Cerpen: Silvianti Cing
Kusingkapkan sedikit daun jendela kamar yang menghadap ke arah timur. Berderit-derit di antara derap langkah cecak yang kedinginan. Kulayangkan pandang menembus pekatnya kabut, menelusuri jejak rembulan yang terseok-seok dikejar semburat kuning di titik nadir. Hembusan udara pagi berbisik, segar napasnya menyelinap di balik daun jendela yang mulai berlubang di beberapa bagiannya, dimakan rayap.
Sayup-sayup di kejauahan kudengar lantunan surat Al Kahfi yang merambat melalui lembabnya udara subuh itu. Irama dan cengkok mengaji yang khas, mendayu-dayu, turun naik seperti napasku ketika mengikuti ibu mencari kayu bakar ke Bukit Ngalau yang terletak di pinggir hutan, tak jauh dari ladang peninggalan nenek, bisa kupastikan berasal dari surau tua yang terletak di pinggir jalan raya. Surau yang bersebelahan dengan madrasah tsanawiyah swasta yang umurnya lebih tua dari ibu.
Surau yang telah banyak melahirkan ulama-ulama besar, orang cerdas yang punya jabatan tinggi di ibu kota negara. Surau yang dahulunya digunakan anak-anak nagari untuk mengaji kitab kuning, mengaji tafsir Al Quranul Karim, menyampaikan Sirah Nabawiyah, menyampaikan syarahan hadits Bukhari dan Muslim, atau sekadar melakukan wirid setiap Jumat malam.
Namun, kini jauh panggang dari api. Pintu surau yang kuncinya telah dirusak tangan-tangan tak bertanggung jawab, membuat apapun leluasa keluar masuk seolah itu kandang yang dibuatkan tuannya untuk tempatnya tidur dan berak. Surau itu juga kadang digunakan oleh para ibu-ibu muda untuk melakukan senam khusus orang mengandung. Kadangkala juga digunakan oleh beberapa investor yang membagikan uang ganti rugi tanah kepada masyarakat yang tanahnya terpakai untuk akses jalan ke pabrik atau tambang batu gamping yang tumbuh bak cendawan di musim hujan.
Pak Adun, selaku pengelola surau tak bisa berbuat banyak. Hanya bisa pasrah ketika membersihkan bekas nasi atau kuah gulai yang tertinggal di tikar surau. Ikhlas ketika membersihkan pembalut anak-anak balita yang diselipkan di antara tumpukan tikar yang disandarkan di pojok surau. Lelahnya memunguti puntung-puntung rokok berwarna putih, yang disembunyikan di bawah tikar surau yang terbentang. Hanya Dia sajalah yang akan membalas. Tak pernah kudengar beliau mengeluh.
Namun, ketika satu-satunya bola lampu yang menerangi surau dimaling orang, kulihat beliau geram bukan main. Ditanyainya tiap orang yang pernah sholat di surau yang kebetulan dijumpainya ketika di jalan atau di warung. Dihardiknya anak yang sering mengecas telepon di colokan listrik dekat mihrab. Diinterogasinya remaja-remaja tanggung yang sering mengggunakan teras belakang surau untuk sekadar bercerita dan merokok. Entah rokok atau bercerita yang membuat mereka kehausan, karena sering mereka menenteng botol minuman kemasan isi dua liter ke belakang mushola tersebut.
Semenjak bola lampu hilang, para jamaah yang tak pernah lebih dari jumlah jari tangan, patungan untuk membeli dua buah bola lampu yang baru. Satu bola lampu diletakkan di teras belakang. Supaya tidak ada lagi anak-anak muda duduk-duduk tak menentu di sana. Supaya tak ada lagi tamu di malam minggu berkunjung ke sana. Sudah terlalu sering Pak Adun menengar keluhan amak yang tinggal di sebelah surau, kalau teras belakang surau itu sering disalahgunakan anak-anak muda untuk memadu kasih. Terutama waktu malam minggu atau ketika ada orang hajatan, atau ketika ada acara keramaian apa saja. Selalu yang menjadi tempat mangkal adalah teras surau yang tidak ada bola lampunya.
