Puisi-puisi Fahruzi Alfani
Paling Aku
Ibu, beribu langkah kaki telah aku ayun
Hitam putih, gelap terang
Ibu, beribu kata telah aku ucap teguh
Lemah lembut, kasar terniang
Ibu, hatimu mengarungi samudra ini,
senang sedih, suka duka, hingga tetesan peluh
Ibu, hangatmu menyelimuti diri,
alunanmu menangkan kalbu,
senyum mendamaikan jiwa, tiada lelah
Ibu, tiada kasih selainmu,
tiada cinta sejernih ikhlasmu,
tiada rasa tanpa hadirmu,
tiada indah tanpa hadirmu,
Ibu, maafkan diri ini,
detik, hari, bulan, tahun berlalu,
namun hanya engkau di sanubari terdalamku,
engkau Paling Aku.
Oktober 18
Lukisan indah tampak sejuk mewarna
Beriring syahdu untaian kata – kata
Luas dunia terasa syurga
Berkumpul cerita dalam canda tawa
Lukisan indah terpapar noda
Berjalan dengan langkah kakinya
Luas dunia sunyi hampa terasa
Berselimut sutra di dalam hatinya
Lukisan indah bergunungkan debu
Bertumbuh satu dengan reka replika
Langkah kaki rasa menghentak dunia
Berselir bisa dalam angannya
Lukisan indah tanpa cahaya terang
Bagaikan minum di dalam lautan fana
Lari jauh entah arah kemana
Berharap akan rasa dalam raganya
1 Januari 2024
Detik bermimpi dalam malam
Bercahaya terang dalam iman
Detik bersuara dalam alunan
Berkata indah mengibur raga
Bulan bersinar tanpa cahaya
Berpola indah dalam rupa rupanya
Bulan bersinar tanpa paksa
Berpijar indah menyinar jiwa
Bintang berkelip indah dalam kegelapan
Bergerak pasti dalam haluan
Bintang jatuh dipanjatkan doa
Berharap bahagia akan tercipta
Tahun berganti tahun tak pernah terlupa
Ada cerita, tawa bahagia, suka cita, duka cerita
Tahun berganti pasti tiba
Ada bahagia berhadiah dalam usahanya.
Fahruzi Alfani, seorang introvert yang senang menulis puisi, cerpen, dan naskah drama serta hobi fotografi; Berlatar pendidikan manajemen keuangan dan bekerja di lembaga keuangan serta menjadi praktisi di dunia pendidikan.
Mimpi si Paling Aku
Oleh Ragdi F. Daye
(buku terbaru yang memuat puisinya Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian, 2021)
Ibu, maafkan diri ini,
detik, hari, bulan, tahun berlalu,
namun hanya engkau di sanubari terdalamku,
engkau Paling Aku.
Pada edisi kali ini, Kreatika memuat tiga buah puisi seorang praktisi keuangan yang jiga bergelut di dunia pendidikan, Fahruzi Alfani. Ketiga puisi Fahruzi yang dimuat kali ini berjudul “Paling Aku”, “Oktober 18”, dan “1 Januari 2024”.
Bagi sebagian orang, puisi dapat dijadikan media untuk melepaskan ketegangan emosi, beban pikiran, atau mengungkapkan buah pikiran. Bagi sebagian yang lain, puisi adalah sarana mengekspresikan perasaan terpendam melalui pilihan kata-kata yang penuh makna. Puisi dapat dinikmati tanpa harus dimengerti. Puisi cukup dirasakan getaran emosi yang turut beresonansi dipicu kiasan imaji dan irama kata-kata yang estetis.
Secara etimologis istilah puisi berasal dari kata bahasa Yunani poites, yang berarti pembangun, pembentuk, pembuat. Dalam bahasa Latin dari kata poeta, yang artinya membangun, menyebabkan, menimbulkan, menyair. Dalam perkembangan selanjutnya, makna kata tersebut menyempit menjadi hasil seni sastra yang kata-katanya disusun menurut syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak dan kadang-kadang kata kiasan (Situmorang, 1980:10).
