Senyum Sang Tulus
Oleh: A. Cloud
Pagi itu, aku bangun lebih lambat dari biasanya. Kulihat handphone yang tergeletak di atas kasur. Di sana terlihat bahwa sekarang sudah menunjukkan jam setengah delapan lewat. Aku terlambat. Namun, Aku tidak kaget melihatnya, karena ini merupakan hal yang biasa bagiku. Ya, setidaknya aku sudah tahu pertanyaan apa yang akan dilontarkan oleh bu guru nanti.
Setelah bersiap-siap, akhirnya aku sampai di sekolah, sesampainya di sana aku langsung menatap ke arah pintu dan segera membukanya, saat pintu itu terbuka, tiba-tiba …
“Kamu kenapa telat? Lain kali kalau mau buka pintu baca salam dulu ya,” aku kaget karena orang yang biasanya akan memarahiku jika aku telat, digantikan oleh orang yang lebih ramah.
“Lain kali, kamu nggak boleh telat ya… nah sekarang, silahkan duduk” ucapnya sambil tersenyum padaku yang membuatku tidak bisa memberikan alasan lagi. Di sisi lain, aku sedikit tidak suka gaya bicara orang ini. Bahkan aku berpikir kalau ini hanyalah cara agar kami mau menerima Ibu ini—karena ia masih baru disini.
Namun, entah kenapa saat guru ini menerangkan, semua materinya lebih cepat masuk ke dalam otakku. Padahal biasanya aku akan tertidur jika ada guru yang menjelaskan. Setiap materi yang diajarkan, ia pasti menjelaskannya dengan banyak berinteraksi dengan kami, tidak lupa dengan menyisipkan senyumannya yang tulus itu.
“Kring….!”
Bunyi bel tanda istirahat pun tiba. Tentu saja aku sangat ingin ke kantin saat istirahat. Aku ingin sekali membeli cemilan untuk dikunyah. Ya, setelah diberi asupan ilmu tampaknya diriku juga harus menerima asupan makanan. Ada banyak makanan di kantin itu ada bakso, mie ayam, sate, dan rasanya—beuh … membayangkan nya saja, aku bisa ngiler sendiri.
Saat aku telah sampai di kantin, tiba-tiba ada sesosok lelaki yang menghampiriku, dia adalah temanku Raihan namanya. Dia memiliki sikap yang sama denganku. Suka terlambat, suka buat onar, suka jajan, dan banyak lagi kesamaannya denganku.
“Wah …! Ke kantin nggak ngajak ngajak nih.” Candanya.
“Lah, ngapain ngajak orang yang juga nggak ngajak kayak gini?” jawabku kesal. Dari wajahnya jelas sekali bahwa dia mau meminta makananku.
“Ayolah, kita kan friend, jangan kesal gitu lah,” ucapnya. Membujukku agar aku mau membiarkannya basa-basi dan meminta makananku.
“Pasti kamu mau minta makanan kan?” Cecarku agar dia menghentikan basa-basi ini.
“Hehe, tau aja kamu,” sudah kuduga.
“Nih,” aku menuangkan sebutir bakso ke tangan kanannya.
“Makasih hehe,” jawabnya dengan usil. Kemudian ia langsung duduk di sampingku.
“Apa?”
“Jadi gini, kamu udah ketemu belum sama guru baru itu?” Tanyanya sambil mengunyah bakso yang ada di tangannya.
“Udah, emang kenapa?” Jawabku.
“Teman-temanku kemarin bilang, dia cuma sok baik. Katanya sebelum guru itu masuk, dia sempat marahin anak kelas satu cuma karena dia nggak sengaja pakai sepatu di keramik.” Tuturnya menjelaskan.
“Uuh, kalau itu sih sudah kuduga. Lagian dia kan masih baru. Ya pasti pencitraan dulu,” ucapku sembari menyuap sesendok bakso.
Selesai istirahat, aku lanjut belajar di kelas. Ya, tidak ada yang menarik kali ini. Guru yang datang pun sama membosankannya seperti kemarin-kemarin. Yang kulakukan hanya tidur, tidur dan tidur tidak ada satu pun yang ku tangkap dari guru yang menjelaskan di depan Hingga akhirnya, waktu pulang pun tiba.