Baru kira-kira sampai ayat kesepuluh surat Al Kahfi, di surau lain telah terdengar kumandang azan Subuh. Bagai dikomando, suara khas surau pinggir jalan itu berganti dengan kumandang azan yang juga khas. Irama azannya yang turun naik dengan suara yang parau itu mengingatkan aku dengan irama suara ayah ketika azan. Mirip sekali.
Ketika rindu kepada sosok ayah begitu menyesak di dadaku, kusengaja bangun setengah jam sebelum waktu Subuh. Hanya untuk mendengarkan suara parau yang iramanya turun naik tak menentu. Ketika ibu bertanya mengapa aku telah membuka jendela di saat kelam masih hitam, kadang kujawab kalau aku mengusir kumbang atau kerawai-sejenis tawon tetapi berwarna kuning-yang terperangkap di dalam kamarku.
Entah mengapa akhir-akhir ini aku begitu sering merasakan rindu kepada ayah. Meski sudah tiga tahun berlalu, namun kenangan akan ayah masih segar dalam ingatanku. Ketika rindu akan sosok ayah tak terobati oleh lantunan ayat-ayat suci atau kumandang azan Subuh dari surau tua di pinggir jalan, maka aku akan lebih banyak menghabiskan malam di kamar belakang yang berisi dua buah lemari tua berwarna coklat kusam, yang kacanya sudah buram sehingga menghalangi pandangan ke bagian dalam lemari.
Lemari yang terletak di pojok kamar berisi baju-baju ayah yang sudah lusuh. Baju ayah yang masih layak pakai telah disedekahkan ibu kepada tetangga kami yang datang meminta. Kata ibu, selagi baju itu berfaedah bagi orang lain, berkahnya akan tetap mengalir pada ayah.
Lemari kedua juga berwarna cokelat tua yang kacanya juga sudah buram, disandarkan pada lemari yang di pojok karena salah salah satu kakinya telah keropos dimakan rayap. Ditambah beban isinya yang terlalu berat, melebihi kekuatan dan usianya.
Lemari yang kedua berisi beberapa Al Quran, buku-buku agama, dan buku peninggalan ayah lainnya. Yang paling sering kubaca adalah beberapa novel dan roman karya sastrawan terkenal dari Ranah Minang.
Ketika itu aku masih kelas dua madrasah aliyah, aku duduk di samping ayah yang sedang asyik membersihkan dan menyusun ulang buku-bukunya.
“Banyak sekali, ayah sudah membaca semuanya?” tanyaku penasaran.
“Sudah, malah ada yang sudah beberapa kali dibaca,” jawab ayah.
“Untuk apa ayah membeli buku sebanyak ini, mubazir, kalau tidak ada yang membaca bagaimana….?”
“Ayah tidak punya harta yang banyak, juga tidak punya sawah yang melimpah, tidak ada ladang yang luas terbentang untuk ayah wariskan padamu. Warisan ayah cuma buku-buku ini.”
“Sawah yang kita garap sekarang, ladang kita yang di kaki ngalau yang kita tanami karet, bukankah harta kita ayah, itu sudah lebih dari cukup.”
“Itu tidak akan abadi, Nak,”
Semilir angin dingin menerpa kepalaku, mengibaskan beberapa helai rambut. Kurasakan bulir hangat menjalar di pipiku. Aku tersadar. Ternyata sudah setengah jam berlalu setelah azan subuh berkumandang. Buru-buru aku ke kamar mandi dan berwudhuk.
Di antara untaian doaku Subuh itu, kuselipkan sepucuk doa meminta kepada Sang Pengasih, supaya diberikan ketetapan hati atas pilihan yang begitu sulit. Baru saja selesai membaca doa, ketika akan melipat mukena, kudapati ibu telah duduk bersimpuh di samping kananku, tersenyum penuh arti.
“Nak, ibu perhatikan akhir-akhir ini kau sering melamun. Apa yang jadi bebanmu? Kalau kau tak keberatan, ceritalah pada ibu.”
“Hanum baik-baik saja, Bu.”
