Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah Scientia.id)
“Ah itu cuma sugesti mu saja!”. Begitu seorang teman menyela pembicaraan saat duduk di kedai kopi. Pernyataan itu keluar saat semuanya memesan kopi dan hanya saya saja yang tidak. Bukan tanpa alasan saya tidak mengikuti selera teman-teman. Hanya saja tidak sanggup untuk meminumnya.
Sudah hampir 4 tahun ini saya tidak lagi minum kopi atau minuman-minuman yang mengandung kafein. Tidak cocok di lambung, hanya itu saja. Bila dicicip juga agak sedikit, agak mual jadinya. Begitu sulitnya untuk menikmati minuman tersebut.
Kondisi seperti ini juga berdampak terhadap beberapa makanan lainnya. Pada suatu kesempat di tempat sarapan pagi, saya juga agak memilih-milih makanan. Lontong picalnya misalnya, saya kira salah satu menu favorit sarapan pagi. Lebih nikmat lagi bila dicampur kuah sate dan beberapa tusuk daging.
Kembali lagi, saya harus memilih campuran sayur pical tersebut. Seperti biasanya saya selalu memesan sate pical atau lontong pical tanpa campuran sayur lobak. Saya anggap ini “berbahaya” bagi lambung saya. “Jangan dimakan, tidak bagus untuk penderita asam lambung.” Paling tidak begitu orang-orang mengatakannya.
Lain dengan cerita seorang teman, ia pernah ketemu orang yang begitu mempercayai perkataan “orang pintar” di kampungnya. Sakit sedikit saja dia langsung minta petuah “orang pintar” itu untuk dikerjakan agar sehat kembali.
Kemudian, ada pula yang katanya hanya dengan minum air putih rutin setiap pagi setelah bangun tidur, dia akan bersemangat melaksanakan aktivitas di hari itu. Bila tidak atau kelupaan maka bisa kacau jadinya. Begitu yang ia pahami.
Menariknya pada suatu kesempatan saya memakan sayur lobak dalam campuran sate pical. Hal itu tanpa disadari dan benar-benar tidak saya ketahui sama sekali. Awalnya seorang teman memesan lima porsi sate pical tanpa menyebutkan satu porsi tidak pakai lobak.
Pedagang pun menghidangkan sate pical itu ke hadapan kami. Namanya juga pical yang disiram kuah sate. Kuahnya begitu banyak dan menutupi semua sayur pical tersebut. Rasanya enak dan saya pun memakannya lahap.
Saya tidak merasakan hal buruk terhadap lambung, paling tidak sampai teman mengatakan sayur yang dimakan tadi. “Sepertinya kamu sudah bisa makan lobak, sudah ada kemajuan!”, begitu ujarnya. Pernyataan ini seakan petir yang menyambar di siang hari. saya kaget dan panik. Seakan keadaan berubah drastis yang tadinya ketawa santai, sekarang saya stres dan panik. Tidak berapa kemudian jadi mual dan asam lambung naik seketika.
Saya jadi teringat guyonan teman yang punya kebiasaan minum air putih tiap pagi. Kebiasaan itu sudah lama ia lakukan dan ia punya alasan kuat untuk melakukan itu. Namun, pada satu kesempatan, ia ketiduran dan bangun kesiangan. Saat bangun langsung mandi dan bergegas berangkat kerja. Awalnya, biasa saja hingga teman sekamarnya mengatakan “Kok tidak minum air hangat pas bangun tidur”, seketika itu ia lemas dan lesu.
Begitulah sugesti menurut saya. Ia dapat menjadi kekuatan dan sekaligus juga kelemahan. Kita harus pandai mengelolanya. Paling tidak jika kita tersugesti kuat pada suatu hal maka kita akan memiliki kelemahan pada hal lainnya. Namun, sugesti yang pasti itu adalah meyakini kamu adalah jodohku.
Discussion about this post