Orang dalam Bingkai Jendela
Saat ini nampak ia sedang memakai hutan,
dan menyematkan rawa di saku celana.
Kali ini dia mengumpulkan samudera,
dan menyelimuti bahu dengan merpati putih
di jalanan kota.
“Ini di mana? Jam berapa?”
Di bingkai jendela yang kusam,
ia rajut waktu. Ia berharap hilir
akan mengalir ke hulu,
menunggu jam pasir kembali biru.
Tapi, belum. Belum saatnya
untuk terlelap, gumamnya.
Padang, November 2016
Mulut Kaktus
Hari ini, kau datang dengan seluruh permintaan
maafmu. Wajahmu ditikam gelap di jalan depan
beranda yang pekat. Aku hanya bisa menyaksikan
seluruh omong kosong ini, kau tak tahu apa
yang sedang kau mainkan.
Aku di sini membuka tanganku, namun kau
campakkan aku ke ngarai yang dalam,
kau gores aku dengan segala kesombonganmu
Simpanlah seluruhnya, masukkan ke kantong
celanamu buat kau makan dan kau ganti dengan ketololan.
Hembusan dongeng yang keluar
dari mulut kaktusmu, telah membutakanku
Mimpi mengetuk pintuku dan membawa
waktu terbang jauh. Kembali sayap kukepakkan,
kutinggalkan hasrat ini bersama daun jatuh berguguran.
Padang, Februari 2016
Berakhirkah?
Aku datang walau seribu tahun,
kakiku telah ditumbuhi lumut:
memenuhi setiap jengkal. Tanganku
telah berkarat; memegang mawar merah
yang‒rencananya‒akan kuberikan padamu.
Tapi kita telah terperangkap di ruang kaca.
Kata orang patah satu tumbuh seribu,
tapi bagiku tidak. Aku tak menemukan
hati baru yang akan mengisi relungku,
aku tak menemukan hati baru
buat memenuhi dan menyatukan
setengah hati yang lain; diriku.
Apakah kita akan terus memegang pisau
yang terus mengucurkan darah kita,
tahukan engkau bahwa lautan darah telah terbuat?
Cukup, katamu.
Tapi belum, belum saatnya buat mengakhiri
semua ini. Semua kata yang telah terlontar
akan mengendap.
Melaka, Januari 2017
Kelak Semua Tinggal Gersang
Suatu hari, jika kelak tak ada kertas
buat menorehkan sajakku, maka kita
akan tinggal gersang. Hanya mimpi
yang tersemat di dalam tidur
Dibuai dan gelap.
Pare, Desember 2016
Biodata Penulis:
Fadil Ahmadhia Warman lahir di Padang Pariaman, Sumatera Barat. Saat ini, ia sedang menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Mengobati luka dengan menulis dan berusaha memperbaiki diri sendiri.
Mengobati Hati dengan Puisi
Oleh: Ragdi F. Daye
(Buku terbaru yang memuat puisinya
Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian, 2021)
Mimpi mengetuk pintuku dan membawa
waktu terbang jauh. Kembali sayap kukepakkan,
kutinggalkan hasrat ini bersama daun jatuh berguguran.
Di awal Juli ini, Kreatika menghadirkan puisi dari seorang mahasiswa kedokteran yang puitis asal Pariaman, Fadil Ahmadhia Warman. Empat puisi Fadil masing-masing berjudul “Orang dalam Bingkai Jendela”, “Mulut Kaktus”, “Berakhirkah?”, dan “Kelak Semua Tinggal Gersang”. Mantan reporter sekolah ini memiliki kemampuan olah bahasa yang cukup baik yang ditunjukkan oleh puisi-puisi lirisnya.
Menurut Fowler (2000), sastra adalah tulisan yang baik, tulisan yang bermakna, tulisan yang mengesankan, tulisan yang hebat (terkenal). Mengingat pendapat Fowler tersebut, maka membaca dan menulis puisi sebagai salah satu genre karya sastra tidak melulu merupakan aktivitas orang-orang yang berprofesi di bidang kesenian, namun dapat dilakoni siapa saja, termasuk akuntan, kuli bangunan, pengusaha kuliner, astronot, politikus, atau dokter. Tulisan sastra yang menyimpan kandungan makna akan memperkuat sisi humanisme seorang tenaga medis misalnya sehingga akan lebih meresapi penderitaan pasien dengan empati yang menguatkan semangat hidup dan melakukan tindakan medis dengan lebih manusiawi.