“Bagaimana mungkin ibu yakin kau baik-baik saja kalau saban hari ibu lihat kau sering bermenung. Matamu membisikkan pada ibu kalau anakku ini tidak sedang baik-baik saja.”
Hanum menghela napas. Beban berat yang menggelayut di dadanya merengkuh hatinya ke samudera nestapa yang dalam. Hanum memainkan renda mukena yang belum sempat dilipatnya.
“Bagaimana keputusanmu, Nak?”
“Tentang lamaran itu maksud ibu?” lirih Hanum hampir tak terdengar.
“Ya, besok sudah satu pekan dari waktu yang kita janjikan untuk menjawab pinangan keluarga Roni”
“Hanum masih bimbang, Bu. Belum bisa mengambil keputusan. Sudah dua kali Hanum sholat istikharah. Rentang waktu satu pekan terasa sangat singkat bagi Hanum untuk mengambil kesimpulan tentang sesuatu yang akan Hanum jalani seumur hidup.
“Ibu percaya kamu bisa mengambil keputusan yang terbaik. Apapun keputusanmu, ibu akan mendukung. Ini hidupmu, kaulah yang akan menjalaninya.” Ibu menggenggam tangan Hanum, erat.
“Itu yang Hanum takutkan, Bu. Hanum belum kenal dengan sosok yang akan menjadi imam bagi Hanum kelak.”
“Lakukan istikharah sekali lagi, Nak. Semoga Allah memberikan petunjuk, ibu selalu berdoa agar kau, satu-satunya anak ibu dan ayah, mendapatkan segala yang terbaik di dunia ini, Nak, juga di akhirat kelak.”
Hanum membenamkan wajahnya dalam pelukan ibu. Satu-satunya keluarga yang dimilikinya sekarang. Hari yang dijanjikan itu pun tiba. Keluarga Bang Roni datang ke rumah. Setelah beramah tamah, berbasa basi, mereka berunding.
“Jadi bagaimana keputusan Hanum, Bibah, apakah lamaran kami diterima?”
“Kami serahkan semua keputusannya kepada Hanum, Datuk. Karena Hanumlah yang akan menjalaninya setelah ini, saya selaku ibunya, hanya memberikan saran dan masukan, apa yang terbaik menurut saya, namun keputusannya saya serahkan kepada Hanum.”
Hanum memandang ke arah ibunya. Sorot matanya seperti meminta dukungan. Hanum melihat anggukan kecil dari ibunya, pertanda bahwa semua keputusan ada padanya. Hitam atau putihnya dialah yang menentukan. Hanum melawan deburan kencang yang bergemuruh di dadanya.
“Datuk, ibu, ….”
“Ya Nak, bicaralah, jangan malu, jangan sungkan, anggaplah hari ini kau bicara dengan ayahmu. Seperti yang tempo hari aku sampaikan, hubungan kami tak hanya sekadar hubungan antara mamak dan kemenakan, tapi karena kami sebaya, kami lebih seperti sahabat.”
“Tuk, sebelumnya Hanum mohon maaf. Kalau jawaban Hanum kurang berkenan di hati Datuk dan keluarga besar.” Kulihat senyum yang sedari tadi mengambang di atas kumis tebal Datuk berubah.
“Jawablah dengan jelas, Nak. Kami tak sabar menunggu. Apalagi, Roni.”
“Tuk, maaf, Hanum tidak bisa menerima lamaran ini. Hanum belum siap untuk berumah tangga.”
“Jadi anakmu menolak lamaran kami, Bibah!”
“Maaf Uda. Saya tidak bisa mendikte Hanum. Tetapi saya akan mendukung apapun keputusannya. Ini hidupnya. Dia yang akan menjalani sampai seterusnya. Maafkan kami Uda, kalau keputusan Hanum membuat Uda kecewa.”
“Aku tidak kecewa Bibah, Roni anakku juga tidak akan kecewa. Keluarga besar kami tidak akan kecewa dengan keputusanmu. Aku hanya kasihan dengan nasib kalian. Makanya aku ingin Hanum, anak pisang kaum kami, tidak lepas ke tangan orang. Kalau ia menikah dengan Roni, sampai anak cucunya nanti, mereka tetap bisa tinggal di tanah ini. Kau harus ingat, Bibah, ini bukan tanah moyangmu, ini bukan tanah pasukuanmu.”
