Urat-Urat Cina
pada sebuah pengaduan atas nama pengabdian
ia membawa pedang dari zaman nabi
yang dikaitkan di pinggang
serta atribut lengkap seperti telah siap untuk berperang
memerangi diri sendiri
dengan ketaksaan berkelindan pada sintal kepala
memintal urat-urat Cina dengan tubuh bungkam
ia berjalan menuju utopia
tempat rahmat cinta bersemi di dada
kecintaan kepala-kepala manusia
tak kenal mati
abadi dalam sebuah nama
“Aku punya pedang yang tak dimiliki orang lain
serta atribut lengkap yang kau cari
selama berabad lamanya persemedian itu berjalan
bukan seperti musafir dalam perjalanan pulang, kehilangan ikat kepala”
tapi mereka memilih orang lain untuk menunggangi kota
di mana para pejalan tak perlu memikirkan sebuah peta
simpang dengan papan petunjuk arah di mana-mana
senantiasa direbut oleh orang-orang bengkok ke dalam
seperti tak ada kata lain dari sebuah pengabdian
dipatahkan di tengah jalan
saat urat-urat Cina tak lagi membutuhkan tembok raksasa di negerinya
menjelma pagar pada gigi ibu pertiwi
Padang, 2020
Kota yang Tertinggal dalam Ingatan
di pesisiran ini, kita telusuri malam dengan sejuta rencana
bahkan rencana perpisahan
setiap kali gelombang demi gelombang itu terhempas
udara semakin pekat dan gelap semakin menyungkup
di asin air laut, kau bermandi di bawah wajah bulan
riak-riak genangan memantul ke pelupuk mata
seolah kita bergelimangan keromantisan
sebelum pantai dibungkus dalam kantong kosong sebuah kota
kau membuka buku gambar
dengan beberapa pensil warna
melukiskan resah dalam warna-warni pensil yang saling bertimpaan
membuka mata selebar-lebarnya
membelalak ke ujung lautan yang tak tahu di mana seberang tepian
kau lukis batu dengan penari di atasnya
menggenggam piring kaca
jua percikan ombak yang menghempas ke batu
bocah kecil menyusuri pantai membawa sekarung botol-botol bekas
dengan seorang adik yang digendong di punggung
dan bambu ditiup seorang ibu pada sebuah tungku
tempat pembakaran ikan, usai nelayan menepi
kita rencanakan perpisahan pada sebuah kota yang tertinggal
jauh dalam bayangan di kepala
tanpa lesapan zaman
kini telah berubah,
mengucapkan perpisahan
sebelum malam benar-benar ditelan deru kota
Padang, 2020
Penjual Kaba Ampera
Seorang penjual kaba ampera
belajar mengaji di sebuah rumah tanpa nama
setiap persinggahannya tersemat hati yang berdesir
memetik dawai-dawai ilmu
kaba beralih ke Mudik Padang
lengang hilalang dan rerumputan
bansi yang ditiupkan si pengembala
pecah dipijak kerbau gila
di tua desa, silat terkembang begitu saja
seperti telah dilimaukan segala tempat
silat kepala yang berpilin-pilin arah tujunya
kalah menang dengan mulut berbusa sejuta umpat
juga gendang tasa lapuk di pos ronda
tergantung bagai rumah-rumah lebah dan serangga
si penjual kaba ampera belajar mengaji di rumah tanpa nama
mengaji nama yang ketiadaan artinya hari ini
nama yang tinggal nama
dalam dengkur panjang masa
ada yang tersisa
hanya ornamen dalam sebuah upeti si penjual kaba
usai belajar mengaji di rumah tanpa nama
Padang, 2020
Biodata Penulis:
Mhd. Irfan lahir di Pariaman, 26 September dan sedang menyelesaikan studi di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas. Ia bergiat di Bengkel Seni Tradisional Minangkabau (BSTM), Labor Penulisan Kreatif (LPK), dan Lab. Pauh 9 dan tidak menyukai umpat di belakang.