Cerpen: Eva Anastian
Seseorang perempuan berdiri di depan pintu gerbang sekolahku. Tubuhnya ringkih. Tangannya telah dicumbu keriput. Bajunya begitu ala kadarnya. Daster lengan panjang berwarna cokelat tua dengan jilbab putih yang dua ujungnya diikat mengitari leher. Payung ungu bergambar bunga tulip tampak menaunginya dari rintik hujan yang tersapu angin tipis-tipis. Digendongnya bayi laki-laki yang tertidur pulas. Sesekali, tangannya mengusap wajah bayi itu dengan lembut.
Perempuan itu tampak tak malu-malu turut bergabung dengan ibu-ibu lainnya. Membincangkan diskon belanja online yang bahkan harganya jauh lebih tinggi dari jumlah uang dalam sakunya sekarang. Melihat rentetan perhiasan yang dikenakan ibu-ibu itu meskipun dia tahu hanya gelang karet pengikat minyak goreng yang melingkar di tangannya. Membicarakan bedak bermerek yang konon membuat kulit putih kendati dirinya tak pernah sekalipun melihat macam apa bedak itu.
Dilihat dari jauh pun, orang-orang sudah banyak tahu jika perempuan itu berbeda dengan ibu-ibu lainnya. Dia tidak datang dengan mobil sedan yang diparkir berjajar di depan sekolah. Hanya kedua kakinya yang bengkak berjalan terseok-seok menjemputku pulang sekolah. Sengaja, aku tak langsung menghampirinya. Kutatap perempuan itu sampai kujumpai wajah iri dari dirinya akan kemewahan yang dipamerkan ibu-ibu lainnya. Namun, hingga kakiku kesemutan, aku sama sekali tak menjumpai wajah iri dalam gurat perempuan itu.
“Mamak!” panggilku pada perempuan itu setelah capai kaki menunggu wajah iri yang tak kunjung ditampakkannya.
Dia menoleh ke arahku sambil melemparkan senyum. Aku berlari mendekatinya, lalu tangan kasarnya memeluk tubuhku hangat.
“Aku rasa kau lapar, Din. Bagaimana jika kita pergi ke warung nasi Mak Ida dahulu?” tanyanya sembari melebarkan senyum.
Aku mengangguk setuju. Sedetik kemudian, dia menggandeng tanganku dan mengajakku menyeberang jalan menuju warung nasi. Tampak, deretan lauk-pauk yang membuatku menelan ludah membayangkan bagaimana lezatnya masakan itu saat berpadu dengan sepiring nasi hangat.
“Mak, satu nasi dengan ayam dan sayur nangka, ya?” pesan Mamak pada Mak Ida.
Mak Ida tersenyum dan mengangguk. Dengan cekatan, tangannya menyiduk nasi dari bakul besar. Tidak menunggu lama, pesanan Mamak pun datang dibawa seorang pelayan berkaus hitam ke meja tempatku duduk.
“Makanlah, Din! Mamak sudah makan tadi. Adikmu juga sudah kenyang. Sekarang, dia masih tidur,” kata Mamak kemudian.
Aku begitu benci dengan perkataan Mamak barusan. Sudah makan? Bukankah dia baru saja selesai dari pekerjaan mencuci baju? Kapan dia makan? Namun, aku tak berani menanyakan hal itu pada Mamak. Suaraku seolah-olah terhenti di ujung bibir, disergap rasa pilu lantaran melihat senyum Mamak yang dipaksakan.
Entah sampai kapan Mamak akan seperti ini. Ia selalu tersenyum saat menatap wajah anaknya. Padahal, jelas-jelas kutahu bahwa Mamak sering menangis setiap kali selesai sembahyang. Tangannya menengadah ke atas begitu lama. Mulutnya terus melafalkan doa-doa, sedangkan matanya tak berhenti mengucurkan air mata. Mamak terus merayu Tuhan agar anaknya kelak tak bernasib seperti dirinya.
Nasib Mamak sekarang bisa dibilang seperti pepatah “habis jatuh tertimpa tangga pula”. Dari cerita yang pernah kudengar, Mamak dahulu adalah biduan organ tunggal yang digandrungi banyak lelaki. Senyumnya indah, wajahnya cantik berseri, rambutnya panjang digerai. Suaranya mengalun syahdu bersanding dengan dengung musik dari pengeras suara. Hampir saban hari Mamak mendapat tawaran bernyanyi dari satu panggung ke panggung lainnya.