Bahu ibu Hanum berguncang hebat. Sebilah belati tajam serasa ditancapkan ke ulu hatinya, perih.
“Uda, kenapa masalah ini diungkit kembali. Bukankah dulu semasa ayah Hanum masih hidup, kita sudah melakukan akad, kita sudah ada perjanjian, sudah ada hitam di atas putih, kalau tanah dan rumah dan sepetak ladang yang di bagian belakang rumah ini, telah menjadi milik Hanum sampai kapan pun. Dan bukankah kami juga sudah menebus dengan sejumlah uang seperti yang uda minta tempo hari.” Ibu Hanum terisak.
“Uang sebanyak itu tak ada nilainya sekarang. Kalau Hanum menolak perjodohan ini, pasukuan kami akan mengembalikan sejumlah uang yang kau gunakan untuk menebus tanah dan rumah ini dulu. Banyak orang yang ingin membeli tanah ini, dengan harga 20 kali lipat lebih dari jumlah uang yang kalian berikan dulu.
“Uda, jangan begitu.” Kata ibu Hanum pilu. Entah bagaimana tiba-tiba ibu Hanum telah berada di hadapan Datuk bersujud.
“Uda, aku mohon, jangan lakukan itu pada kami. Aku mohon.”
“Ibu jangan lakukan ini. Ibu tidak boleh bersujud di hadapan siapa pun. Tidak boleh… Ibu lupa dengan pesan ayah tempo hari?” Hanum meraih ibunya, membawanya duduk bersandar.
“Angkuh sekali kau Hanum. Seangkuh ayahmu dulu, idealis tak menentu. Patutlah keluarga besarmu mengabaikan kalian. Ternyata kalian….”
“Cukup Uda. Jangan ungkit masalah yang lain, masalah kita hari ini hanya tentang perjodohan ini, tak ada kaitannya dengan keluargaku ataupun mendiang ayah Hanum.”
“Jelas ada kaitannya dengan masalah lain, Bibah. Kalaulah dulu ayahnya Hanum tak sok idealis seperti anakmu ini, mungkin uang hasil penjualan tanah di kaki Ngalau itu bisa digunakan untuk pengobatan Umar, ayahnya Hanum. Tapi apa yang didapatnya, mati perlahan-lahan menanggung sakit,”
“Cukup Tuk….. Aku mohon. Biarkan ayah tenang di sana, jangan diungkit lagi masalah yang telah berlalu.”
“Hanum terisak. Demikian pula ibunya. Mereka bertangisan. Acara malam itu berakhir begitu saja. Menyisakan lara yang membekas begitu dalam di hati Hanum dan ibunya.
“Kau sedih dengan keadaan kita, Nak…..? Kau menyesali keputusanmu tempo hari?”
Hanum kaget. Ibunya telah berdiri di belakangnya. Hanum membimbing ibunya duduk di bangku yang sudah usang, satu-satunya kursi yang masih bisa dipakai yang ada di rumah nenek.
“Sama sekali tidak, Bu. Sedikit pun tak ada sesal dalam hati anakmu ini. Hanum justru bersyukur. Seandainya Bapak masih bersama kita, beliau tentu bangga dengan keputusan Hanum. Bangga karena Hanum mengikuti jejaknya, berani dihina daripada terhina.”
