Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Baru-baru ini, sebuah unggahan di Instagram menarik perhatian warganet, khususnya mereka yang tinggal di Kota Padang. Dalam unggahan itu digambarkan ada tiga lingkaran, matahari, Padang, dan bumi. Lucunya, Kota Padang diilustrasikan seolah-olah berada di tengah, tepat di antara bumi dan matahari, dengan jarak super dekat dari si pusat panas. Mungkin ini cara kreator untuk menggambarkan betapa ekstremnya panas yang dirasakan masyarakat Padang belakangan ini, hingga rasanya seolah kota ini “dipindahkan” lebih dekat ke matahari!
Tentu saja, unggahan tersebut hanya lelucon semata, tapi sukses membuat banyak orang tersenyum dan merasa terwakili. Melalui visual sederhana ini, pesan bahwa “cuaca di Padang lagi panas banget!” tersampaikan dengan menghibur. Bukan hanya warganet Padang yang ikut merasakan “kepanasan” dalam hati, tapi para penonton lain pun bisa ikut merasakan kocaknya ide bahwa Kota Padang seolah “punya hubungan spesial” dengan matahari.
Namun, bukan unggahan ini yang menjadi fokus utama saya, melainkan sebuah obrolan absurd di siang bolong bersama seorang teman. Entah bagaimana ceritanya, unggahan tentang “Padang dekat dengan matahari” ini malah memicu kami untuk berdebat ngalor-ngidul, lengkap dengan berbagai teori konspirasi unik sebagai bumbu.
Tak cukup dengan itu, obrolan pun merembet hingga ke serial Power Rangers yang berlatar luar angkasa, seakan kami berada pada galaksi lain. Obrolan konyol itu, meskipun tidak ilmiah, cukup ampuh membuat siang yang panas terasa sedikit lebih menyenangkan.
Anehnya, meski siang itu panas bedengkang, menu yang kami pesan justru didominasi minuman hangat. Kesadaran ini baru muncul saat kami mulai membereskan laptop dan bersiap pulang. Kami saling menatap gelas dengan label “hot” yang bertengger di meja, dan tiba-tiba tergelitik dengan pilihan kami sendiri.
Bagaimana bisa, di tengah obrolan tentang betapa teriknya cuaca, kami malah memilih minuman panas seakan sedang di puncak musim hujan? Barangkali ini semacam “konspirasi” tak disadari antara otak dan tubuh, atau mungkin kami hanya terlalu terbawa suasana “panas dalam” obrolan. Yang jelas, keputusan aneh ini sukses menambah bahan tertawaan di akhir sesi.
Saat kami berjalan keluar kafe, dengan sisa-sisa tawa dan dahaga yang tak biasa, tiba-tiba muncul pemikiran: mungkin hidup di Padang ini seperti minuman panas yang kami pesan tadi—terasa mendebarkan di tengah terik, tapi tetap dinikmati, meski kadang absurd dan tak selalu logis. Mungkin ini cara alam bercanda, menguji siapa yang paling tahan menerima “pelukan” matahari sekaligus menyuruh kita tetap bersyukur.
Lagi pula, panas tak melulu buruk, ia mengajari kita untuk mencari kesejukan dalam diri, bahkan kalau itu berarti menyeruput teh panas di siang bolong. Pada akhirnya, kita hanya bisa tersenyum dan mengakui, di tengah cuaca yang panas ini, hidup selalu punya cara kocaknya sendiri untuk menghibur.