Oleh: Elly Delfia
(Dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana tentang buku Ramuan Penangkal Kiamat (RPK) karya Zelfeni Wimra. Buku setebal 153 halaman yang terbit Januari 2021 ini memuat 19 cerpen, di antaranya “Bila Jumin Tersenyum”, “Madrasah Kunang-Kunang”, “Ramuan Penangkal Kiamat”, “Rumah Berkucing Lapar”, “Rentak Kuda Manggani”, dan lain-lain. Sembilan belas cerpen ini mengangkat tema yang berbeda-beda. Masing-masing tema memiliki keunikan yang bergayut pada beragam permasalahan sosial berkaitan dengan identitas Islam dan ke-Minangkabau-an. Permasalahan sosial tersebut menarik dibicarakan dengan pendekatan analisis wacana kritis, seperti pernyataan Norman Fairclough bahwa permasalahan sosial atau penyimpangan sosial merupakan modal utama kajian analisis wacana kritis (Fairclough, 2013).
Sekilas tentang Ramuan Penangkal Kiamat
Cerpen-cerpen dalam RPK tidak hadir sebagai sebuah kisah semata, tetapi hampir semua cerpen sarat dengan permasalahan sosial, agama, budaya, adat-istiadat, dan sejarah meskipun sejarah dihadirkan dalam bentuk kepingan-kepingan yang tidak utuh karena bukan menjadi fokus utama penceritaan. Agama dan adat-istiadat juga disuguhkan dengan cara pandang yang lain daripada biasanya. Secara umum, dapat ditarik benang merah dari kesamaan tema di antara sembilan belas cerpen dalam RPK. Kesamaan tema tersebut, yaitu 1. Melemahnya kuasa adat dan agama (Kopiah yang Basah, Rumah Berkucing Liar, dan Ramuan Penangkal Kiamat), 2. Pendidikan dan cita-cita (Bila Jumin Tersenyum, Madrasah Kunang-Kunang, dan Guru Nalu), 3. Kisah cinta dan suka-duka menjalani hari tua (Dua Keping Kisah Pikun, Rentak Kuda Manggani, Gadis Bermata Gerimis, Tukang Beri Makan Kucing, serta Tuan Alu dan Nyonya Lesung), 4. Konflik berlatar sejarah (Ramuan Penangkal Kiamat dan Si Mas yang Pendusta), 5. Kegagalan di perantauan (Air Tanah Abang dan Diri ingin Pulang), 6. Mitos dan Perdukunan (Sepasang Lidah Murai dan Rendang Kumbang), 7. Bakti anak kepada orang tua (Urat Leher Burhan dan Sihir Batu Bata).
Sembilan belas cerpen ini dikelompokkan menjadi tujuh tema yang sama namun hampir semuanya menyebutkan latar tempat atau lokasi daerah-daerah di Minangkabau, khususnya daerah darek, seperti Payakumbuh, Koto Tinggi, Suliki, Batu Ampa, dan lain-lain. Beberapa cerpen menyebutkan Jakarta, Tanah Abang, Bandung (Tanah Pasundan), Yogya, Bali, dan Papua sebagai latar perantauan tokoh-tokoh. Ini menjadi bukti bahwa penulis-penulis Minangkabau, termasuk Zelfeni Wimra terikat kuat dengan tanah kelahiran dan rantau yang membesarkan mereka. Terlepas seperti apa pun cara mereka mengeksplorasi berbagai peristiwa dan kejadian dalam cerita.
Selanjutnya, tema-tema dalam RPK disampaikan dengan gaya penceritaan yang ringan dan mengalir, sekali-sekali diselingi lelucon yang membuat pembaca tersenyum simpul, seperti persoalan gigi palsu dalam cerpen “Bila Jumin Tersenyum”. yang terkesan remeh, tetapi sungguh berarti bagi seorang penceramah dan jamaah yang mendengarnya. Ceramah tidaklah menarik jika penceramah kehilangan senyum. Sebelum mendengarkan materi tentang agama, orang yang menyampaikan ajaran agama harus menyenangkan untuk dilihat. Hal ini mengingatkan kita pada profesi guru, dosen, motivator, artis, pejabat, dan publik figur yang dituntut untuk selalu tersenyum di depan orang banyak. Selain itu, cerpen Rendang Kumbang juga menyuguhkan lelucon yang satire dari perasaan cemburu Marini terhadap Marina, saudara kembarnya.
Selain gaya penceritaan yang ringan dan mengalir, tema-tema juga disampaikan dengan bahasa menarik dan kalimat yang bertabur metafora bahasa Minangkabau. Penulis betul-betul menyadari akan manfaat bahasa dalam bercerita. Wellek dan Warren (1995:217) menyebut bahasa merupakan bahan mentah yang menjadi kekuatan utama bagi sastrawan dalam menulis.