Sejuk udara Subuh itu menelisik perlahan ke saraf-sarat Hanum. Mengantarkan energi positif ke seluruh tubuhnya. Seperti halnya semburat keemasan yang mengintip malu-malu di antara pucuk-pucuk pinus, menghapus jejak malam. (*)
Biodata Penulis:
Silvianti Cing dengan nama asli Silvianti (lahir di Halaban, Kab. Lima Puluh Kota 13 Juni 1980. Alumni Sastra Indonesia Universitas Andalas ini adalah guru di MTsN 4 Lima Puluh Kota dan MTsS Halaban Kab. Lima Puluh Kota. Esai dan puisinya pernah dimuat di Haluan dan Singgalang. Bergabung dengan Forum Lingkar Pena (FLP) Sumatera Barat sejak tahun 2021. Ia pernah Juara 1 Lomba Karya Ilmiah Tk. Kab. Lima Puluh Kota Tahun 2013, Juara 1 Guru Berprestasi Tingkat Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2014 dan 2015, Juara 2 Lomba Penulisan Sejarah Kemenag Kab. Lima Puluh Kota Tahun 2015, Juara 1 Lomba PTK Tk. Kab. Lima Puluh Kota Tahun 2017. Artikelnya pernah dua kali dimuat di Jurnal PAB Sumatera Barat yaitu tahun 2014 dan 2015.
Memori Kolektif Masyarakat Minangkabau dalam Cerita Pendek
Oleh: Azwar Sutan Malaka
(Anggota Forum Lingkar Pena dan Dosen
Prodi Ilmu Komunikasi, UPN Veteran Jakarta)
Aulia Rahman dkk (2020) dalam tulisan mereka di Jurnal Mozaik Humaniora yang berjudul “Cagar Budaya dan Memori Kolektif: Membangun Kesadaran Sejarah Masyarakat Lokal Berbasis Peninggalan Cagar Budaya di Aceh Bagian Timur” menyampaikan bahwa Memori atau ingatan adalah kemampuan untuk menyimpan, mempertahankan, dan mengingat kembali kejadian, pengalaman, serta aktivitas yang pernah dilakukan. Sementara itu, memori kolektif atau memori sosial sering kali didasarkan pada mitos atau stereotip sederhana, bukan pada analisis dan evaluasi yang cermat terhadap arsip sejarah.
Dalam hal tersebut di atas, Dosen di Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Samudra tersebut mengutip pendapat John Tosh (dalam Sanusi 2013) berpendapat bahwa sejarah adalah memori kolektif, pengalaman melalui pengembangan suatu rasa identitas sosial manusia dan prospek manusia tersebut di masa yang akan datang. Dengan demikian, peninggalan sejarah yang berbentuk ide-ide dan juga material, merupakan memori kolektif yang berisi pengalaman hidup manusia di masa lalu yang di dalamnya berisi identitas sosial dan menjadi identitas bagi manusia di masa yang akan datang.
Lebih jauh Aulia Rahman dkk. menyampaikan bahwa memori kolektif memberikan kontribusi dalam membentuk identitas diri kelompok sosial, mulai dari kelompok sosial yang paling kecil, seperti keluarga hingga kelompok sosial terbesar, seperti masyarakat dan bangsa. Memori kolektif mencakup cerita tentang masa lalu atau tentang kelompok-kelompok masyarakat dan dengan mengabadikan peristiwa dan pengalaman tertentu sebagai bagian dari masa lalu yang sama.
Memori kolektif mewujudkan nilai, ritual, dan pandangan hidup untuk melangkah ke masa depan. Seperti kebanyakan konstruksi manusia, memori kolektif dapat digunakan untuk tujuan positif dan mendukung kehidupan atau untuk tujuan parokial dan destruktif, tergantung bagaimana penggunaannya, misalnya dalam konflik Aceh di mana pemberontak dalam konflik Aceh untuk memunculkan mitos-mitos yang berkaitan dengan sejarah Aceh yang terus direkonstruksi dan menjadi memori kolektif bagi masyarakat Aceh.
Memori kolektif pada dasarnya tidak hanya bermanfaat untuk tujuan mengenang masa lalu, apakah itu untuk hal-hal yang positif ataupun yang negatif. Memori kolektif dapat menjadi media untuk mengkonstruksi masa depan sesuai dengan visi dari sebuah masyarakat untuk mewujudkan kehidupan masyarakat pada masa depan.
Dalam karya sastra, seringkali kehadiran tujuan untuk mengkonstruksi masa depan ini tidak terlihat. Hal ini karena bagi kebanyakan masyarakat Indonesia karya sastra lebih dipandang sebagai sebuah media yang memberikan fungsi hiburan untuk pembacanya. Oleh sebab itu, fungsi-fungsi yang lain dari sebuah karya sastra –termasuk fungsi membentuk masa depan—ini terabaikan.
