Cerpen: Mey Budiartini
“Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”.
Pribahasa termasyhur bahwa sifat anak tidak jauh dari orang tuanya. Hal itu benar adanya. Ketika seorang ibu merawat anaknya dengan lemah-lembut dan kasih sayang, pasti anak akan tumbuh dewasa dengan kelemah lembutan yang ada dalam diri seorang ibu. Setiap ibu memiliki cara tersendiri untuk mendidik dan merawat anaknya, tak terkecuali ibu Kinan. Seorang ibu rumah tangga yang seluruh waktunya dicurahkan kepada keluarganya. Seorang ibu yang merawat ketiga anaknya, salah satunya Ara putri satu-satunya yang memilih celana daripada rok untuk seragam sekolahnya.
Ara anak yang sedikit sulit diatur, dia memiliki karakter yang hampir sama dengan ibunya keras kepala dan berambisi hingga segala hal dilakukan untuk menggapai apa yang diinginkan, tetapi sebuah karakter akan berubah ketika bertemu dengan guru, sebaik-baiknya guru.
***
Suara burung mengalun pelan menyambut pagi yang membawa harapan. Harapan yang indah, seperti harapan Ara setiap harinya. Hari ini tepat tiga setengah tahun Ara menempuh pendidikan di Universitas Indonesia. Pukul 10.00 WIB, nanti Ara akan melakukan sidang skripsinya. Ia berharap sidang berjalan lancar dan meluluskannya dengan nilai Cumlaude. Tidak semudah itu menyelesakan ujian, setahun yang lalu ia mulai menulis proposal lebih cepat dari kawannya. Tak heran, Ara seorang gadis berambisi dengan kacamata kuda. Ia punya kawan tetapi bukan teman dekat, baginya berteman hanya sewajarnya tak usah hingga tidur bahkan mandi bersama. Semenjak awal, bertemu Ara pun kawannya memahami karakternya dan itu sangat membantu Ara.
Akhirnya datang juga hari yang menjadi harapan, tetapi tidak menjadi yang dinantikan. Wisuda bagi Ara “Wis1 Sudah” artinya ya sudah, dunia belajar akan selesai. Dunia jika ada yang salah maka menganggapnya wajar. Hal itu sangat berbeda dengan dunia kerja nanti, yang menuntut untuk selalu benar. Ara tahu itu, dan ia siap dengan itu.
Belum sempat mengujurkan punggung ke kursi panjang, Ara sudah mendapatkan pekerjaan di salah satu Bank di Surabaya. Ia mengikuti tes seminggu sebelum acara wisuda, orang tuanya sangat bangga padanya. Sebelum pertanyaan yang sama perlahan mengkaratkan urat sarafnya.
***
Rabu yang cerah membawa Ara ke salah satu tempat nongkrong anak muda di Surabaya. Ia berniat bertemu dengan teman lamanya, tanpa izin ibunya Ara nekat membawa motor vario merahnya ngebut di jalanan Surabaya. Terakhir, ia melirik wajah ibunya yang sambil menangis melarangnya pergi. Ara tak tahan dengan semua yang telah terjadi.
Amarah yang terus ditimbun suatu saat akan meledak dan itu terjadi pada Ara. Gadis dengan ambisi dan kepercayaan tinggi itu mulai meredup seiring dengan usianya yang semakin bertambah. Sebagai satu satunya anak perempuan, ia memiliki beban yang tak biasa. Setiap hari selalu diusik dengan pertanyaan-pertanyaan “Kapan menikah? Sudah ada pasangan belum? Mau ibu kenalkan?”
Pernyataan-pernyataan yang tak hentinya menghantam otak Ara bagaimana untuk memulai dan mengakhirinya. “Anak perempuan tidak boleh menikah di atas umur 30, Kamu mau menjadi perawan tua?” hingga pernyataan ibunya yang menancap bak paku dipalu dengan kuat di dalam hatinya “Kamu lesbi?”
***
Kedua kalinya, Ara pergi dari rumah tanpa izin orang tuanya. Ia paling takut dengan ibunya. Walaupun ibunya sangat kasar, Ara lebih sayang dengan ibunya. Ayahnya yang seorang guru memilih diam saat Ara dan ibunya berdebat. Terkadang, ia menyelinap masuk ke kamar Ara meluruskan perkataan-perkataan ibu kepadanya. Ara heran setiap kali ia ingin bertemu dengan kawannya. Ibunya selalu melarang. Kata beliau “Buat apa berjumpa dengan kawan perempuan jika tidak bermanfaat. Paling juga ber-ghibah atau ngobrol yang tak jelas. Lebih baik cari pasangan untuk menikah!” Walaupun Ara tetap meninggalkan rumah, di atas sepedanya hati dan telinganya mengulang-ulang perkataan ibunya hingga melelehkan air dari mata.
