Gradasi
Antara merah dan coklat itu
Warna apa
Membentang sesaat selepas salam di rakaat ketiga
Dengan gelombang kapas yang bergulung
Dari kejauhan
Ada sumber cahaya seperti pintu ke dimensi ketiga
Si musafir melihat kerlip lampu-lampu di ketinggian
Mendaki hingga pinggang Singgalang
Dari jalan Cingkariang menuju kota paling utara
di barat daya, sebelum perbatasan
Dari cahaya artifisial
Dilepaskannya pandangan ke luar
Menemu warna antara warna merah dan coklat
Di selepas salam rakaat ketiga
18 Februari 2022
Tan
Tan,
Dari tempatmu pergi yang jauh sekali dari sini
Selopanggung
Setelah bertahun makammu tak dikenali
Hidupmu penuh
Pelarian-pelarian yang dijajaki
Batas-batas negara yang dilewati
Nama-nama yang berganti
Elias Fuentes, Alisio Rivera, juga Hasan Gozali
Tan,
Bulan Februari yang setengah basah setengah terik ini
Kembali mengenang mangkatmu di 1949
Bulan-bulan menjelang clash ke-2
Setelah bersemayam di Selopanggung
Maka selamat datang kembali
Bukan sebagai makam tak bernama lagi
Dengan nisan marmer
Terpahat nama di seberang rumah gadang milik kaummu:
Ibrahim Datuk Tan Malaka.
24 Februari 2022
Rumah Gunung Omeh
Dari Payakumbuh ke arah mudik
Membentang jalan 50 km dengan namamu
Dan saya singgah ke gunung emas
Gunuang Omeh
Berbelok menuju jalan menurun
Nyiur di kejauhan
Di rumah panggung yang sendiri
Dan penjaga tua yang berdiri
Menampakkan kepala dari jendela
“Silahkan masuk” ujarnya ramah
Hitam pecinya cemerlang
Sayangnya penjaga tua bukan pemandu
Pertanyaan-pertanyaan tentangmu menggantung tak terjawab
Rumahmu panggung
Dengan tiang soko guru di tengah
Perkakas tua, dipan model lama
Meja dan kursi jebol di sudut
Buku-buku di rak
Buku agama, buku adat, buku filosofi, buku berhitung trigonometri
Di dinding
Potretmu menebar senyum ke seluruh ruang
Juga potret kawan-kawanmu lawas
Kata-katamu semburat
“Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk”
24 Februari 2022
Biodata Penulis:
Zikra Delvira, anggota Forum Lingkar Pena sejak 2013. Ia kini diamanahkan sebagai koordinator bidang kaderisasi. Tulisan Zikra dapat dilihat di blog zikradelvi.com dan dapat dikunjungi di Instagram @zikdlv.
Refleksi Perjalanan Hidup
Oleh: Ragdi F. Daye
(buku terbaru yang memuat puisinya Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian, 2021)
Hidupmu penuh
Pelarian-pelarian yang dijajaki
Karya sastra dapat menggugah hati pembaca karena pembaca merasa begitu dekat dengan karya sastra tersebut seolah merefleksikan kehidupannya. Hal ini tidaklah mengherankan karena karya sastra merupakan suatu representasi dari kehidupan manusia. Membaca karya sastra dapat menggerakkan hati pembaca atau mencerahkan pikiran pembaca. Karya sastra dihadirkan dalam ragam bahasa teks yang ditulis oleh pengarang dengan begitu hikmat sehingga tersajilah representasi suatu permasalahan pada masyarakat walau ada batas tertentu. Pembatasan hubungan sastra dan masyarakat biasanya bertolak dari frasa De Bonald bahwa “sastra adalah ungkapan perantara masyarakat” (literature is an expression of society). Karya sastra khususnya puisi tidak hanya sebagai ungkapan rasa penyair, namun dapat menjadi refleksi pikiran masyarakat (Sabrini, 2018).