Contoh sederhana bagaimana karya sastra diposisikan sebagai media pembentuk masa depan adalah seperti yang dilakukan beberapa penulis atapun sastrawan di Minangkabau. Mereka yang mempercayai bahwa adat istiadat Minangkabau atau cara hidup Minangkabau adalah salah satu jalan terbaik membangun peradaban mencoba mewariskan nilai-nilai dalam adat istiadat Minangkabau tersebut dalam karya sastra.
Salah satu penulis perempuan Sumatera Barat yang karyanya dapat dikelompokkan menjadi bagian dari usaha untuk mewariskan nilai-nilai atau adat istiadat Minangkabau kepada pembacanya adalah Silvianti, seorang guru, penulis, dan juga alumni Fakultas Sastra Universitas Andalas dalam karyanya berjudul “Warisan Ayah”.
Cerpen “Warisan Ayah” karya anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Sumatera Barat tersebut bercerita tentang seorang perempuan muda bernama Hanum. Cerita yang dikisahkan dalam sudut pandang tokoh “Aku” tersebut dimulai dari bagaimana ingatan Hanum akan kampung halamannya yang sudah rusak, tidak sesuai lagi dengan keagungan Minangkabau yang diimpikan masyarakat. Dalam cerpen itu penulis mendeskripsikan sebagai berikut:
“Namun kini jauh panggang dari api. Pintu surau yang kuncinya telah dirusak tangan-tangan tak bertanggung jawab, membuat apapun leluasa keluar masuk seolah itu kandang yang dibuatkan tuannya untuk tempatnya tidur dan berak. Surau itu juga kadang digunakan oleh para ibu-ibu muda untuk melakukan senam khusus orang mengandung. Kadangkala juga digunakan oleh beberapa investor yang membagikan uang ganti rugi tanah kepada masyarakat yang tanahnya terpakai untuk akses jalan ke pabrik atau tambang batu gamping yang tumbuh bak cendawan di musim hujan.” (Silvianti, 2021).Peralihan fungsi surau menjadi tempat yang bukan menjadi fungsinya itu digunakan penulis untuk menggambarkan bagaimana mirisnya nasib Minangkabau yang berfalsafah “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah” itu. Miris, tapi itulah yang terjadi. Perubahan kehidupan sosial masyarakat ini begitu disesalkan oleh penulis sebagai anak muda Minangkabau yang peduli pada tanah Bundo Kanduang ini.
Dalam realitas hidup saat ini, lihatlah bagaimana hal-hal negatif begitu menjadi buah bibir orang-orang di luar Minangkabau terhadap tanah yang dulu bertuah ini. Saat lebaran seperti saat ini, beberapa perantau yang berkunjung ke kota-kota di Sumatera Barat mengeluh bagaimana tidak ramahnya orang-orang di Bandara Minangkabau menyambut para perantau yang pulang kampung itu. Ini bukan keluhan sekali dua kali, tapi sudah sering orang-orang yang berkunjung ke Sumatera Barat mengeluh bagaimana ditipu para calo travel liar di lingkungan bandara.
Mereka yang membawa kendaraan pribadi untuk bermain ke Bukittinggi, seringkali mengeluh karena ulah tukang parkir liar yang meminta uang parkir jauh di atas harga normal. Pernah seorang perantau bercerita pergi ke apotek di Bukittinggi lalu setelah membeli obat di apotek itu memberikan uang lima ribu rupiah ke seseorang yang mengaku tukang parkir, orang yang mengaku tukang parkir itu melemparkan kembali uang tersebut dan meminta sepuluh ribu rupiah untuk parkir yang tidak sampai lima belas menit di depan toko itu.
Seorang kenalan yang mengantarkan anaknya kuliah ke Kota Padang, lalu berbelanja di Pasar Raya mengaku dimaki-maki pedagang dengan bahasa yang dia tidak mengerti (mungkin bahasa Minang), namun walau dia tidak mengerti tapi dia tau dari nada bahasa itu adalah bahasa-bahasa yang tidak baik.
