susah malah sakit-sakitan. Hal yang sangat tragis adalah ketika tokoh Yanto yang sudah sakit-sakitan itu dibuang oleh istri mudanya, lalu diantar oleh orang-orang yang kasihan ke rumah istri tuanya. Cerita ini memang tentang pergulatan batin sang istri tua yang apakah akan menerima Yanto yang sedang sekarat itu atau menolaknya. Namun di balik itu, cerita ini dilatarbelakangi oleh nilai-nilai tradisi bahwa harta pusaka tinggi kaum tidak boleh dijual untuk kepentingan pribadi.
Pesan moral dalam cerpen Yulfia Afaz ini sangat jelas, yaitu keberpihakan atas nilai-nilai tradisi Minangkabau dalam menjaga harta pusaka. Sebenarnya, logika bahwa tidak boleh menjual harta pusaka adalah keyakinan masyarakat Minangkabau saja. Adapun mitos-mitos yang muncul di belakangnya seperti “kutukan” yang dialami Yanto dalam cerpen “Tuah Pusaka Tinggi” itu hanya kepercayaan yang dibangun untuk tujuan menjaga harta pusaka. Nilai positifnya adalah masyarakat Minangkabau tidak akan mudah kehilangan tanah pusaka sehingga mereka bisa menjaga keberlangsungan kehidupan Bangsa Minangkabau itu sendiri.
Hal tersebut tentu berbeda dengan suku bangsa lain yang tidak memiliki kearifan lokal dalam menjaga “tanah” yang mereka wariskan dari nenek moyang mereka. Biasanya masyarakat tersebut akan mudah kehilangan “kampung halaman” mereka. Inilah keunggulan cerpen “Tuah Pusaka Tinggi” karya Yulfia Afaz ini. Ia memiliki pesan moral yang kuat atas upaya mempertahankan nilai-nilai budaya dan adat istiadat, khususnya terkait dengan bagaimana masyarakat Minangkabau mempertahankan harta pusaka.
Dari sisi lain, cerpen ini tetap memiliki kekurangan. Yulfia Afaz yang memang sering menulis cerita dengan teman adat dan juga rumah tangga, terjebak dengan cerita-cerita populer ala sinetron. Hal ini terlihat dari ending cerita sebagai berikut:
“Jika dengan memaafkan dan merawat Yanto mampu menjamin surga untukku, berilah aku kekuatan dan kesabaran untuk menerimanya kembali. Namun jika kehadirannya hanya menambah beban hidupku, maka sejujurnya aku belum sanggup melupakan apa yang telah ia perbuat,” isak Halimah dalam sujudnya.(Afaz, 2021).
Kegundahan tokoh utama, Halimah, apakah akan menerima kembali suami yang sudah meninggalkannya dalam penderitaan, kemudian datang lagi dalam keadaan menderita, tentu dalam naluri perempuan akan diterima kembali kehadirannya. Ini khas seperti cerita-cerita mainstream sinetron Indonesia. Penulis belum berani membuat ending yang tidak terduga –anggaplah seperti twist dalam film yang begitu tidak terduga— mungkin karena naluri pengarang perempuan Yulfia Afaz yang seperti itu adanya, mungkin juga karena tidak punya waktu untuk memikirkan ending yang lebih tidak terduga atau mungkin karena Yulfia memang harus banyak lagi belajar menulis ending cerita yang mengagetkan pembaca. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post