Metafora mempunyai pengertian sebagai bahasa yang memiliki empat unsur dasar, yaitu 1) analogi, 2) visi ganda, 3) citra indriawi yang mengungkapkan hal-hal tidak terlihat, 4) proyeksi animistis (Wellek dan Warren, 1995:253). Kemudian, Keraf (2008:139) menyebut metafora sebagai analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Cerpen-cerpen dalam RPK tidak hanya menggunakan kata-kata biasa, tetapi juga menggunakan kata-kata analogi. Kata-kata tersebut membutuhkan interpretasi dengan bekal pengetahuan yang cukup tentang Minangkabau. Pembaca yang bukan orang Minangkabau atau yang tidak memahami adat-istiadat Minangkabau, barangkali akan kesulitan dalam memahami metafora-metafora tersebut, seperti yang terlihat dalam penggalan cerpen-cerpen berikut.
Cerpen “Madrasah Kunang-Kunang”
“Perbedaaan tikus dan tupai sudah bisa diketahui sejak masih kecil hanya dengan memperhatikan bentuk ekornya. Kalau diperhatikan kepalanya, kita berpeluang salah duga” (Wimra, 2021:7).
Cerpen “Kopiah yang Basah”
“Gelar penghulu itu dijunjung tinggi ke pundaknya melalui perhelatan agung. Seekor kerbau jantan besar disembelih untuk pengukuhan gelar tersebut. Ia telah ditinggikan seranting, didahulukan selangkah” (Wimra, 2021:21).
Cerpen “Ramuan Penangkal Kiamat”
“Bilakah agama itu tidak murni? Lantas kotoran apa yang membuat agama itu menjadi ibarat susu sebelanga yang ditetesi nila (setitik),” Amai Tuo kerap mengomel sendiri(Wimra, 2020:67).
“Kata Amai Tuo, orang-orang telah bertekad, tidak akan diizinkan satu ekor ikan di kolam pun mati tanpa alasan (Wimra, 2021:70).
Cerpen-cerpen di atas menggunakan analogi tikus dan tupai, ditinggikan seranting, di dahulukan selangkah, ikan mati di kolam, nila setitik dan susu sebelanga yang bukan mencerminkan maksud sebenarnya atau metafora. Selain metafora, RPK juga menggunakan diksi-diksi yang kental dengan nuansa agama (Islam) dan diksi dari bahasa Minangkabau, seperti kata buya, penceramah, madrasah, pengajian, hadits, nabi, surau, berkaul, sauk, anak semang, induk semang, Amai Tuo, Amai Gaek, Pak Gaek, nagari, berkelotek, ketiding, kerambik, rangkiang, beleter, dan lain-lain yang tersebar pada beberapa cerpen, seperti penggalan cerpen berikut:
Cerpen “Madrasah Kunang-Kunang”
“Sungguh benar apa yang engkau cemaskan dulu itu, Buya. Mengutip sebuah hadits, engkau berwasiat:di zaman yang jauh dari nabi, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, orang- orang yang mengaku umat Muhammad akan digiring ke lubang biawak. Orang-orang tiada menolak. Apakah karena orang-orang itu sedikit jumlahnya? Tidak! Ketika itu justru mereka sangat banyak.” (Wimra, 2021:10)
Dari segi tema, persoalan adat dan agama menjadi kekuatan cerita dalam RPK. Kekuatan ini didukung dengan bahasa yang penuh metafora dan penggambaran latar yang kuat dengan narasi apik, seperti yang terlihat dalam cerpen “Rentak Kuda Manggani” dan “Gadis Bermata Gerimis”
“Seharusnya tidak ada lagi kenangan dan tidak ada ingatan tentang perempuan beraroma cengkih itu. Tidak ada lebat bayangannya menunggangi kuda berbulu daun pinus gugur, menyisiri jalan setapak di lereng-lereng bukit Manggani” (Wimra, 2021:89).
“Di puncak bukit itu, demi membebaskan diri dari rasa bersalah, aku putuskan kembali ke sana, ke Manggani. Aku terbang dari Jakarta ke Padang. Lalu, menaiki bus Sinamar yang langsung mengantarku ke Koto Tinggi. Dari Koto Tinggi, aku harus menyewa ojek ke Manggani, berhenti di Bukit Putus sesuai janji (Wimra, 2021:91).
“Setelah memutuskan urusan dengan kampus dan Yayasan Bung Hatta, pemberi beasiswa kuliahku, aku langsung mengurus keberangkatan dari Bandung-Jakarta-Padang. Dari Padang melakukan perjalanan darat dengan bus ke Payakumbuh. Turun di Simpang Batu Ampa, lalu naik ojek ke alamat yang kini ditempati Nek Gadis” (Wimra, 2021:110).