Beberapa gambaran realitas di atas seolah menjadi bukti keprihatinan penulis cerpen “Warisan Ayah” yang kita bahas saat ini. Ada banyak cerita bagaimana degradasi moral terjadi di Ranah Minang dan hal ini menjadi catatan pahit dalam peradaban negeri yang dulu pernah melahirkan pahlawan-pahlawan terkenal itu.
Sebagai penulis apa yang perlu dilakukan? Salah satunya adalah seperti yang dilakukan Silvianti itu, mencoba menjadikan karya sastra yang dia ciptakan menjadi bagian dari upaya mengingatkan masyarakat bahwa hal-hal seperti itu bukanlah adat kita sebagai orang Minang yang beradat.
Silvianti dalam cerpen “Warisan Ayah” tersebut setidaknya memberikan beberapa catatan untuk diingat oleh generasi penerus Minangkabau.
Pertama adat budaya Minang itu agung dan memberikan tuntunan untuk menjadi manusia-manusia yang agung juga. Masyarakat beradat dan berbudaya itu bukan seperti yang digambarkan Silvianti bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak lagi menempatkan surau sebagaimana mestinya. Penulis cerpen itu mengingatkan bagaimana terjadinya perubahan fungsi surau yang tidak sebagaimana seharusnya.
Kedua, penulis juga menyampaikan bahwa adat istiadat Minangkabau itu membela kaum yang lemah, tidak menjadikan dalih adat untuk menundukkan kaum yang lemah itu. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana penolakan Hanum atas pinangan anak mamaknya. Dulu banyak digambarkan bahwa perempuan Minang itu diperlakukan oleh laki-laki dengan tidak adil. Perempuan difungsikan sebagai objek saja. Hal ini dapat dilihat dalam roman-roman Minangkabau klasik seperti kisah Siti Nurbaya yang terkenal itu. Tapi dalam cerita ini, Silvianti berusaha mengungkapkan bahwa perempuan Minangkabau itu seharusnya memiliki pilihan. Dia boleh menerima atau menolak lamaran seseorang. Sekalipun yang melamar adalah anak mamaknya sendiri. Silvianti ingin menunjukkan bahwa perempuan itu berdaya, dia memiliki kekuatan untuk menentukan masa depannya. Dia tidak harus mengikuti kemauan lelaki saja. Perempuan memiliki suara untuk menentukan bagaimana nasib dirinya sendiri, bagaimana nasib keluarga yang akan dibinanya, dan bagaimana nasib anak-anak yang akan dilahirkannya.
Ketiga, melalui cerpen “Warisan Ayah” Silvianti menyampaikan pesan bahwa warisan itu tidak hanya harta benda dan tanah pusaka saja. Silvianti menggambarkan bagaimana harta justru menjadi persoalan bagi orang-orang yang ditinggalkan. Sementara warisan lain berupa sikap dan pendirian, ilmu pengetahuan, dan adat istiadat yang baik, atau bisa diringkas dengan ilmu dan iman menjadi warisan yang sangat berharga bagi generasi selanjutnya.
Hanum memang tidak diwariskan harta benda oleh ayahnya. Tapi dia diwariskan ilmu dan iman yang cukup untuk menjalani hidup di dunia. Dengan warisan berupa ilmu dan iman dari ayahnya itu, Hanum menjadi sosok yang berani, sosok yang memiliki harga diri, perempuan yang berani menentukan jalan hidupnya sendiri. Hanum mengakui dengan jujur warisan itu justru lebih berharga dari harta benda yang justru menjadi masalah baginya.
Demikianlah bagaimana seorang pengarang membentuk memori kolektif untuk generasi di masa depan. Apa yang dituliskan oleh para penulis saat ini, suatu waktu nanti akan menjadi ingatan bersama sebuah masyarakat tentang nilai-nilai, cara hidup, atau pandangan hidupnya. Dengan menciptakan karya-karya yang memuat pesan atau nilai-nilai tertentu, pengarang sedang berusaha mewariskan nilai-nilai itu dalam karya yang akan dibaca masyarakat nantinya. (*)
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post