Rizky Amelya Furqan, S.S., M.A.
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
On ne voit bien qu’avec le Coeur. L’essential est invisible pour les yeux
Dengan menggunakan hati kita bisa melihat dengan jernih.
Sesuatu yang begitu penting justru tak terlihat kasat mata.
(Le PetitPrine, Antoine de Saint-Exupéry dalam Novel Pulang Leila S. Chudori)
Perjalanan pasca-Kemerdekaan Indonesia selalu menjadi suatu hal yang menarik untuk dibicarakan, bahkan sampai saat ini masih banyak penulis Indonesia yang menghasilkan karya sastra dengan tema berbagai pergolakan yang terjadi pasca kemerdekaan. Salah satunya adalah Leila S. Chudori yang dalam dua novel terakhirnya mengangkat permasalahan pergolakan 1965 dan 1998 pada novel Pulang dan Laut Bercerita.
Jika pada Novel Laut Bercerita, Chudori fokus pada permasalahan komunitas Winatra dan Wirasena yang terlibat pada peristiwa genocide pada tahun 1998, sedangkan pada novel Pulang dijelaskan bagaimana peristiwa 1965 dan dampaknya pada mereka yang dianggap sebagai penghianat sehingga harus menetap di luar negeri. Namun, ketika mereka menatap di luar negeri masih terjadi pengasingan, bahkan pada keluarga yang masih berada di Indonesia yang pada saat itu disebut dengan “bersih diri dan bersih lingkungan”. Tidak hanya itu, dalam novel Pulang juga terjadi peristiwa returning journey jika dikaitkan dengan teori postmemory yang disampaikan oleh Marianne Hirsch.
Hirsh dalam bukunya menjelaskan bahwa postmemory adalah perihal transmisi sebuah memory kepada second generation dan seterusnya. Transmisi memori ini bisa terjadi dalam sebuah keluarga, misalnya dari seorang ayah kepada anaknya atau dari seorang kakek dan nenek kepada cucunya. Selain itu, transmisi memori juga terjadi dari lingkungan sosial dia berkembang. Hirsch menyebut hal ini dengan transmisi familial dan transmisi affilial. Hirsch juga mengatakan bahwa koneksi postmemory pada masa lalu tidak semata-mata hanya dimediasikan melalui mengingat kembali sebuah cerita atau recalling, tetapi juga berasal dari tiga hal, yaitu imajinasi, proyeksi, dan kreasi.
Dimas Suryo seorang wartawan yang diundang pada konfererensi International Organization of Journalist di Santiago pada tahun 1965, tepat pada saat kondisi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Sampai akhirnya, Dimas dianggap sebagai orang yang mendukung paham komunis dan dianggap sebagai penghianat bangsa. Hal ini, yang menyebabkan dia tidak bisa lagi kembali ke Indonesia. Dimas akhirnya menikah dengan seorang wanita yang berkebangsaan Prancis, Vivienne Devaraux. Mereka memiliki seorang anak perempuan yang bernama, Lintang Utara. Lintang belum pernah mengunjungi Indonesia yang ia tahu adalah negeri kelahiran ayahnya. Namun, seperti menjadi sesuatu yang misterius dan tidak bisa ia atau ayah dan ibunya datangi. Lintang hanya mengetahui perihal Indonesia dari cerita ayahnya, kawan ayahnya, film dokumentar, dan lain-lain. Hal ini tergambar dari dialog Lintang dengan pembimbing tugas akhir yang terlihat pada dialog berikut ini,
“Aku tak pernah menginjak Indonesia karena keluarga tak akan bisa menginjaknya—betapa pun ayah merindukan tanah airnya. Aku mengenal Indonesia dari tangan ayah, kawan-kawan ayah: Om Nug, Om Tjahjadi, Om Risjaf, dari buku-buku, film dokumenter, dari seluruh pertengkaran ayah dan maman dan dari berbagai peristiwa, baik dan buruk, yang akhirnya bisa membawa pada ketegangan antara ayah dan aku hari ini” (Chudori, 2012: 135-136)
Dari dialog di atas terlihat bagaimana Indonesia ditransmisikan pada Lintang dengan cara familial dan affilial. Permintaan pembimbing Lintang agar ia menelusuri kembali jejak sejarah setengah darahnya berasal ini, membuat ini harus mengingat kembali peristiwa di restoran ayahnya yang dianggap menjadi tempat rapat untuk mengadakan unjuk rasa ketika ia masih berumur 10 tahun. Lintang diharuskan melakukan proses identifikasi terhadap hal atau peristiwa yang terjadi pada ayahnya dan Indonesia pada peristiwa 1965. Proses identifikasi tersebut tidak lagi hanya mendengar dari ayahnya atau menonton film dokumenter. Namun, Lintang melakukan perjalanan ke Indonesia (returning journey). Returning journey pada hakikatnya adalah perjalanan kembali ke tempat-tempat yang menyimpan teka-teki masa lalu sebagai sebuah proses identifikasi dan media yang menghubungkannya dengan masa lalu.