Puisi adalah karya sastra yang sangat bermanfaat sebagai sarana ekspresi diri. Melalui puisi, seseorang dapat mencurahkan perasaan atau pemikirannya dengan menggunakan simbol-simbol tertentu untuk menghasilkan suatu pemikiran yang mendalam. Pendapat ini diperkuat oleh kritikus sastra dan analis puisi Rachmat Djoko Pradopo dalam buku Pengkajian Puisi. Pradopo mengatakan bahwa sesuatu dalam karya sastra dapat dikatakan bersifat puitis jika hal itu dapat membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas, dan menimbulkan keharuan. Pradopo (2009) mengatakan bahwa penyair hendak mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang dialami batinnya. Untuk itu haruslah dipilih kata setepatnya. Diksi adalah pemilihan kata-kata, memiliki kedudukan yang sangat penting dalam puisi.
Puisi pertama yang berjudul “Paling Aku” berisi ungkapan cinta seorang anak kepada ibunya. Larik-lariknya begitu lugas ‘Ibu, hatimu mengarungi samudra ini, /senang sedih, suka duka, hingga tetesan peluh/ Ibu, hangatmu menyelimuti diri, /alunanmu menangkan kalbu, /senyum mendamaikan jiwa, tiada lelah’. Mata seorang ibu yang dibacakan bait ini oleh anaknya pasti akan berkaca-kaca. Juga, seorang anak yang membaca puisi ini dengan sepenuh perasaan akan terbawa masuk ke dalam emosi puisi yang mengharukan, teruma ketika si pembaca mempunyai ingatan tertentu terhadap sosok ibu, seperti kerinduan karena sudah lama berpisah, penyesalan karena telah banyak melakukan kesalahan atau telah bersikap buruk yang menyakiti perasaan ibu.
Puisi bertema ibu dari Fahruzi ini tentu akan menggoncang perasaan anak manusia yang telah ditinggal sang ibu, ‘Ibu, maafkan diri ini, ‘detik, hari, bulan, tahun berlalu, / namun hanya engkau di sanubari terdalamku, /engkau Paling Aku.’ Penyair memperlihatkan hubungan yang sangat dekat dengan ibu sehingga dia menggunakan diksi ‘paling aku’ yang dapat dimaknai sebagai kedekatan yang sangat istimewa. Paling aku dapat dimaknai sebagai paling mengerti, paling memahami, paling mendekati kesamaan karakter, atau paling diistimewakan.
Puisi kedua “Oktober 18” mengungkapan tentang ‘lukisan indah’ yang diulang sebanyak empat kali. Pada bait pertama lukisan indah digambarkan dalam keadaan baik, ‘Lukisan indah tampak sejuk mewarna/Beriring syahdu untaian kata – kata/ Luas dunia terasa syurga/ Berkumpul cerita dalam canda tawa’. Suasana yang ditampilkan masih normal dan baik yang kontras dengan bait-bait berikutnya ‘lukisan indah terpapar noda’, ‘lukisan indah bergunungkan debu’ dan ‘lukisan indah tanpa cahaya terang’. Kontras pada bait kedua, ketiga, dan keempat berisi pesan penyair tentang kerusakan atau permasalahan yang datang mengganggu ketenangan ‘lukisan indah’. Sebagai simbol, lukisan indah dalam puisi ini dapat dimaknai sebagai suatu tempat, lokus, atau kehidupan di sebuah lokasi yang menarik.
Puisi ketiga seperti sengaja dibuat untuk menyambut tahun baru. Suasana perayaan pergantian tahun biasanya identik dengan pesta penuh alunan musik, permainan cahaya dengan lampu sinar laser atau ledakan pijar cahaya kembang api. Kemeriahan tersebut juga disertai dengan adanya kepercayaan sekelompok orang terhadap momen bintang jatuh yang dianggap sebagai waktu yang tepat untuk melangitkan doa. Fahruzi mengakhiri puisinya dengan ‘Tahun berganti tahun tak pernah terlupa/ Ada cerita, tawa bahagia, suka cita, duka cerita/ Tahun berganti pasti tiba/ Ada bahagia berhadiah dalam usahanya.’
Pergantian tahun adalah hal yang alamiah seiring bergeraknya tata surya di alam semesta. Ia dapat dijadikan sebagai pengingat bagi manusia bahwa waktu terus berputar menuju akhir dunia. Jadi, teruslah berusaha untuk menggapai bahagia. []
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerjasama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post