Sabtu, 12/7/25 | 20:08 WIB
  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami
Scientia Indonesia
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS
No Result
View All Result
Scientia Indonesia
No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
  • RENYAH
  • TIPS
Home LITERASI KREATIKA

Puisi-puisi Fadil Ahmadhia Warman dan Ulasannya oleh Ragdi F. Daye

Minggu, 04/7/21 | 07:25 WIB

Orang dalam Bingkai Jendela

Saat ini nampak ia sedang memakai hutan,
dan menyematkan rawa di saku celana.
Kali ini dia mengumpulkan samudera,
dan menyelimuti bahu dengan merpati putih
di jalanan kota.

“Ini di mana? Jam berapa?”

Di bingkai jendela yang kusam,
ia rajut waktu. Ia berharap hilir
akan mengalir ke hulu,
menunggu jam pasir kembali biru.

Tapi, belum. Belum saatnya
untuk terlelap, gumamnya.

BACAJUGA

Puisi-puisi Puti Fathiya Azzahra dan Ulasannya oleh Ragdi F Daye

Puisi-puisi Puti Fathiya Azzahra dan Ulasannya oleh Ragdi F Daye

Minggu, 01/6/25 | 06:46 WIB
Puisi-puisi Feiruzy Azzahra dan Ulasannya oleh Ragdi F Daye

Puisi-puisi Feiruzy Azzahra dan Ulasannya oleh Ragdi F Daye

Minggu, 27/4/25 | 16:31 WIB

Padang, November 2016


Mulut Kaktus

Hari ini, kau datang dengan seluruh permintaan
maafmu. Wajahmu ditikam gelap di jalan depan
beranda yang pekat. Aku hanya bisa menyaksikan
seluruh omong kosong ini, kau tak tahu apa
yang sedang kau mainkan.

Aku di sini membuka tanganku, namun kau
campakkan aku ke ngarai yang dalam,
kau gores aku dengan segala kesombonganmu
Simpanlah seluruhnya, masukkan ke kantong
celanamu buat kau makan dan kau ganti dengan ketololan.

Hembusan dongeng yang keluar
dari mulut kaktusmu, telah membutakanku
Mimpi mengetuk pintuku dan membawa
waktu terbang jauh. Kembali sayap kukepakkan,
kutinggalkan hasrat ini bersama daun jatuh berguguran.

Padang, Februari 2016


Berakhirkah?

Aku datang walau seribu tahun,
kakiku telah ditumbuhi lumut:
memenuhi setiap jengkal. Tanganku
telah berkarat; memegang mawar merah
yang‒rencananya‒akan kuberikan padamu.

Tapi kita telah terperangkap di ruang kaca.
Kata orang patah satu tumbuh seribu,
tapi bagiku tidak. Aku tak menemukan
hati baru yang akan mengisi relungku,
aku tak menemukan hati baru
buat memenuhi dan menyatukan
setengah hati yang lain; diriku.

Apakah kita akan terus memegang pisau
yang terus mengucurkan darah kita,
tahukan engkau bahwa lautan darah telah terbuat?
Cukup, katamu.

Tapi belum, belum saatnya buat mengakhiri
semua ini. Semua kata yang telah terlontar
akan mengendap.

 Melaka, Januari 2017


Kelak Semua Tinggal Gersang

Suatu hari, jika kelak tak ada kertas
buat menorehkan sajakku, maka kita
akan tinggal gersang. Hanya mimpi
yang tersemat di dalam tidur
Dibuai dan gelap.

Pare, Desember 2016 

 

Biodata Penulis:

Fadil Ahmadhia Warman lahir di Padang Pariaman, Sumatera Barat. Saat ini, ia sedang menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Mengobati luka dengan menulis dan berusaha memperbaiki diri sendiri.

 


Mengobati Hati dengan Puisi

Oleh: Ragdi F. Daye
(Buku terbaru yang memuat puisinya
Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian, 2021)

 

Mimpi mengetuk pintuku dan membawa
waktu terbang jauh. Kembali sayap kukepakkan,
kutinggalkan hasrat ini bersama daun jatuh berguguran.

Di awal Juli ini, Kreatika menghadirkan puisi dari seorang mahasiswa kedokteran yang puitis asal Pariaman, Fadil Ahmadhia Warman.  Empat puisi Fadil masing-masing berjudul “Orang dalam Bingkai Jendela”, “Mulut Kaktus”, “Berakhirkah?”, dan “Kelak Semua Tinggal Gersang”. Mantan reporter sekolah ini memiliki kemampuan olah bahasa yang cukup baik yang ditunjukkan oleh puisi-puisi lirisnya.