“Tak bolehkah aku bertemu dengan mereka? Mereka penghiburku. Aku pusing dengan semua aturan yang ibu buat dari dulu.” Pernah Ara membalas teguran ibunya dengan tangisan sebagai backsound, tetapi hal itu berujung penyesalan yang semakin membuatnya sesak.
***
Suasana tenang dan hangat menyambut hari Raya Idulfitri tahun ini. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Ara masih sendiri. Banyak keponakannya sudah menikah bahkan sudah berbadan dua. Hati semua orang bersuka cita, tapi tidak bagi Ara. Ini adalah suasana yang memojokkannya sendirian. Ketika semua orang berkumpul di ruang tengah bercerita dengan riang, menyantap kue lebaran, Ara menelungkupkan badannya di atas kasur kesayangannya. Baginya, hanya kasur yang mengerti ia saat ini. Bagaimana tidak, kasur memeluknya hangat hingga terlelap. Terlewati sudah suasana canggung itu, tapi tidak dengan ibunya. Ketika Ara keluar dari kamar, ibu berpesan.
“Nanti sore kamu ikut dengan kakakmu”
“Kemana?” jawabku
“Sudahlah ikut saja. Aku diajak ke temannya”
Ara dengan busana biru kehitaman keluar dari mobil yang dikendarai kakaknya, menuju rumah yang sangat besar dengan orang-orang berpeci dan berjilbab didalamnya.
“ini rumah siapa kak?”
“sudah, ayo masuk” jawab kakaknya singkat
Ara hanya duduk manis seusai bersalaman dengan orang yang berada didepannya. Setelah itu, kakak dan orang itu masuk ke dalam rumah. Setelah hampir dua jam, Ara memakan waktu dengan melihat sekeliling sembari mengincip permen yupi, kakak Ara keluar dari dalam rumah dan menyuruh Ara juga ikut berpamitan. Di dalam mobil, dengan kebisuan mengantarkan mereka pulang. Keesokan harinya, ibu mengetuk pintu kamar Ara dengan tidak sabar langsung membukanya.
“Kamu tidak ada rasa ingin menikah ya? Apa benar kamu ini lesbi ha?” suara ibu dengan nada tinggi dan tangisan. Ara yang baru bangun dari tidurnya hanya melongo bingung. Di samping ibunya, ada kakak yang memegangi pundak ibunya sambil sesekali mengelusnya.
“Apa maksudnya Bu?” jawabku bingung
“Kata Ustadz kemarin, kamu itu tidak ada keinginan menikah dan keliatannya kamu jauh jodohnya.”
“Astagfirullah” Air mata mengucur deras tak tertahankan oleh Ara. Baginya, hanya itu jawaban yang bisa ia lontarkan. Ara bukan gadis yang religius, tetapi ia sangat percaya Tuhan. Ia percaya mati, rezeki, dan jodoh adalah urusan Tuhan. Ia tak ingin ikut campur dengan hal itu, tetapi hari ini ibunya membuatnya sangat kecewa. Ibu yang selalu ingin ia bahagiakan dan ibu yang menjadi panutan karena kuat menghadari banyak ujian. Kini telah membuatnya sadar bahwa selama ini apa yang ia usahakan tidak cukup untuk membahagiakan ibunya.
***
Dua hari setelah kejadian itu, Ara semakin menyendiri. Setelah pulang kerja ia selalu masuk kamarnya hingga berangkat kerja kembali. Kejadian ini membuatnya banyak berpikir hingga tak tahan menahannya ia mengambil air wudhu dan salat. Di ujung, sholatnya airnya menetes, entah apa yang dirasakan. Tak dipercaya, tak laku, tak punya harapan, tak punya masa depan, perawan tua, tak bisa bahagiakan orang tua, tak ada teman, dan banyak lagi pemikiran yang pesimis melintas diotak yang penuh ambisi itu.
Semua aturan yang dibuat oleh ibunya selalu menjadi pagar bagi Ara dan kakaknya. Hanya saja kakak dan adiknya laki-laki sedikit ada kelonggaran, sedangkan Ara tidak. Dari SD, Ara tidak mempunyai teman karena ibunya selalu melarangnya bermain. Dari kecil, Ara selalu menjadi juara kelas hingga munculkan sifat ambisius yang dibawanya hingga dewasa. Menganggap semuanya bisa ia dapatkan dengan usaha yang total. Ara mungkin lupa bahwa ada Dzat yang mengatur itu semua. Dewasa ini, mencari pasangan tidak semudah itu bagi Ara. Selama ini Ara tidak diam, ia sudah berusaha dengan meminta temannya mengenalkan dengan teman laki-laki yang mereka miliki, tetapi hasilnya nihil. Tidak ada yang cocok dengan Ara. Ia mencoba aplikasi perjodohan, tetapi berujung ditipu dengan foto orang lain.
