[h]
Oleh:
Elly Delfia
(Dosen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
[/h]
Perempuan memang makhluk lain sedikit dari laki-laki. Bahasa yang digunakannya juga berbeda dengan laki-laki. Bahasa ataupun diksi yang digunakan perempuan identik dengan gender mereka. Bahasa tersebut kadang menjadi teka-teki dan rahasia yang rumit untuk dimengerti oleh laki-laki. Perempuan cukup pandai merahasiakan isi hati. Beberapa lagu dan puisi pernah populer tentang rahasia hati perempuan. Lagu Rahasia Perempuan yang dinyanyikan oleh Ari Lasso pernah populer pada tahun 2000-an dan masih enak dinikmati hingga kini. Hal serupa juga terdapat dalam kumpulan cerpen Reno Wulan Sari yang berjudul Catatan Pertama, selanjutnya disingkat CP. Cerpen-cerpen dalam CP yang diterbitkan oleh Penerbit Erka pada Juli 2018 kental dengan bahasa perempuan yang mencerminkan rahasia hati mereka. Bahasa perempuan dikenal dengan bahasa feminin atau bahasa yang menggunakan kosakata yang mencerminkan perasaan perempuan, kehidupan perempuan, dan segala benda yang digunakan oleh perempuan. Penggunaan bahasa feminin dalam karya perempuan bagian dari kuasa (power) yang dimiliki oleh perempuan dan tidak dimiliki oleh laki-laki.
Bertolak dari eksistensialisme Simone de Beauvoir, dekonstruksionisme Jacques Derrida, psikoanalisis Jaques Lacan, para feminis postmodern, seperti Helene Cixous, Luce Irigaray, dan Julie Kristeva menawarkan pandangan masing-masing mengenai bahasa feminin. Menurut mereka, salah satu ciri dari tulisan yang berkualitas adalah tulisan yang mengandung “gairah” sebagaimana yang terdapat dalam tulisan feminin, bukan hanya mengandung “rasio” (reason) seperti pada tulisan maskulin. Pendapat Helene Cixous ini disetujui oleh Luce Irigaray yang lebih lanjut berbicara tentang bahasa perempuan dalam karya sastra (Lianawati, 2008:1).
Bahasa feminin memang terdapat dalam kumpulan cerpen CP. Bahasa feminin tersebut adalah wujud dari alam bawah sadar yang dimiliki oleh penulis sebagai seorang perempuan, seperti halnya pernyataan Sigmond Freud yang menerangkan bahwa alam bawah sadar mengatur tingkah laku manusia serta penyimpangan-penyimpangannya. Menurut Freud, teks sastra memang membuka kemungkinan untuk mengungkapkan keinginan terpendam dengan cara yang dapat diterima oleh kesadaran (Minderop, 2010:22). Alam bawah sadar dan keinginan terpendam dapat dilihat pada penggalan salah satu cerpen dalam CP yang berjudul “Lian”.
“Lian yang cantik. Bila aku bertanya kepada ibu siapa yang cantik di antara kita, ibu hanya menjawab, semua anak perempuan itu cantik, dan kita tersipu malu” (Sari, 2018:26)
“Begitu cantik kampung halaman bapak, seperti Lian yang cantik atau pun aku yang cantik.
“Bukankah kata ibu setiap anak perempuan itu cantik? Juga perempuan yang kini menempati kamar tamu di rumah nenek? Apakah ia juga cantik?” (Sari, 2018:29).
Diksi cantik yang digunakan dalam penggalan teks cerpen di atas adalah representasi dari bahasa feminin. Kata cantik. Semua perempuan pada umumnya suka kata cantik dan senang dikatakan cantik. Kata cantik membawa perempuan pada perasaan bahagia. Para perempuan juga mengeluarkan aura dan energi positif jika orang lain memujinya sebagai seseorang yang cantik. Diksi tersebut mewakili alam bawah sadar perempuan dan gairah terpendam perempuan untuk dikatakan cantik oleh orang lain.