***
Besoknya, aku kembali ke sekolah itu. Kali ini, aku masih saja terlambat. Aku masih heran kenapa ada makhluk yang bisa bangun sepagi itu. Bangun subuh sih aku bisa. Namun, tetap saja aku pasti akan terlelap kembali.
Akhirnya aku sampai di sekolah. Yap, benar sekali. Ibu itu telah duduk di kursi biru nan lembut itu. Ibu ini mapelnya selalu pagi, dan berturut-turut tiga hari. Jadi sampai besok pun aku akan terus bertemu dengan Ibu ini jika terlambat. Semoga saja, hal yang dikatakan Raihan tentang Ibu ini sedang berpura-pura tidak benar.
“Aduh Nak, kok telat lagi? lihatlah sudah jam berapa ini!” bentak guru itu sepertinya yang dikatakan Raihan waktu itu benar. Ibu itu segera menghela nafas. Ia tampak menyesal telah membentakku.
“Baiklah, sekarang kamu silahkan duduk lain kali jangan telat lagi ya,” ucap Ibu itu dengan lembut. Ia tampak takut aku akan tersinggung. Padahal aku sudah menyiapkan kata-kata jika akan terjadi debat kali ini. Aku mulai lemas belajar kali ini aku malah terpikir perkataan Raihan kemarin. Aku justru takut bahwa kalimatnya kemarin benar-benar terjadi. Namun, yang aneh kali ini adalah, kenapa hasratku untuk tidur tidak muncul. Dibilang seru, pelajaran kali ini sangatlah tidak seru. Hanya saja, Ibu ini selalu saja memberi kami pertanyaan dan video agar kami tetap bangun.
“Kring…!” Jam pelajaran pun selesai. Kami sekelas langsung berbondong-bondong keluar dari kelas. Namun, ada seseorang yang memanggilku.
“Namamu Afwan bukan?” Tanya Ibu itu sambil tersenyum.
“I…iya Bu,” aku agak grogi menjawab pertanyaan itu.
“Nanti habis kamu jajan bisa ke kantor Ibu sebentar?” Pinta Ibu itu.
“Baik Bu.” Jawabku singkat.
Tentu saja, walaupun aku terkenal dengan kenakalannya aku tetap masih amanah. Buktinya setelah jajan aku benar-benar pergi menemui Ibu itu.
“Asssalamualaikum Bu.”
“Waalaikumussalam.” Ibu itu menjawab salamku.
“Oh, kamu beneran datang?” Tanya Ibu itu. Entah kenapa pertanyaan itu yang justru ia lontarkan.
“Iya Bu, jadi ada apa Ibu mau memanggil saya?” Tanyaku dengan penuh sopan.
“Oh itu, jadi Ibu mau minta maaf karena tadi Ibu bentak. Kamu mau maafin Ibu kan?” Ujar Ibu itu. Kalimat itu malah membuatku tersentuh. Aku langsung kena mental mendengar kalimat itu.
“Bu, harusnya aku yang minta maaf.” Ucapku dengan nada rendah.
“Kenapa begitu?” Tanya Ibu itu bingung.
“Karena aku tahu, Ibu tidak akan marah jika bukan karena aku terlambat” ujarku menyesal. Ibu itu malah tertawa kecil mendengarnya.
“Oh… gapapa kok Nak, pokoknya lain kali jangan terlambat lagi ya Nak, dan juga kalo ada orang yang menjelaskan di depan, didengarkan ya Nak. Ibu tau kok kamu suka tidur di luar pelajaran Ibu,” jawab Ibu itu sambil membelai kepalaku.”
“Baik Bu,” jawabku singkat—malu mendengar kata-kata terakhir itu.
Setelah bercakap-cakap dengan Bu guru, aku pun kembali ke kelas. Kali ini aku mencoba sekuat mungkin untuk bertahan untuk tidak tidur. Bisa dibilang, aku ingin taubat dari kemalasanku ini. Plus, aku juga ingin membuat Ibu itu bangga karena bisa membuat murid payah sepertiku berubah.
***
Besoknya lagi aku datang seperti biasanya. Jam setengah delapan lewat tentunya. Aku telah melanggar perjanjian ku dengan Ibu itu kemarin. Kukira, kali ini Ibu itu akan marah kepadaku. Namun, semua itu di luar dugaanku. Justru, kali ini ia bersikap lebih lembut padaku.
