
Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Saya sering bangun tergesa, seolah pagi datang lebih cepat dari dugaan. Waktu terus berjalan seperti biasa, tak peduli apakah saya siap atau belum. Rutinitas sudah menanti di depan pintu, menagih perhatian yang sering tertunda. Namun langkah saya kerap melambat, tertahan oleh kebiasaan kecil yang menyebabkan terlambat lagi.
Kebiasaan terlambat bukan sekadar soal waktu yang terlewat. Ia menunjukkan bagaimana cara mengatur diri dalam keseharian. Sering kali keterlambatan muncul dari hal-hal kecil yang ditunda, seperti menambah waktu istirahat atau menahan diri sebelum mulai bergerak.
Yang sering terjadi, saya mencari alasan untuk menutupi kebiasaan terlambat. Kadang salahkan hujan atau macet, kadang bilang alarm tidak berbunyi. Semua alasan itu terdengar logis. Padahal, kebiasaan terlambat sering tumbuh dari sikap meremehkan waktu.
Terlambat juga sering meninggalkan jejak yang tidak nyaman. Saat terlambat dalam suatu pertemuan, saya harus menanggung tatapan “tajam” teman-teman. Gangguan kecil itu memotong fokus semua orang, termasuk saya. Dari situ saya belajar bahwa terlambat bukan hanya soal datang belakangan, tetapi juga soal menghargai waktu dan suasana yang sedang berjalan.
Mengurangi kebiasaan terlambat memang tidak mudah. Namun, memulai dengan langkah sederhana seperti menepati satu janji bisa memberi perubahan. Setiap kali saya datang tepat waktu ada rasa lega dan nyaman yang muncul, seolah berhasil menguasai waktu sendiri. Perlahan kebiasaan kecil itu akan menuntun saya menjadi disiplin.
Lambat laun, kebiasaan tepat waktu akan terasa lebih alami. Saya mulai terbiasa memulai hari dengan teratur, langkah lebih ringan, dan pikiran lebih tenang. Bahkan rutinitas yang dahulu terasa membebani, kini bisa dijalani dengan lebih lancar. Dan tanpa sadar, menghargai waktu menjadi bagian dari cara hidup.
Tepat waktu bukan sekadar soal jam atau tekanan orang lain. Ia adalah bentuk penghargaan pada diri sendiri dan orang di sekitar. Setiap detik yang dihargai memberi ruang hidup lebih penuh, tenang, dan bermakna. Saat langkah tak lagi tergesa, saya sadar bahwa hidup yang tertata bukan hanya nyaman, tapi indah dalam kesederhanaannya.