Bersama kelompok organ tunggalnya, Mamak menekuni pekerjaannya senang hati. Nama Mamak dikenal banyak orang. Poster-poster bergambar wajah Mamak yang tersenyum manis kerap kali tertempel di pagar warung-warung angkringan. Lagu-lagu Mamak diputar di radio “Dendang Rakyat” setiap jam sepuluh pagi. Laki-laki tak pandang tua maupun muda beramai-ramai datang ke warung angkringan, memesan kopi hitam sepahit mungkin, lantas meminumnya sembari mendengarkan suara Mamak dari ujung radio.
Sejenak, kaum lelaki itu meninggalkan pekerjaan mereka. Cangkul dibiarkan mematung di antara rumput liar yang makin tinggi. Adapun tukang ojek menolak penumpang yang minta diantar ke pasar, tukang sayur rehat keliling kampung meski ibu-ibu telah menantinya penuh harap, tukang cukur nekat meninggalkan pelanggannya yang duduk terkantuk-kantuk sebelum proses cukur selesai, sampai-sampai bengkel sepeda pun mendadak tutup hingga siaran radio itu rampung. Mereka tak ingin ketinggalan menikmati lagu-lagu Mamak yang telah mereka hafal luar kepala.
Saking terkenalnya, sampai-sampai Mamak mulai dibenci banyak orang yang utamanya adalah kaum ibu. Entah karena iri dengan kecantikan Mamak atau memang mereka tak suka dengan musik organ tunggal yang saban hari menelisik ke telinga mereka. Beramai-ramai, ibu-ibu itu mengusir Mamak dari rumahnya, membiarkan Mamak pergi seorang diri dengan menyisakan rumah kecil yang barangkali sekarang telah dihuni hantu.
Mamak berjalan terseok-seok, mengarungi malam yang beberapa jam lagi akan dicumbu langit fajar. Digendongnya tas besar berisi pakaian manggungnya karena memang itulah harta satu-satunya yang Mamak miliki. Saat Mamak merasa tak kuat dengan kakinya yang makin bengkak, beruntunglah seorang laki-laki berwajah datar menghampiri Mamak. Dia mengajak Mamak singgah di rumahnya.
Tak ada pilihan lain, tawaran laki-laki itu bak oase bagi Mamak saat kehausan telah berkecamuk di tenggorokannya. Napas Mamak megap-megap. Bibirnya begitu kering. Tubuhnya lunglai ingin segera merebah di atas kasur. Laki-laki itu begitu baik dan merawat Mamak hingga sembuh. Ia menemani Mamak di rumahnya dengan penuh canda dan sering kali membuat pipi Mamak bersemu merah.
Hingga pada akhirnya, laki-laki itu menikah dengan Mamak. Mamak merasa jika keputusan yang diambilnya saat itu adalah gerbang kebahagiaannya. Dengan begitu, Mamak akan mudah meninggalkan masa suramnya, melupakan tatapan kesetanan dari orang-orang yang mengusirnya dulu. Namun, ternyata Mamak salah besar. Supardi, laki-laki yang menikahi Mamak itu tak ubahnya seorang pengangguran kelas kakap. Mamak tak begitu menyadarinya karena sebelum menikah dia selalu pamit bekerja. Usut punya usut, laki-laki berwajah datar itu malah duduk bermalas-malas di warung angkringan sepanjang siang.
Sejak saat itu, Mamak banting tulang menjadi buruh cuci. Jika musim hujan tiba, Mamak menawarkan jasa payung ungunya pada pekerja kantor yang sering kali tak sempat membawa payung sendiri. Lima ribu rupiah tiap satu kali pinjam. Tangan Mamak sekarang begitu kasar. Sabun colek dengan sikat kain itu yang telah merusaknya. Wajah Mamak hilang cantiknya. Begitu pula dengan tubuh Mamak yang berangsur kurus karena sering kali mengalah tak makan jika uang yang dimilikinya pas-pasan.
