
Rumah Tanpa Pintu
Oleh Indri Rahmadani
Di kota ini yang jauh dari ragamu
Aku belajar berhitung dengan bintang di langit
Menata hidup baru versi terbaik
Dan menulis alamat baru
Aku tak pernah tahu bahwa kini akan jadi tempat pulangku
Dulunya, pulangku disambut dengan wajahmu yang tenang
Namun kini hanya sisa bayangan di memoriku
Di kamar sempit tanpa suara dan gelak tawamu
Seakan menyesakkan ulu hatiku
Rumah…
Bukan aku yang tak ingin pulang
Hanya saja jalanku kini yang menahan ragaku
Setiap kali ada hasrat ingin pulang
Raga ini seakan dikunci di ruangan sunyi tanpa ada pintu
Yang harus ku ketuk
Luka Berbuah Cahaya
Oleh Indri Rahmadani
Dulu aku hanyalah pecahan hati
Yang menyulam air mata di balik senyum palsu
Aku pernah jatuh ke jurang yang sangat dalam
Meninggalkan luka lara sampai dunia enggan memelukku
Dulu aku percaya cinta adalah tempat berteduh dari hujan
Nyatanya ia berubah menjadi badai yang membutakan
Ada lelaki yang datang sebagai pangeran
Namun berubah menjadi manusia yang paling kejam
Awalnya ku mengira lelaki semua serupa
Penebar janji manis di awal
Perusak harapan di akhir
Setiap tatapan lelaki membuatku kembali takut bernapas
Kembali mengingat malam saat isak tangisku yang tak bersuara
Aku berjalan sendiri dan tak percaya genggaman siapapun
Kupikir kisahku telah tamat pada babak paling kelam
Tanpa hadirnya ending bahagia bak cerita dongeng
Namun semesta mengirim kejutan
Di waktu aku tak lagi berharap apa-apa
Kau datang… bukan untuk memaksa percaya
Melainkan menjadi alasan kenapa
Aku masih layak mencintai dan dicintai
Kau tunjukkan ada cahaya di balik kelamnya kisahku
Kau berkata, “Luka itu bukan salahmu.”
Dan untuk pertama kalinya
Aku percaya kalimat itu bukan sekadar penenang
Bersamamu, aku belajar berdiri tanpa takut diremehkan
Belajar tersenyum tanpa takut dikhianati
Kini aku sedang sembuh
Tidak sempurna, tapi menuju pulih
Kau jadi cahaya di sela kegelapan
Dan aku akhirnya berani memilih keluar dari kegelapan itu
Kini aku menjadi perempuan yang beruntung
Dan mendapat cinta yang manusiawi
Padang, 2025
Kejamnya Warna Pink
Oleh Indri Rahmadani
Kau bilang aku lembut
Seolah perempuan hanya pantas menjadi pemanis
Diam, cantik, dan penurut pada setiap perintah busuk
Namun kau tak pernah lihat sisi lainku
Betapa warna pink bisa berubah buas
Menyimpan darah pekat dari goresan luka
Yang dunia malam coba rahasiakan begitu saja
Dalam gelap kota durjana
Tubuh-tubuh perempuan diburu
Harga diri dipreteli tanpa izin
Suara mereka dipaksa tenggelam di lalu-lalang yang bising
Kau anggap semua hanya hiburan semata
Padahal ada jiwa yang dirusak
Ada tangis perih yang tak bersuara
Aku muak
Pada tangan-tangan kotor yang merasa suci
Pada mata keranjang yang jelalatan
Pada mulut yang menusuk lewat kata
Kejamnya warna pink ini
Tak lagi manis seperti yang kau kira
Kini ia menyala seperti merahnya api
Siap membakar segala bentuk nista
Aku bukan boneka untuk dunia kau mainkan
Aku adalah badai yang akan menghantam
Setiap wajah yang pernah menginjak harkatku
Lihat!
Warna pink yang katanya lembut ini bangkit
Menuntut haknya yang direnggut paksa
Menolak menjadi korban pilu selamanya
Aku akan bersuara nyaring dan lantang
Aku akan berdiri lebih tinggi
Kini pink tak lagi sabar
Ia akan berjuang untuk hidup damai di dunia gila ini
Padang, 2025
Hati, Mulut, Tangan
Oleh: Indri Rahmadani
Hati mulut tangan
Tiga bagian yang seharusnya berjalan beriringan
Namun kini terpisah oleh jarak yang jauh
Di tubuh mereka yang mengincar kekuasaan
Mulut mereka manis tak ketulungan
Berjanji surga di atas kepedihan neraka
Mengaku peduli pada rakyat kecil
Padahal niat sejatinya kian licik dan kelam
Hati berkata ingin mengabdi
Namun apakah hati itu masih berfungsi dengan benar?
Sebagian dari mereka hanya bersandiwara
Menghafal empati tanpa pernah merasa
Tangan mereka menggenggam janji
Tapi jarang sekali ditepati
Ketika kursi sudah diduduki
Rakyat yang dulu dijanjikan, kini tak dianggap kehadirannya
Poster-poster tersenyum di sepanjang jalan
Mata mereka seolah penuh kebaikan
Namun apa artinya senyum lebar
Jika nyatanya tak mampu menjaga amanah yang dijanjikan?
Hati mulut tangan
Jika tak sejalan, lahirlah pengkhianatan yang kejam
Rakyat kembali menanggung sengsara
Karena terlalu percaya pada kata-kata buaya penguasa
Semoga ada pemimpin yang benar-benar satu
Hati yang tulus
Mulut yang jujur
Tangan yang benar bekerja tanpa menunggu sorak tepuk
Saat hari itu tiba
Rakyat tak lagi tertipu daya suara manis belaka
Dan kepercayaan bukan lagi sekadar taruhan
Melainkan kenyataan bagi masa depan kelak
Padang, 2025
Juli yang Pilu
Oleh: Indri Rahmadani
Juli, angin soremu membelai lembut ragaku
Memberi rasa enggan ingin berpamitan
Hari yang sangat dinantikan
Kian menjadi memori bersejarah bagiku
Tatapan sendu mama, bagai bius yang melumpuhkan
Hati ingin kuat menahan
Namun akhirnya berkhianat
Air mata tumpah tanpa diminta lalu membasahi perpisahan
Dan meninggalkan jejak abadi di kalbuku
Padang, 2024
Biodata Penulis:
Indri Rahmadani perempuan kelahiran Duri, 06 Oktober 2005. Ia merupakan
mahasiswi Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas dan dapat disapa lebih lanjut di akun instagramnya @indriirhmdnii