Perjalanan Lintang di Indonesia dimulai dengan kunjungannya ke Lubang Buaya yang menjadi saksi bisu peristiwa pemberontakan 1965. Di museum Lubang Buaya ini, terjadi penyiksaan dan pembunuhan 7 orang jenderal Indonesia yang dibuang ke dalam Sumur Lubang Buaya. Tidak hanya melakukan kunjungan ke Lubang Buaya, tetapi Lintang juga melakukan wawancara dengan orang yang langsung mengalami dampak dari peristiwa tersebut. Surti, istri dari Hananto yang ditangkap dan dihukum mati karena terlibat dalam organisasi yang dilarang pada pemerintahan orde baru.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Lintang sebagai receiver atau postgeneration melakukan trace dengan cara melakukan returning journey dan mendengar cerita secara langsung dari orang yang ikut terlibat pada persitiwa tersebut. Penjelahan Lintang untuk menelusuri kembali peristiwa 1965 yang akan dibuat dalam bentuk sebuah film dokumenter ternyata malah disambut langsung oleh peristiwa 1998. Hal ini, tentu saja semakin membuat Lintang memahami bagaimana kisruhnya Indonesia pada saat terjadi peristiwa 1965.
Proses identifikasi yang Lintang lakukan pada dasarnya melalui dua proses, yaitu identifikasi intergenerational dan intragenerational. Identifikasi intergenerational, yaitu dari cerita yang ia dapatkan dari keluarganya dan orang-orang di sekitar keluarganya atau bahkan orang-orang yang dia wawancarai ketika berada di Indonesia, seperti dari Surti, istrinya Hananto. Kemudian, identifikasi intragenerational yang dilakukan adalah dengan membaca tulisan-tulisan dari Aji Suryo, Surti, dan lain-lain kepada ayahnya yang menceritakan tentang beberapa peristiwa yang terjadi di Indonesia serta kunjunganan Lintang ke Museum Lubang Buaya.
Pada proses identifikasi yang dilakukan Lintang memunculkan narasi yang baru untuk ia pahami dan mengerti. Dari sinilah, postmemory akan meninggalkan trauma pada postgeneration. Hal ini juga yang akan membuat postgeneration dalam postmemory akan menyuarakan sesuatu yang baru atau malah membungkam banyak hal agar tidak diketahui lebih lanjut oleh banyak orang.
Pada dasarnya pembahasan postmemory selalu berdekatan dengan tema war yang terjadi pada sebuah daerah. Dengan demikian, berbagai pergolakan selalu menimbulkan trauma pada orang yang langsung terlibat dalam peristiwa tersebut atau bahkan orang-orang yang berada pada generasi selanjutnya yang pada hakikatnya hanya mendengarkan cerita dari transmitter. Begitu juga dengan pergolakan yang terjadi antara Rusia dan Ukraina saat ini yang akan meninggalkan jejak-jejak trauma pada generasi berikutnya. Pergolakan seringkali dipengaruhi faktor ego masing-masih pihak yang ingin mendominasi satu sama lain.