Penggalan teks di atas sesuai dengan pendapat Irigaray bahwa tulisan yang berkualitas adalah tulisan dengan bahasa feminin yang membangkitkan gairah perempuan. Gairah tersebut bisa rasa bahagia dan perasaan gembira yang meluap-luap. Gairah juga bisa kemarahan dan perasaan emosional lainnya yang meluap-luap. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gairah adalah keinginan (hasrat, keberanian) yang kuat (http://kbbi.web.id). Bahasa-bahasa feminin yang dapat membangkitkan gairah ini cenderung mempengaruhi sikap pembaca dan menyentuh naluri pembaca untuk bertindak, bersikap, dan merasakan hal yang sama dengan kondisi yang terdapat dalam teks cerpen. Gairah mendatangkan rasa sedih, nelangsa, terluka, gembira atapun bahagia.
Bahasa feminin lain juga terdapat dalam cerpen yang berjudul, “Kawinkan Ratna”. Dalam cerpen ini, Bu Marni, ibunya Ratna sangat bahagia anak gadisnya akan menikah. Bahasa feminin tentang kebahagiaan itu digambarkan dengan kata-kata yang ia sampaikan kepada Tih, anak perempuan tetangganya.
“Tih, besok pakai kebaya Ratna saja ya. Sudah Ibu siapkan. Mereka nikahnya jam sepuluh. Ya, telat sedikitlah. Jam delapan ke sini ya. Kita sanggul rambut kamu.“
Bu Marni tampak riang. Hingga ia mampu memperhatikan pakaian dan dandananku. Sebagai seorang ibu tentu hari seperti ini adalah hari yang istimewa, melepas anak gadis yang akan berumah tangga.Tapi ibuku berpikir lain. Baginya jika keadaannya seperti ini, tidak seharusnya seorang ibu bahagia.
“Orang tua Ratna itu pikirannya singkat sekali. Orang tua yang bodoh. Mau saja mengawinkan anaknya yang masih kecil”(Sari, 2018:48-49).
Bahasa feminin pada penggalan cerpen di atas mengandung makna cukup emosional, di mana setiap ibu pasti bahagia menyambut pernikahan anaknya, meskipun tetangga mencibirnya. Hal itulah yang dialami Bu Marni. Terlepas apa pun latar belakang yang menghantarkan anaknya ke jenjang pernikahan, terlepas apakah anaknya belum cukup umur, nalurinya sebagai seorang ibu pasti merasakan bahagia tak terbendung saat berhasil menghantarkan anaknya menjadi perempuan dewasa seutuhnya melalui pernikahan. Selain itu, beberapa kosakata yang digunakan merupakan representasi dari diri perempuan, seperti kata kebaya, sangggul, ibu, anak gadis, dan rumah tangga. Semua kata tersebut adalah mewakili dan identik dengan keseharian kehidupan perempuan.
Unsur feminin lain yang terdapat dalam kumpulan cerpen CP adalah semua tokoh utama dalam 12 cerpen adalah perempuan. Dengan demikian, cerita dan sudut pandang penceritaan yang ada dalam cerpen-cerpen CP merupakan sudut pandang perempuan. Bagaimana perempuan mendefinisikan keadaan sekitarnya, bagaimana perempuan pro dan kontra terhadap situasi yang abnormal dalam kehidupan kesehariannya. Judul-judul cerpen dalam CP juga rata-rata menggunakan nama perempuan, seperti “Lian”, “Kawinkan Ratna”, “Sekar”, “Perkalian Wirani”, dan “Namanya Pranandita, Bu”.
Demikian bahasa feminin yang terdapat dalam kumpulan cerpen Catatan pertama. Bahasa feminin adalah personifikasi dari kepribadian perempuan. Bahasa feminin adalah refleksi hati perempuan. Bahasa feminin juga adalah bentuk katarsis atau upaya mengatasi tekanan emosi masa lalu yang dimunculkan dengan cara yang anggun dan berkelas dalam bentuk karya sastra. Melalui bahasa, hati perempuan dapat dibaca, dimasuki, dan ditaklukkan. Melalui bahasa feminin yang digunakan oleh perempuan dalam CP, kita belajar bahwa karya sastra bukan hanya karya fiksi yang berisi fantasi semata, tetapi karya sastra juga adalah media pembelajaran untuk menyelami kepribadian perempuan lewat bahasanya.
Discussion about this post