Karya sastra tidak terlepas dari bahasa, tidak terkecuali puisi. Puisi menggunakan bahasa sebagai medium utama dalam menyampaikan gagasan dan gejolak perasaan penyair. Dalam menulis puisi, penyair selalu memikirkan kata apa yang kiranya cocok dalam mewakili gagasan ataupun perasaannya sehingga pembaca dapat terbawa masuk ke dalam imaji yang dicipta dan maksud puisinya dapat tersampaikan kepada pembaca.
Edisi kali ini, Kreatika menampilkan dua buah puisi Zikra Delvira yang berjudul “Gradasi”, “Tan” dan “Rumah Gadang Gunuang Omeh”. Ketiga puisi mengandung tema perjalanan. Puisi pertama berisi perjalanan seorang musafir yang menikmati keindahan alam tanpa melupakan Sang Pencipta. Puisi kedua tentang perjalanan hidup seorang tokoh pejuang kemerdekaan yang sarat dengan kisah pelarian karena tekanan politik, yakni Tan Malaka. Puisi ketiga perjalanan menapaktilasi negeri sang pejuang.
Bagi pembaca yang punya pengalaman mendaki gunung, khususnya Gunung Singgalang di Sumatera Barat, lirik-lirik dalam puisi “Gradasi” akan membawa ingatan pada suasana pegunungan di awal malam bakda Magrib. Melalui citraan-citraan yang sebenarnya masih bisa dieksplorasi, Zikra menuntun pembaca membayangkan pemandangan lampu-lampu dari ketinggian, tentu pemandangan yang sangat memesona serta bisa memunculkan kesan spiritual. Langit senja yang cerah biasanya merah jingga keemasan yang lambat-laun menggelap. Momen indah waktu matahari tenggelam yang lazim disebut sunset memang sangat menakjubkan membuat orang-orang terhipnotis. Namun, persona ‘dia’ dalam puisi ini ternyata tidak terjebak di dalam kelalaian penikmatan yang artifisial, si musafir tetap ingat kepada Tuhan dengan menunaikan salat tiga rakaat.
Zikra menulis seperti ini: ‘Antara merah dan coklat itu/ Warna apa/ Membentang sesaat selepas salam di rakaat ketiga/ Dengan gelombang kapas yang bergulung/ Dari kejauhan/ Ada sumber cahaya seperti pintu ke dimensi ketiga// Si musafir melihat kerlip lampu-lampu di ketinggian/ Mendaki hingga pinggang Singgalang/ Dari jalan Cingkariang menuju kota paling Utara/ di barat daya, sebelum perbatasan// Dari cahaya artifisial/ Dilepaskannya pandangan ke luar/ Menemu warna antara warna merah dan coklat/ Di selepas salam rakaat ketiga’. Ada makna terselubung diksi ‘salam rakaat ketiga’, ‘sumber cahaya’, ‘musafir’, ‘cahaya artifisial’, dan ‘antara warna merah dan coklat’. Pembaca dapat menghubungkannya dengan tanda pada judul, gradasi, yang bermakna tingkat dalam peralihan suatu keadaan pada keadaan lain; tingkat perubahan.
Apabila kita amati, pergantian siang dengan malam yang bagi umat Islam ditandai dengan masuknya waktu salat Magrib, memang menunjukkan fenomena alam yang luar biasa menyangkut perubahan warna yang dipengaruhi keadaan terang-gelap. Perubahan warna tersebut dapat dipandang sebagai sesuatu yang fisikal sekaligus metaforis menunjukkan fase-fase kehidupan.