Latar yang digunakan juga kuat dan jelas. Pembaca seolah diajak menyusuri jalan-jalan dan lokasi yang terdapat dalam cerita. Pembaca seolah membayangkan perjalanan yang ditempuh tokoh-tokoh dalam cerita. Diksi-diksi yang digunakan berhasil menyentuh imajinasi pembaca saat latar dinarasikan oleh penulis.
Ramuan Penangkal Kiamat dan Analisis Wacana Kritis
Selain bahasan mengenai tema, latar, dan bahasa, RPK juga dapat dibahas dengan pendekatan analisis wacana kritis (critical discourse analysis). Analisis wacana kritis, khususnya linguistik kritis (critical linguistik) melihat konflik-koflik dan permasalahan sosial yang ada dalam teks, termasuk permasalahan sosial yang ada dalam teks sastra. Linguistik kritis memandang bahasa sebagai praktik sosial, melalui mana kelompok sosial atau suatu kelompok masyarakat memantapkan dan menyebarkan ideologinya (Eriyanto, 2001:133).
Linguistik kritis meletakkan kosakata dan tata bahasa serta pemakaiannya untuk mengungkap praktik ideologi dan penyimpangan sosial yang ada dalam sebuah teks. Konflik dan penyimpangan sosial ini bisa berkaitan dengan kebudayaan, adat-istiadat, politik, agama, dan sebagainya. Pandangan linguistik kritis ini diperkenalkan oleh Roger Fowler, dkk. dari Universitas Anglia, Inggris dengan buku yang berjudul Language and Control yang diterbitkan pada tahun 1979. Fowler dkk. berpijak pada penjelasan MAK Halliday yang menjelaskan teks dengan melihat struktur dan fungsi bahasa. Menurut Fowler (2001:135), kosakata memiliki empat kontrol dalam wacana, yaitu 1) kosakata membuat klasifikasi bagaimana seharusnya realitas dipahami, 2) kosakata membatasi cara pandang dalam memaknai sebuah peristiwa karena sebuah peristiwa berkaitan dengan rentetan peristiwa yang lainnya, 3) kosakata merupakan pertarungan wacana untuk memenangkan opini publik, dan 4) kosakata memarjinalisasi satu pihak atau mengucilkan satu pihak untuk membela pihak yang lain. Jadi, kosakata dan tata bahasa mempunyai peran penting dalam menjelaskan penyimpangan sosial dala teks sastra.
Kosakata merupakan satuan bahasa paling kecil dan bermakna yang membangun teks sastra. Keberadaannya tidak bisa dianggap receh. Kosakata yang digunakan dalam teks sastra merupakan cermin identitas sosial dan ideologi pengarang sebagai pencipta karya sastra. Kosakata tidak hanya kosong belaka, tetapi membawa implikasi dan mengandung muatan sosial dan ideologi tertentu dari pengarang sebagai anggota suatu kelompok masyarakat. Demikian halnya dengan kosakata yang digunakan dalam RPK. Semuanya mengandung implikasi sosial dari masyarakat Minangkabau yang melatarbelakangi cerpen-cerpen dalam RPK.
Empat kontrol kosakata dalam linguistik kritis seperti yang disampaikan Fowler dapat dilihat dalam cerpen “Ramuan Penangkal Kiamat”, “Rumah Berkucing Lapar”, dan “Si Mas yang Pendusta”. Cerpen “Ramuan Penangkal Kiamat” dan “Rumah Berkucing Lapar” cukup menyentak dan mengejutkan. Kosakata mengontrol cerita dan membuat persepsi baru yang dapat memengaruhi opini publik dalam kedua cerpen ini. “Ramuan Penangkal Kiamat” bukan hanya kisah ramuan tanah tebing dicampur merica dan pecahan kaca yang dibuat Amai Tuo untuk melindungi Amai Gaek, tetapi lebih dari itu. Ada catatan sejarah yang menyimpang dari pemahaman umum yang terdapat dalam cerpen ini. Cerpen ini membawa ingatan pembaca kepada sejarah Perang Paderi yang disebabkan oleh disharmonis antara kaum adat dan agama.
Dalam sejarah, kelompok agama mengalami pertentangan dengan kaum adat. Kelompok agama dianggap pahlawan karena berhasil mengusir penjajah dari tanah Minangkabau. Sementara itu, dalam “Ramuan Penangkal Kiamat”, kelompok saudagar dari tanah para nabi dan anak muda yang disebut melakukan pemurnian ajaran agama Islam disebut menyerang pedagang dan menimbulkan kekacauan dalam Nagari. Kosakata yang dirangkai dalam bentuk kalimat menimbulkan interpretasi baru yang berpeluang untuk menggiring opini publik tentang kelompok agama (berkemungkinan kelompok Paderi) sebagai pihak yang melakukan kekerasan untuk menegakkan ajaran agama.