“Nak, kalau bisa lain kali kamu bangun lebih cepat ya, kalau masih susah juga bangunnya pakai alarm aja, nih Ibu kasih. Ibu tau kok kamu pasti telah mencoba untuk berubah kali ini.” Ucap Bu guru. Ibu itu malah memberikan sebuah alarm kecil kepadaku. Aku berdecak kagum, tidak pernah rasanya aku bertemu dengan guru yang sesabar dan sebaik ini. Benar-benar tidak seperti guru yang sering kutemui.
Jam pelajaran berjalan seperti biasanya, aku dengan sungguh-sungguh. Mendengarkan kata demi kata yang terlontar dari mulut Ibu itu. Aku yakin aku benar-benar bisa berubah seperti kata Ibu itu. Aku juga yakin bahwa Ibu itu akan bangga memiliki murid sepertiku.
Akhirnya waktu istirahat pun tiba. Aku memutuskan pergi bersama temanku yang bernama Raihan ke kantin. Kemudian, saat sedang berjalan menuju kantin tiba-tiba ia mengajakku bicara.
“Oi, kamu lihat gak guru tadi, sok banget gayanya. Mentang-mentang….,” segera ku hentikan kata-katanya dengan menarik kerah bajunya. Tanganku seakan bergerak sendiri.
“Jangan sekali-kali kamu hina Ibu itu!” Ucapku dengan kasar.
“Cih, biasanya kerjanya mengolok-olok guru, sekarang malah sok-sok an ngebelain dia,” ucapnya dengan nada yang tampak meremehkan.
“Ouh, main-main kamu ya?”
“Bugh!” Seketika aku meninju perutnya.
“Dasar gak tau diri!”
“Bugh!” Ia balas memukul perutku. Akhirnya terjadilah jual beli pukulan. Bukannya melerai, orang-orang justru berkerumun melihat kami bertengkar. Namun, keributan itu tidak berlangsung lama.
“Anak-anak, kalian kenapa?” Tiba-tiba datang seorang guru—datang melerai kami. Ternyata guru tersebut adalah orang yang sedang kami bicarakan.
“Ini bu, dibilangnya Ibu sok-sok an,” jawabku sembari menunjuk-nunjuk wajah Raihan.
“Benar kata Afwan?” tanya Ibu tersebut kepada Raihan.
“Iya Bu …” jawabnya dengan nada menyesal.
“Lain kali jangan kayak gitu lagi ya…,” ucap Ibu tersebut kepada Raihan.
“Kamu juga, jangan cepat marah ya. Kalau ada teman yang salah harusnya kamu tegur dulu, jangan malah kamu ajak berantem, oke!” Lanjut Ibu itu padaku sembari merekahkan senyum tulus nya kepada kami.
Setelah kejadian waktu itu, aku pun berubah. Aku tidak pernah lagi terlambat, malas-malasan, maupun melakukan kekerasan lagi di sekolah.
Senyuman itu membuatku tersadar, nasihatnya membuatku ingin berubah. Aku bertekad untuk menjadi orang yang disiplin dan menjadi orang yang lebih sabar. Aku tidak akan melupakan semua jasa Ibu itu kepadaku. Karena jasanya, pasti akan berguna di manapun aku berada.
Biodata Penulis
A. Cloud atau dikenal dengan Shafwan Muzakki El Hendri merupakan seorang pelajar yang sedang melanjutkan studinya di kelas IX Khabar Perguruan Islam Ar Risalah. Penulis yang satu ini biasanya menuliskan karya-karyanya dalam bentuk cerita seperti cerpen. Penulis ini memiliki impian untuk terus menaikkan tingkat literasi anak-anak Indonesia.
Nilai-Nilai Moral dalam Karya Sastra
(Analisis Cerpen “Senyum Sang Tulus” Karya A.Cloud)
Oleh: Azwar
(Dewan Penasihat Pengurus Forum Lingkar Pena Wilayah Sumatera Barat)
Karya sastra bisa berperan sebagai media pendidikan moral bagi pembacanya. Hal ini karena karya sastra bisa menyelusup ke dalam relung hati manusia paling dalam. Dengan kemampuan seperti itu, tidak salah jika karya sastra menjadi sarana pembentukan moral bagi masyarakat. Fawziah (2014) dalam tulisannya yang berjudul “Pengajaran Apresiasi Sastra Sebagai Sarana Membentuk Moral Anak Bangsa” menyampaikan bahwa sastra harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan manusia.