Menurut Fowler (2000), sastra adalah tulisan yang baik, tulisan yang bermakna, tulisan yang mengesankan, tulisan yang hebat (terkenal). Mengingat pendapat Fowler tersebut, maka membaca dan menulis puisi sebagai salah satu genre karya sastra tidak melulu merupakan aktivitas orang-orang yang berprofesi di bidang kesenian, namun dapat dilakoni siapa saja, termasuk akuntan, kuli bangunan, pengusaha kuliner, astronot, politikus, atau dokter. Tulisan sastra yang menyimpan kandungan makna akan memperkuat sisi humanisme seorang tenaga medis misalnya sehingga akan lebih meresapi penderitaan pasien dengan empati yang menguatkan semangat hidup dan melakukan tindakan medis dengan lebih manusiawi.

Puisi pertama mengundang pembaca untuk merenung setelah membaca teks yang terasa janggal tak masuk akal: “Saat ini nampak ia sedang memakai hutan,/ dan menyematkan rawa di saku celana./ Kali ini dia mengumpulkan samudera,/ dan menyelimuti bahu dengan merpati putih/ di jalanan kota.” Bagaimana orang bisa memakai hutan sebagai pakaian dan menyematkan rawa di saku celana? Bagaimana orang mengumpulkan samudera? Bagaimana cara menjadikan merpati sebagai selimut di bahu, apa dibunuh dulu lalu diambil bulu-bulunya? Ah!

Apa yang tidak relevan dengan kenyataan harian di dalam teks puisi muncul sebagai penghubung dengan realitas lain yaitu realita simbolis. Seorang penyair memotong sebagian realita lalu menyambungnya dengan potongan lain sehingga terbentuk gambaran baru yang memantik ide, membuncahkan emosi, atau sekadar menayang-ulangkan kenangan lama di sanubari. Begitu pula dengan larik-larik ini yang dapat menuntun pikiran pembaca menelusuri hutan-hutan di pedalaman yang dialiri sungai jernih berbatu-batu, ditingkahi air terjun, dan ikan-ikan yang riang.  “Di bingkai jendela yang kusam,/ ia rajut waktu. “Ia berharap hilir/ akan mengalir ke hulu,/ menunggu jam pasir kembali biru.” Namun, puisi menghadirkan hal lain, yakni kontradiksi yang membuat kita tak sekadar menikmati imaji, namun juga percikan kritik tentang apa yang terjadi di dalam kehidupan aktual. ‘Hilir mengalir ke hulu’ menyangkut kondisi kekinian ketika banyak masyarakat sosial budaya yang terperangkap krisis identitas kultural.

Robert C. Pooley (1992:19) mengatakan bahwa orang yang menutup telinga terhadap puisi akan terpencil dari suatu wilayah yang penuh dengan harta kekayaan berupa pengertian manusia, pandangan perorangan, serta sensitivitas yang menonjol. Suatu kerugian jika masyarakat tidak menikmati serta mengambil nilai dan makna yang terdapat dalam puisi. Memang dibutuhkan usaha untuk menangkap makna dan pesan yang disampaikan oleh penyair, namun adaberbagai cara yang bisa dilakukan, salah satunya lewat analisis dan kajian yang mendalam terhadap karya tersebut.

Banyak orang yang terenggut dari lingkungan sosialnya dan bersikap seperti makhluk robotik tanpa jiwa. Segala kesibukan zaman modern dengan kemajuan teknologi yang pesat membuat orang sering mengesampingkan interaksinya dengan manusia lain. Di dalam puisi “Mulut Kaktus”, Fadil menulis: “Aku di sini membuka tanganku, namun kau/ campakkan aku ke ngarai yang dalam,/ kau gores aku dengan segala kesombonganmu/ Simpanlah seluruhnya, masukkan ke kantong/ celanamu buat kau makan dan kau ganti dengan ketololan.” Ketidakpedulian penghuni ekosistem pergaulan meledakkan rasa frustrasi dan dengan kejam turut menularkan virus apatis yang tak kalah ganas daripada corona. Ketika ketidakpedulian sampai pada stadium kronis yang terjadi adalah “kita akan terus memegang pisau/ yang terus mengucurkan darah kita,” kita tak sadar bahwa yang terancam itu adalah hati masing-masing, naluri kemanusiaan.

Sebagaimana hal-hal baik yang perlu disediakan waktunya, puisi (sastra dan seni lainnya) layak diberi ruang. Sebab “jika kelak tak ada kertas/buat menorehkan sajakku, maka kita/ akan tinggal gersang.” Jika tak ada lagi puisi yang ditulis kita akan tinggal gersang. Tentu kita tak ingin kehidupan menjadi hambar tanpa rasa.[]

 

Catatan:

Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.