Pernah suatu kali, Mamak ditawari bergabung lagi dengan kelompok organ tunggalnya dulu. Dengan begitu, mungkin hidup Mamak akan lebih baik dari sekarang. Dia tidak akan lagi berkecimpung dengan segunduk pakaian kotor dan tali-tali jemuran yang diikatnya di antara pohon nangka dan pohon jambu. Alih-alih diterima, tawaran itu justru membuat Mamak muntab. Mamak menolaknya mentah-mentah dengan mengeluarkan jurus bibirnya : berbicara dengan intonasi secepat mungkin.
“Hai Darmaji! Kau kira zaman sekarang dan dahulu sama, hah? Sekarang, aku sudah punya anak laki-laki. Apa jadinya jika dia melihatku berjoget di atas panggung dengan rok setinggi paha sementara di bawahnya laki-laki turut berjoget ria? Mau jadi apa anakku, hah?” Begitulah jawaban Mamak. Belum sempat Darmaji membuka mulutnya, Mamak kembali menyambung.
“Anak laki-lakiku nanti akan jadi orang hebat! Dia akan bekerja di kantor yang daun pintunya bukan dari kayu, melainkan dari kaca! Kau mengerti?” gertak Mamak pada Darmaji. Darmaji mangut-mangut dan pamit pergi.
Hingga kini, Mamak tak pernah menyesal menolak tawaran Darmaji kala itu. Baginya, melihatku tumbuh besar di bawah asuhan tangan kasarnya adalah kebahagiaan sejati. Aku tahu jika Mamak selalu berdoa agar Bapak berubah menjadi laki-laki bertanggung jawab. Namun, Bapak sekarang masih sama saja seperti dulu. Ia pulang jika perlu uang saja dan mengambil paksa uang Mamak yang disimpan dalam dompetnya. Bila tak diberi, membirulah tubuh Mamak lantaran pukulan kayu rotan. Itulah sebabnya mengapa aku selalu mencari wajah iri Mamak. Di bagian mana ibu-ibu itu membuat Mamak iri? Aku ingin menyumpal mulut-mulut mereka, tapi tidak ada. Wajah Mamak selalu tersenyum.
***
“Benar kan kata Mamak, kau memang lapar. Kurang dari lima menit nasimu sudah habis, Din,” kata Mamak sambil mengelus rambutku kembut.
Aku meringis dan menunjukkan gigi keroposku pada Mamak. Selesai makan, Mamak mengajakku pulang ke rumah. Rintik hujan telah menyambut kami di sepanjang perjalanan. Sebelum berubah menjadi hujan deras, aku dan Mamak memacu langkah agar cepat sampai. Entah mengapa Mamak tak ingin berdiri di depan kantor, menunggu orang-orang yang akan pergi, dan menawarkan jasa payungnya.
“Mamak ingin menemani kau belajar,Din.”
Begitulah jawaban Mamak setelah kutanya. Rumah kami terletak di ujung gang. Begitu kumuh sampai petugas sensus pun bergidik ketika masuk ke perumahan tempat kami tinggal. Sesampai di rumah, aku kembali berjibaku dengan tulisan-tulisan yang begitu memusingkan. Mamak duduk di sampingku. Matanya terpejam. Tampaknya, Mamak tertidur karena kelelahan.
Kutatap wajah Mamak lebih dekat. Benar-benar tidak ada wajah iri di sana. Kuperhatikan lagi sampai pada guratan terkecil, tapi yang kutangkap hanya wajah lelah. Wajah lelah itu tampak disembunyikan di bagian yang orang-orang tak akan tahu ketika menatapnya. Perempuan bertangan kasar itu memang pandai menyembunyikan lelahnya. Entah ada berapa orang macam Mamak di dunia ini. Orang yang tahu jika aku lapar tanpa mendengar suara perutku keroncongan. Orang yang tahu jika aku mengantuk tanpa melihatku menguap. Orang yang rela meninggalkan mimpinya menjadi penyanyi. Aku rasa, orang seperti Mamak memang hanya ada satu. Dialah Mamak itu sendiri.
Biodata Penulis:
Eva Anastian lahir di Magelang, Jawa Tengah. Tercatat sebagai siswa di salah satu MA negeri di Magelang dan telah menginjak tahun terakhir. Ia berkecimpung dalam dunia menulis sejak tahun 2017. Karyanya tergabung dalam beberapa buku antologi cerpen dan telah berhasil menjuarai beberapa lomba cerpen. Saat ini, penulis tengah menyusun mimpi untuk menerbitkan buku solonya.
Discussion about this post