Selain itu pendapat lain juga menyebutkan bahwa karya sastra amat penting bagi kehidupan rohani manusia. Sastra menjadi makanan jiwa para pembacanya. Oleh karena sastra adalah karya seni yang bertulangpunggung pada cerita, maka mau tidak mau karya sastra dapat membawa pesan atau imbauan kepada pembaca (Djojosuroto, 2006). Pendapat lain menyebutkan bahwa pesan-pesan dalam karya sastra penting dan menjadi suatu hal yang akan disampaikan pada pembaca. Budi Darma, (1984) menyebut pesan dalam cerita dinamakan moral atau amanat.
Kreatika edisi ini menampilkan cerpen berjudul “Senyum Sang Tulus” karya A.Cloud, seorang pelajar di SMP Ar Risalah, Padang, Sumatera Barat. Cerpen ini bercerita tentang Afwan, seorang siswa yang sering terlambat dan malas belajar, kedatangan seorang guru baru yang berbeda dari guru-guru sebelumnya. Awalnya, ia curiga bahwa guru ini hanya berpura-pura baik untuk menarik simpati para murid. Namun, ia mulai merasakan perbedaan ketika pelajaran yang diajarkan lebih mudah dipahami dan suasana kelas menjadi lebih interaktif.
Suatu hari, temannya, Raihan, menyebarkan gosip bahwa guru baru itu hanya bersikap baik di depan murid-murid, tetapi sebenarnya galak. Awalnya, Afwan mempercayai rumor itu, tetapi seiring waktu ia menyadari bahwa gurunya memang tulus dalam mendidik. Ketika Afwan kembali terlambat, sang guru menegurnya dengan lembut dan bahkan memberikan sebuah alarm kecil sebagai bentuk perhatian. Sikap guru yang sabar dan penuh kasih sayang membuat Afwan tersentuh dan mulai berubah.
Puncaknya, ketika Afwan mendengar Raihan meremehkan sang guru, ia tidak terima dan terjadi perkelahian di kantin. Guru tersebut melerai mereka dengan penuh kesabaran dan memberi nasihat kepada keduanya. Dari kejadian itu, Afwan semakin sadar bahwa gurunya benar-benar tulus dalam mendidik, dan ia bertekad untuk menjadi murid yang lebih baik, lebih disiplin, dan lebih menghargai guru.
Akhir cerita, Afwan yang dulu pemalas akhirnya berubah menjadi siswa yang lebih rajin dan bertanggung jawab. Ia tidak akan pernah melupakan pengaruh besar dari sang guru yang telah memberinya inspirasi untuk menjadi lebih baik.
Secara umum cerpen ini mengangkat tema yang menarik, yaitu tentang perubahan karakter seorang siswa dari pemalas dan pembuat onar menjadi lebih disiplin dan bertanggung jawab. Hal ini terjadi karena pengaruh seorang guru yang memiliki ketulusan dalam mendidik murid-muridnya.
Pesan moral dalam cerpen ini adalah ketulusan dalam mendidik akan memberi dampak besar pada peserta didik. Sang guru tidak hanya mengajar, tetapi juga memahami dan peduli terhadap muridnya. Sikap guru dapat menciptakan perubahan terhadap muridnya. Perubahan itu sangat mungkin, bahkan siswa yang pemalas bisa berubah jika mendapat bimbingan dan perhatian yang tepat. Selain itu pesan moral dalam cerpen ini adalah jangan cepat menilai seseorang dari prasangka. Seperti awalnya Afwan termakan omongan temannya tentang guru baru, tetapi ia akhirnya sadar bahwa gurunya benar-benar baik.
Cerpen “Senyum Sang Tulus” adalah cerpen inspiratif yang menunjukkan bagaimana seorang guru yang tulus bisa mengubah seorang siswa menjadi lebih baik. Dengan alur yang sederhana dan gaya bahasa yang ringan, cerpen ini mudah dipahami serta menyampaikan pesan moral yang kuat.