Sungguh jika ibunya tahu usaha yang sudah dilakukan Ara mungkin beliau akan sadar bahwa memang jodoh Allah yang mengatur tidak bisa dipaksakan. Pasangan pasti ada hanya menunggu waktu yang tepat bagi-Nya. Setiap malam Ara menangis. Tanpa ia sadar, badannya semakin mengurus dan tak ada semangat dalam jiwanya. Di setiap doa sepertiga malamnya, Ara menyematkan nama ibu dan ayahnya agar sehat, bahagia serta sabar menghadapinya. Ia tak lupa meminta dipertemukan dengan cintanya kepada sang Maha Cinta.
Pelan namun pasti. Hubungan ibu dan anak kembali baik. Ibu tak akan meninggalkan anaknya begitu pun juga anaknya tak akan memutus doa untuk ibunya. Ara kembali meyakinkan diri bahwa semua sudah diatur oleh-Nya sedemikian rupa hingga datang waktunya kebahagiaan yang rasanya tak terkira.
***
Sepulang kerja, Ara menyempatkan diri ke toko buku. Sudah lama, ia tak lagi bergulat dengan buku terakhir lulus SMA. Buku dengan judul “Ibuk” karangan Iwan Setyawan menarik tangan Ara untuk menjangkau. “seperti sepatumu ini, Nduk. Kadang, kita mesti berpijak dengan sesuatu yang tak sempurna, tapi kamu mesti kuat. Buatlah pijakanmu kuat” Ara merasa ibunya yang berkata walaupun dia hanya membawa kutipan di dalam buku Ibuk.
Ara tergesa-gesa memarkirkan sepeda di garasi, mengambil langkah seribu mencari ibunya diruang tamu. Dalam benak Ara, dia ingin sekali mencium kaki ibunya dan berterima kasih atas semua pengorbanan ibu untuknya, dan benar itu yang dilakukan Ara ketika bertemu ibunya. Ibunya kaget. Adegan ini mengandung bawang sangat menyesakkan sekaligus melegakan seperti musim kemarau panjang berakhir hujan lebat. Ara tak tahan menahan semua yang ada dihatinya. Baginya, ibu adalah pengingat, andaikan bukan ibu yang mengingatnya salat, mengingatkannya selalu berada di rumah, selalu mengingatkannya untuk pulang tepat waktu dan untuk selalu memiliki mimpi. Mungkin Ara tidak seperti hari ini menjadi seorang pegawai bank yang mengabdi kepada negeri.
Seorang ibu memiliki kelembutan yang alami meski disampaikan dengan nada keras, tapi yakinlah semua itu bertujuan baik tidak ada seorang ibu yang menginginkan anaknya mengalami kesusahan atau kesedihkan. Ibu Kinan hanya ibu biasa yang mengingkan anaknya segera memiliki pendamping, tidak untuk menghindari hujaran tetangga karena memang itulah anjuran agama. Ara sadar apapun yang ibunya lakukan untuk kebaikannya, sekarang Ara pasrah dengan takdir yang ditentukan Allah kepadanya. Ia percaya dengan mengikhlaskan takdir yang datang kepadanya akan semakin mudah hidupnya.
***
Malam semakin larut, Ara, ibu, ayah dan saudaranya mengakhiri percakapan yang hangat malam itu. Mereka sedang mempersiapkan hari indah itu. Ara akan segera menikah dengan teman kakaknya, yang ternyata sudah mengincarnya sejak Ara masih sekolah. Lelaki itu bernama Ari. Ari datang pada waktu yang tepat. Pada waktu memang semuanya sudah siap.
Ara tidak akan pernah meninggalkan keluarganya. Dia berjanji pada dirinya meski nanti dia sudah mempunyai keluarga kecilnya dia tidak akan pernah terlambat menjenguk ayah dan ibunya. Dia berharap ketika nanti dia menjadi seorang ibu dia akan seperti ibunya, mengorbankan jiwa dan raganya untuk keluarga tercinta.
Ibu
Kasih sayangmu adalah alarm dalam bumiku
Menunjukkan di setiap persimpangan yang harus aku tuju
Ibu, engkau adalah aku
Aku cerminan dirimu
Yakinlah, aku akan selalu didekatmu
Walau jauhpun tetap dihatimu (Januari, 2021)
Catatan: Cerpen nominasi Lomba Cerpen Scientia 2020
Biodata
Mey Budiartini lahir di Sidoarjo, 17 Mei 1993
Pekerjaan: Ibu rumah tangga
IG: Mey Budiartini
Email: meybe45@gmail.com