Momen Magrib yang menakjubkan sesungguhnya juga menyimpan hal yang tidak baik, sebagaimana pesan yang disampaikan sebuah hadits Nabi: “Jika malam datang menjelang, atau kalian berada di sore hari, maka tahanlah anak-anak kalian karena sesungguhnya ketika itu setan sedang bertebaran. Jika telah berlalu sesaat dari waktu malam, maka lepaskan mereka. Tutuplah pintu dan berzikirlah kepada Allah, karena sesungguhnya setan tidak dapat membuka pintu yang tertutup. Tutup pula wadah minuman dan makanan kalian dan berzikirlah kepada Allah, walaupun dengan sekedar meletakkan sesuatu di atasnya, matikanlah lampu-lampu kalian.” (HR. Bukhari, no. 3280, Muslim, no. 2012). Imam Nawawi meletakkan hadits ini dalam bab “Perintah menutup wadah makan dan minum, menutup pintu serta menyebut nama Allah padanya, mematikan api ketika tidur serta menahan anak dan ternak setelah masuk maghrib.”
Puisi Zikra yang kedua ditujukan untuk Tan Malaka, sesuai judulnya, “Tan”. Tan Malaka adalah sosok laki laki yang lahir di Suliki, Sumatera Barat pada tanggal 2 Juni 1897 dengan nama asli Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka. Tan Malaka merupakan sosok yang memiliki sifat sosialis dan politis. Pada tahun 1921 dia pergi ke Semarang untuk mulai menerjuni dunia politik. Kiprahnya dalam dunia politik sangat mengesankan. Hal ini didukung dengan pemikiran Tan Malaka yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Berbagai halangan dan rintangan yang dihadapi Tan Malaka dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, mulai dari penangkapan dan pembuangan di Kupang, pengusiran dari negara Indonesia, seringnya konflik dengan Partai Komunis Indonesia hingga pernah diduga kuat sebagai dalang dibalik penculikan Sutan Sjahrir pada bulan Juni 1946.
Berbagai peran penting pun diraih Tan Malaka, di antaranya kepemimpinan dalam berbagai organisasi dan partai. Sempat mendirikan partai PARI pada tahun 1927 dan Partai Murba pada tahun 1948, hingga mendirikan sekolah serta mengajar di Cina pada tahun 1936 dan sekolah tinggi Singapura. Ada hal yang sangat penting dalam kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945,dimana peranan Tan Malaka dalam mendorong para pemuda yang bekerja di bawah tanah masa pendudukan Jepang agar mencetuskan “Revolusi” yang tepatnya pada tanggal 17 Agustus. Menurut suatu versi sejarah, Tan Malaka terbunuh di Kediri Jawa Timur pada tanggal 19 Februari 1949 dan dimakamkan di Selopanggung. Sebagian besar hidupnya dalam pengusiran dan pembuangan di luar Indonesia. Pemerintah Indonesia menyatakan Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional melalui Ketetapan Presiden RI No. 53 tanggal 23 Maret 1963.
Refleksi perjalan hidup Tan Malaka ini dituangkan Zikra dalam puisi pendeknya: ‘Tan,/ Bulan Februari yang setengah basah setengah terik ini/ Kembali mengenang mangkatmu di 1949/ Bulan-bulan menjelang clash ke-2// Setelah bersemayam di Selopanggung/ Maka selamat datang kembali/ Bukan sebagai makam tak bernama lagi// Dengan nisan marmer/ Terpahat nama di seberang rumah gadang milik kaummu:/ Ibrahim Datuk Tan Malaka.’
Tanggal 21 Februari 2017 telah dilakukan pemindahan jenazah Tan Malaka ke kampung halaman dari makam di lereng Gunung Wilis. Sebenarnya tidak benar-benar jenazah, hanya tanah perkuburan sebagai pengganti jasad di makam Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Peristiwa sejarah inilah yang didokumentasikan Zikra pada bagian akhir puisinya.
Sebagai karya seni yang menggunakan media bahasa, puisi adalah ungkapan perasaan dan pikiran penyair tentang kehidupan. Kehidupan tersebut dapat berpusat pada kehidupan pribadinya, bisa juga hasil pengamatan dan perenungannya terhadap fenomena kehidupan yang terjadi di sekitarnya. Puisi dapat menjadi energi hidup, seperti larik penutup puisi ketiga: ‘Kata-katamu semburat/”Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk.” []
Catatan:
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post