Lastry Monika
(Dosen Prodi Sastra Minangkabau FIB Unand/Kolumnis Rubrik Renyah)
Setiap berkunjung ke suatu daerah, saya selalu mendapatkan pengalaman menarik. Dari keindahan alam dan kekhasan kuliner menjadi daya tariknya sendiri. Namun, yang tak kalah menarik dari semua itu adalah kisah-kisah yang tersembunyi di balik setiap tempat yang saya kunjungi.
Folklor tersebut bukan sekadar cerita, tetapi jejak budaya yang mencerminkan cara pandang dan kearifan lokal masyarakat setempat. Di tengah arus modernisasi, keberadaan cerita-cerita ini menjadi sesuatu yang patut dirawat dan dilestarikan, agar tidak hilang ditelan waktu.
Melestarikan folklor sebenarnya tidaklah sulit. Kita bisa memulainya dari hal-hal sederhana yang penuh makna, misalnya dengan menceritakan kembali kepada anak-anak sebagai bagian dari pembelajaran sehari-hari. Di dalam cerita itu, tersimpan nilai-nilai luhur seperti kejujuran, keberanian, dan rasa hormat kepada orang tua, nilai-nilai yang tetap relevan di tengah kehidupan modern saat ini.
Mengenalkan nilai-nilai dalam cerita rakyat sejak dini penting agar anak-anak tumbuh dengan akar budaya yang kuat. Selain dituturkan secara lisan, folklor juga bisa direkam dalam bentuk audio atau video agar versi aslinya tetap lestari dan dapat dinikmati lintas generasi. Kisah-kisah itu juga bisa dikemas ulang menjadi buku cerita bergambar yang menarik dan mudah dipahami.
Cara-cara ini tak hanya memperluas jangkauan, tetapi juga menghidupkan kembali warisan budaya dalam dunia pendidikan dan hiburan masa kini. Saat orang tua atau kakek-nenek menceritakan kisah lama, mereka turut mewariskan kasih sayang dan nilai kehidupan. Pelestarian ini bisa diperluas lewat program sekolah, komunitas seni, atau ruang kreatif. Pementasan, lomba bercerita, hingga konten digital bertema cerita rakyat menjadi cara menarik bagi generasi muda. Dengan begitu, folklor tetap hidup dan relevan di tengah perubahan zaman.
Pengalaman pertama saya mengenal cerita mitos di kampung datang dari nenek, sosok hangat yang selalu bercerita saat malam tiba. Nenek menceritakan kisah-kisah fabel dan mitos-mitos yang ada di kampung saya. Dari ceritanya, saya mulai mengenal budaya di kampung. Ia tak sekadar bercerita, tapi mewariskan ingatan kolektif, nilai hidup, dan cinta tradisi.
Dan begitulah, dari suara nenek di malam sunyi hingga pementasan di panggung sekolah, cerita-cerita rakyat itu terus hidup. Kadang bersembunyi di balik tawa, kadang menyelinap dalam nasihat yang tak kita sadari. Siapa sangka, Urang Bunian dulu membuat saya takut, ternyata kini ikut berjasa membentuk cara pandang saya tentang dunia. Cerita-cerita itu bukan sekadar dongeng, tapi benih kearifan.