“Itu kali kedua ia diminta berdoa oleh Amai Tuo. Sebelumnya ialah ketika Pak Gaek. Malin_suami Amai Tuo belum pulang pada waktu yang dijanjikan, sedangkan dari mulut ke mulut, tersiar kabar amuk perang tidak terelakkan di perbatasan nagari, Di ujung sebuah pendakian, rombongan pedagang Pak Gaek berhadap-hadapan dengan segerombol pendekar kampung yang telah termakan hasutan para saudagar dari tanah kelahiran para Nabi“ (Wimra, 2021:66).
Lalu, cerpen “Rumah Berkucing Lapar”, agama (Islam) juga diinterpretasikan lain dan berbeda dari konsep ideal. Perilaku Paman Haji sebagai guru agama, penceramah, orang yang sudah menunaikan ibadah haji, tidak mencerminkan ajaran Islam yang seharusnya menjadikan ia sebagai teladan. Pada bagian ending cerpen, disebutkan bahwa peristiwa kehilangan lauk atau makanan dikisahkan di dalam cerpen ternyata pelakunya adalah Paman Haji, bahkan ia juga “mencuri” ke dalam kamar adik iparnya sendiri.
Kisah pelaksanaan Islam yang dilakukan secara radikal seperti yang disebutkan dalam cerpen “Ramuan Penangkal Kiamat” dan penyimpangan perilaku Paman Haji sebagai guru agama mungkin bisa saja terjadi di mana pun. Namun, kisah ini tidak bisa menjadi legitimasi atau pembenaran tentang tidak baiknya ajaran Islam di Minangkabau yang menjadi latar cerpen karena Islam lekat dengan identitas sosial masyarakat Minangkabau yang dikenal dengan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.
Persoalan agama menjadi salah satu sisi yang diekspos penulis dalam RPK dan bisa dijelaskan dengan pendekatan linguistik kritis. Ada penyimpangan sosial dan ada penyimpangan dalam pelaksanaan ajaran Islam, seperti yang terdapat dalam “Ramuan Penangkal Kiamat” dan “Rumah Berkucing Lapar”. Persoalan ini akan menjadi bacaan yang menarik, bahkan tidak tertutup kemungkinan menjadi topik empuk untuk dipertanyakan oleh pihak-pihak yang kontra terhadap Islam dan Minangkabau tentang idealisme dan identitas sosial masyarakat Minangkabau.
Selanjutnya, cerpen “Si Mas yang Pendusta” mengisahkan kelompok perempuan Minangkabau yang mengalami diskriminasi hingga pemerkosaan pada peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
“Aku sudah mendengar, kalau bertemu patroli malam hari, pilihannya cuma dua:tembak di atas atau tembak di bawah. Aku juga sudah tahu, belum ada perempuan yang ditembak di atas. Yang sering terjadi, tembak di bawah. (Wimra, 2021:85).
Penggalan cerpen ini merupakan fakta sejarah yang pernah membuat perempuan Minangkabau sebagai kelompok yang pernah termarjinalkan, menjadi objek kekerasan, dan perkosaan pada peristiwa PRRI. Hal itu dapat dilihat dari penggunaan kosakata yang digunakan untuk membangun kalimat di atas. Di dalamnya, terdapat ideologi atau keyakinan yang menjadi pemahaman kolektif masyarakat Minangkabau berkaitan dengan sejarah kelam yang pernah dialami perempuan Minangkabau masa itu.
Pesan ideologi itu disampaikan melalui klausa “kalau bertemu patroli malam hari, pilihannya cuma dua: tembak di atas atau tembak di bawah”. Kosakata tembak di atas, tembak di bawah merupakan tragedi menyakitkan dan mencederai kehormatan yang pernah dialami perempuan Minangkabau di tengah masyarakat yang menganut sistem matrilineal. Perempuan yang seharusnya dihormati dan dimuliakan mengalami kekerasan, perkosaan, dan ketidakadilan pada masa itu. Penyimpangan sosial dengan pendekatan linguistik kritis dilihat dari penggunaan kosakata yang menjelaskan peristiwa tidak ideal dan menyimpang dalam masyarakat Minangkabau di masa lalu.
Akhir kata, RPK layak jadi objek penelitian skripsi ataupun tesis, baik dengan pendekatan analisis wacana kritis, sastra, budaya, dan sejarah karena sarat dengan persoalan sosial yang tidak ideal dalam keseharian masyarakat Minangkabau, perantauan, dan lain-lain.