Oleh: Annisa Aulia Amanda
(Mahasiswi Program Studi Sastra Indonesia Universitas Andalas)
Salah satu kajian stilistika adalah mengkaji gaya bahasa seseorang yang terdapat dalam suatu karya. Gaya bahasa secara tak langsung mencerminkan kepribadian, keyakinan dan pemikiran penulisnya. Dengan melihat berbagai karya-karya tulis, membandingkan karya satu penulis dengan penulis lainnya dalam mengungkap satu hal yang sama dengan gaya bahasa yang berbeda, akan ditemukan sudut pandang penulis tersebut. Pembaca akan dapat memperoleh statement sederhana terhadap penulis, apakah penulis lebih menyukai detail terkecil tak kasat mata atau menyukai hal-hal praktis atau mungkin penulis lebih menyukai gaya kepenulisan simbolis, dan lainnya.
Metafora secara etimologi “metaphor” berarti “hal-hal yang berhubungan dengan sekitar” (Kadarwati, 2019). Metafora, salah satu majas—atau disebut juga kiasan—yang menjadi cara seseorang dalam mengalih makna suatu bahasa dengan wujud lainnya berdasarkan kesamaan wujud, fungsi, bentuk atau ciri-ciri tertentu. Penggunaan gaya bahasa metafora ini banyak digunakan oleh para seniman dalam menimbulkan nilai-nilai dalam karya seninya, khususnya dalam puisi.
Sanusi Pane (1905-1968) salah satu penyair terkemuka Indonesia memiliki pandangan khusus terhadap kebudayaan timur. Ia sering menggunakan metafora dalam puisi-puisinya. Sanusi sering menulis puisi dengan kebudayaan timur yang kental sehingga di beberapa puisi ditemukan berbagai majas metafora yang memiliki nilai spiritualitas timur. Hal ini dilakukan Sanusi bukan sekadar untuk keindahan karya, namun untuk menyampaikan pandangan tentang kehidupan, alam, dan keberadaan manusia. Sanusi ingin menunjukkan nilai-nilai kearifan timur tersebut melalui puisi-puisinya. Beberapa contoh metafora yang digunakan Sanusi dalam puisinya seperti berikut.
(1) “Tempat tumbuh kesuma wijaya, Bunga yang indah, penawar fana”. Dalam puisi Wijaya Kesuma, Sanusi mengutip frase “kesuma wijaya”, ini adalah bunga wijaya kusuma. Bunga ini menjadi perwakilan dari Dewa Wisnu, Dewa pemelihara alam semesta oleh Agama Hindu dan menjadi simbolisme positif seperti keberuntungan, perlindungan, dan membawa kebahagiaan. Dalam penggalan puisi itu, Sanusi merujuk pada suatu tempat yang disebut dengan svarga (tempat melakukan perbaikan setelah kematian dan menikmati rasa spiritual dengan Tuhan hingga masa pembebasan).
(2) “Jiwa termenung, terlena dalam samadi”. Dalam puisi Melati, terdapat kata “samadi” yang mungkin lebih dikenal dengan “Samadhi”. Samadhi adalah ritual konsentrasi tingkat tinggi hingga melampaui kesadaran jasmani, terdapat dalam ajaran agama Hindu-Budha. Dikutip dari Wikipedia, Samadhi dilakukan seorang mediator untuk mengubah kesadarannya menjadi fokus terhadap kebahagiaan, kedamaian, dan mengikuti aliran kehidupan. Dengan penggalan puisi itu, Sanusi menunjukkan seseorang yang tertegun terhadap sesuatu ketika melaksanakan Samadhi.
(3) “Dewa Candra keluar dari istananya”. Dalam puisi Candra, Sanusi menyebut nama “Candra”, yaitu dewa Bulan dalam Agama Hindu. Dewa Candra dikaitkan dengan kesuburan dan bentuk kesempurnaan yang tak pernah sempurna. Penggalan puisi itu menceritakan bagaimana Dewa Candra yang setiap saat pergi untuk menemui si Ratu Malam.
(4) “Kalau Laksmi mengikat kita”. Dalam puisi Ke Pantai, terdapat istilah “Laksmi” merujuk pada Dewi Laksmi yang menjadi simbol kekayaan, kebahagiaan, ketulusan, kebaikan, dan hal-hal baik lainnya. Dari penggalan puisi itu, Sanusi menginginkan Aku dan si pasangan merupakan pasangan yang dipersatukan dan diizinkan oleh Dewi Laksmi.
(5) “Tumbuh sekuntum bunga teratai”. Puisi Teratai merupakan ekspresi Sanusi Pane terhadap Ki Hajar Dewantara (Amanda, 2024). Bunga teratai dalam spiritualitas Hindu menjadi simbol kelahiran, kekayaan dan pengetahuan. Penggalan puisi ini menjadi metafora mengenai eksistensi Ki Hajar Dewantara yang membawa perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik.
(6) “O Krisyna tiadakanlah kembali”. Dalam puisi Kepada Krisyna, Sanusi memberikan penggalan puisi seperti tersebut. Pada Agama Hindu, Krisyna merupakan reinkarnasi dari Dewa Wisnu dan menjadi Dewa sendiri. Penggalan puisi itu merupakan metafora akan seorang hamba yang menyerah terhadap kehidupan yang dijalani.
(7) “Kedamaian Petala Nirwana”. Dalam puisi Candi Mendut, ada istilah “Petala” dan “Nirwana” yang disematkan dalam penggalan puisi itu. Petala merupakan tempat (neraka) bagi jiwa-jiwa yang terperosok dan tidak akan mendapatkan kedamaian ataupun kebahagiaan, dan Nirwana merupakan tujuan dari umat Ajaran Hindu yang merupakan tempat (surga) yang penuh dengan kedamaian yang abadi. Penggalan puisi itu, Sanusi ingin mengingatkan tentang adanya tempat setelah kematian yang akan dituju oleh manusia.
(8) “Sukma melayang tinggi di atas”. Dalam puisi Bersila, Sanusi menggunakan istilah “sukma”. Sukma merupakan istilah untuk roh atau jiwa seseorang. Dalam penggalan puisi ini, metafora yang dimaksud adalah keadaan seseorang yang melakukan meditasi dan mencapai konsentrasi tinggi.
Pemahaman dan apresiasi Sanusi terhadap kebudayaan timur terlihat dalam penggunaan metafora di beberapa karyanya. Dengan mengaitkan ajaran Hindu-Budha, Sanusi mampu membuat karya-karya yang menyampaikan pandangan dan perasaannya terhadap suatu hal, baik hal yang sederhana hingga nasionalisme. Eksplorasi terhadap tema eksistensi dan kedamaian memperkuat unsur puisinya dalam menciptakan karya seni yang bernilai. Gaya bahasa pada puisi-puisi Sanusi menjadi alat baginya untuk menuangkan segala pemikirannya dan menjadikan karya seni yang berharga bagi negara.
Gaya bahasa seakan alat lukis bagi penulis, dan diksi menjadi cat warna. Jika penulis mampu menggunakan alat lukis dan memilih cat dengan baik, ia akan menghasilkan lukisan yang luar biasa. Lukisan yang mampu diciptakan akan memikat perhatian orang lain, menghadirkan apresiasi yang beragam. Seperti Sanusi Pane, ia memilih alat dan warna yang sama dengan penulis-penulis lainnya namun dengan sentuhannya ia mampu mencipta karya-karya seorang penyair dengan puisi-puisi yang hingga saat ini tersimpan di dalam hati.
Padang, 08 Juni 2024
Discussion about this post