Nilai moral lainnya yang dapat diambil sebagai pelajaran, baik bagi siswa maupun pendidik adalah ketulusan seorang guru adalah energi utama bagi perubahan sikap muridnya. Guru dalam cerita ini selalu bersikap tulus dalam mendidik dan memperlakukan murid-muridnya dengan penuh kasih sayang.
Selain itu kejujuran seorang murid pada dirinya juga menjadi hal yang penting. Afwan akhirnya jujur pada dirinya sendiri bahwa ia harus berubah dan mengakui kesalahannya. Selain itu Tanggung jawab juga merupakan hal yang penting bagi seseorang. Setelah menyadari kesalahannya, Afwan mulai berusaha untuk lebih disiplin dan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Nilai-nilai persahabatan juga tercermin dalam cerpen ini. Hubungan antara Afwan dan Raihan menggambarkan bagaimana pengaruh teman bisa berdampak baik atau buruk. Afwan akhirnya memilih untuk tidak lagi terpengaruh oleh kebiasaan buruk temannya.
Gotong Royong dan Saling Membantu senagai nilai utama masyarakat Indonesia juga tercermin dalam cerpen ini. Meskipun Afwan dan Raihan sering bercanda, mereka tetap menunjukkan kebiasaan berbagi makanan, yang mencerminkan nilai kebersamaan.
Sementara itu sikap empati menjadi point penting dalam mendidik. Guru menunjukkan kepeduliannya dengan memberikan alarm kepada Afwan, sebagai bentuk dukungan agar ia bisa lebih disiplin. Akhirnya bentuk empati itu berbuah manis. Terjadi perubahan karakter dari tokoh Afwan. Ia mengalami perkembangan karakter dari seorang yang malas dan tidak peduli menjadi lebih bertanggung jawab dan berusaha untuk berubah.
Cerpen “Senyum Sang Tulus” menyampaikan banyak nilai positif, terutama dalam pendidikan dan pembentukan karakter. Kisah ini mengajarkan bahwa perubahan itu mungkin jika ada bimbingan yang tepat dan bahwa ketulusan seorang guru bisa mengubah muridnya menjadi lebih baik.
Sebagai sebuah karya imajinatif yang lahir dari proses kreatif, cerpen ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan cerpen ini adalah pertama, tema yang inspiratif. Cerita ini mengangkat tema perubahan karakter seorang siswa menjadi lebih baik berkat ketulusan seorang guru. Tema ini relevan dan memberikan pesan moral yang kuat, terutama dalam dunia pendidikan.
Kedua, pengembangan karakter yang baik. Tokoh utama (Afwan) mengalami perkembangan karakter yang jelas dari pemalas menjadi lebih disiplin. Hal ini menunjukkan bahwa cerpen memiliki kedalaman dalam membangun karakter tokohnya. Ketiga, bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen ini ringan dan komunikatif, sesuai dengan kehidupan remaja. Penggunaan dialog yang realistis juga membuat cerita terasa lebih hidup.
Sementara itu kekurangan cerpen ini diantaranya adalah pertama, karakterisasi beberapa tokoh kurang mendalam. Tokoh guru digambarkan sebagai sosok yang terlalu sempurna, tanpa kelemahan yang terlihat. Ini membuat karakter kurang realistis karena manusia pada dasarnya memiliki sisi lemah. Tokoh Raihan hanya digambarkan sebagai teman yang berpengaruh buruk tanpa ada perkembangan karakter yang berarti.
Kedua, konflik kurang kompleks. Konflik utama dalam cerpen ini sederhana dan mudah terselesaikan. Akan lebih menarik jika ada tantangan lebih besar yang membuat proses perubahan Afwan menjadi lebih dramatis. Ketiga, bagian resolusi terasa terburu-buru. Afwan berubah menjadi siswa yang disiplin dengan cukup cepat. Akan lebih baik jika proses perubahannya lebih bertahap dan digambarkan dengan lebih banyak detail agar lebih realistis.
Cerpen “Senyum Sang Tulus” memiliki kelebihan dalam tema, pesan moral, dan gaya bahasa yang ringan serta mudah dipahami. Namun, masih ada beberapa aspek yang bisa diperbaiki, terutama dalam pengembangan karakter dan penyelesaian konflik agar lebih mendalam dan realistis. (*)
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.