Puisi pertama mengundang pembaca untuk merenung setelah membaca teks yang terasa janggal tak masuk akal: “Saat ini nampak ia sedang memakai hutan,/ dan menyematkan rawa di saku celana./ Kali ini dia mengumpulkan samudera,/ dan menyelimuti bahu dengan merpati putih/ di jalanan kota.” Bagaimana orang bisa memakai hutan sebagai pakaian dan menyematkan rawa di saku celana? Bagaimana orang mengumpulkan samudera? Bagaimana cara menjadikan merpati sebagai selimut di bahu, apa dibunuh dulu lalu diambil bulu-bulunya? Ah!
Apa yang tidak relevan dengan kenyataan harian di dalam teks puisi muncul sebagai penghubung dengan realitas lain yaitu realita simbolis. Seorang penyair memotong sebagian realita lalu menyambungnya dengan potongan lain sehingga terbentuk gambaran baru yang memantik ide, membuncahkan emosi, atau sekadar menayang-ulangkan kenangan lama di sanubari. Begitu pula dengan larik-larik ini yang dapat menuntun pikiran pembaca menelusuri hutan-hutan di pedalaman yang dialiri sungai jernih berbatu-batu, ditingkahi air terjun, dan ikan-ikan yang riang. “Di bingkai jendela yang kusam,/ ia rajut waktu. “Ia berharap hilir/ akan mengalir ke hulu,/ menunggu jam pasir kembali biru.” Namun, puisi menghadirkan hal lain, yakni kontradiksi yang membuat kita tak sekadar menikmati imaji, namun juga percikan kritik tentang apa yang terjadi di dalam kehidupan aktual. ‘Hilir mengalir ke hulu’ menyangkut kondisi kekinian ketika banyak masyarakat sosial budaya yang terperangkap krisis identitas kultural.
Robert C. Pooley (1992:19) mengatakan bahwa orang yang menutup telinga terhadap puisi akan terpencil dari suatu wilayah yang penuh dengan harta kekayaan berupa pengertian manusia, pandangan perorangan, serta sensitivitas yang menonjol. Suatu kerugian jika masyarakat tidak menikmati serta mengambil nilai dan makna yang terdapat dalam puisi. Memang dibutuhkan usaha untuk menangkap makna dan pesan yang disampaikan oleh penyair, namun adaberbagai cara yang bisa dilakukan, salah satunya lewat analisis dan kajian yang mendalam terhadap karya tersebut.
Banyak orang yang terenggut dari lingkungan sosialnya dan bersikap seperti makhluk robotik tanpa jiwa. Segala kesibukan zaman modern dengan kemajuan teknologi yang pesat membuat orang sering mengesampingkan interaksinya dengan manusia lain. Di dalam puisi “Mulut Kaktus”, Fadil menulis: “Aku di sini membuka tanganku, namun kau/ campakkan aku ke ngarai yang dalam,/ kau gores aku dengan segala kesombonganmu/ Simpanlah seluruhnya, masukkan ke kantong/ celanamu buat kau makan dan kau ganti dengan ketololan.” Ketidakpedulian penghuni ekosistem pergaulan meledakkan rasa frustrasi dan dengan kejam turut menularkan virus apatis yang tak kalah ganas daripada corona. Ketika ketidakpedulian sampai pada stadium kronis yang terjadi adalah “kita akan terus memegang pisau/ yang terus mengucurkan darah kita,” kita tak sadar bahwa yang terancam itu adalah hati masing-masing, naluri kemanusiaan.
Sebagaimana hal-hal baik yang perlu disediakan waktunya, puisi (sastra dan seni lainnya) layak diberi ruang. Sebab “jika kelak tak ada kertas/buat menorehkan sajakku, maka kita/ akan tinggal gersang.” Jika tak ada lagi puisi yang ditulis kita akan tinggal gersang. Tentu kita tak ingin kehidupan menjadi hambar tanpa rasa.[]
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post