Tags: #Ragdi F. DayeFadil Ahmadhia Warman
ShareTweetShareSend
Berita Sebelum

Puisi-puisi Rizky Amelya Furqan

Berita Sesudah

Bentuk -wan, -wati, -in, dan -ah, Benarkah Penanda Gender?

Berita Terkait

Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara dan Ulasannya oleh Azwar

Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara dan Ulasannya oleh Azwar

Minggu, 08/6/25 | 16:36 WIB

  Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara Alienasi Hidup Kita hanya seorang pelancong Yang mengembara segala tempat Lalu tinggal – termenung Di...

Puisi-puisi Puti Fathiya Azzahra dan Ulasannya oleh Ragdi F Daye

Puisi-puisi Puti Fathiya Azzahra dan Ulasannya oleh Ragdi F Daye

Minggu, 01/6/25 | 06:46 WIB

Puisi-puisi Puti Fathiya Azzahra Gambar Diri Ini gambar diri. Aku yang berjalan tak selalu lurus, kadang tersandung bayangan sendiri, cerobohku...

Cerpen “Seberkas Titik yang Masih Tertinggal” Karya Arifah Prima Satrianingrum dan Ulasannya oleh Azwar

Cerpen “Seberkas Titik yang Masih Tertinggal” Karya Arifah Prima Satrianingrum dan Ulasannya oleh Azwar

Minggu, 25/5/25 | 09:15 WIB

Seberkas Titik yang Masih Tertinggal Cerpen Oleh: Arifah Prima Satrianingrum   Siang itu, matahari dengan terik mengambang di Padang. Ruas-ruas...

Puisi-puisi Karya Farha Nabila dan Ulasannya Oleh Dara Layl

Puisi-puisi Karya Farha Nabila dan Ulasannya Oleh Dara Layl

Minggu, 11/5/25 | 07:10 WIB

Puisi-puisi Farha Nabila   Kanak-Kanak dalam Diri Tatkala kutemukan diriku dalam relung kesepian Yang disana takkan kutemukan dengungan sumpah serapah...

Cerpen “Sejauh Apapun, Kau Akan Selalu Hebat” karya Balqin Adzra dan Ulasannya oleh M. Adioska

Cerpen “Sejauh Apapun, Kau Akan Selalu Hebat” karya Balqin Adzra dan Ulasannya oleh M. Adioska

Minggu, 04/5/25 | 08:40 WIB

Sejauh Apapun, Kau Akan Selalu Hebat Karya: Balqin Adzra   “Silahkan mampir! Kami mempunyai mochi varian baru!” teriak sang penjual...

Puisi-puisi Feiruzy Azzahra dan Ulasannya oleh Ragdi F Daye

Puisi-puisi Feiruzy Azzahra dan Ulasannya oleh Ragdi F Daye

Minggu, 27/4/25 | 16:31 WIB

Puisi-puisi Feiruzy Azzahra   Merindu Nagari Nan Jauh Tiap langkah yang menapak Meninggalkan rindu yang menjejak Risau nan gulandah memenuhi...

Berita Sesudah
Jelajah Kata: Ramadhan atau Ramadan?

Bentuk -wan, -wati, -in, dan -ah, Benarkah Penanda Gender?

Discussion about this post

POPULER

  • Wakil Wali Kota Padang, Maigus Nasir saat menyerahkan Dana Operasional Triwulan II tahun 2025 ketua RT/RW, Guru TPQ/TQA dan MDTA/MDTW. [foto : ist]

    100 Hari Kerja Wali Kota Padang Capai Kepuasan 80 Persen

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Efisiensi di Negeri Petro Dolar: Jalan Penuh Lubang, Jembatan Reyot Vs Mobil Dinas Baru yang Lukai Rasa Keadilan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Angka Penyalahgunaan Narkoba di Sumbar Sempat Tempati Posisi Tertinggi, Kapolda : Kita Bakal All Out

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mambangkik Batang Tarandam dalam Naskah Drama “Orang-orang Bawah Tanah” karya Wisran Hadi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tanda Titik pada Singkatan Nama Perusahaan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sumbang 12 untuk Puti Bungsu Minangkabau

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pemko Padang Percepat Pembangunan Infrastruktur Jalan di Beringin Ujung

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
Scientia Indonesia

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024

Navigate Site

  • Dapur Redaksi
  • Disclaimer
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Tentang Kami

Follow Us

No Result
View All Result
  • TERAS
  • EKONOMI
  • HUKUM
  • POLITIK
  • DAERAH
  • EDUKASI
  • DESTINASI
  • LITERASI
    • ARTIKEL
    • CERPEN
    • KLINIK BAHASA
    • KREATIKA
    • PUISI
  • RENYAH
  • TIPS

PT. SCIENTIA INSAN CITA INDONESIA 2024