Puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara
Alienasi Hidup
Kita hanya seorang pelancong
Yang mengembara segala tempat
Lalu tinggal – termenung
Di tepi ilusi, dan merekam adegan maya
Menangkap perjalanan
Kita cuma seorang pelajar
Yang rindu kampung halaman
“Jangan terlalu cepat memesan kata pulang,” katamu.
Bukankah kita hanya murid yang takut tersesat?
Kita adalah pelancong
Yang merangkap, jadi musafir
Lalu kembali tertegun
Dan merasa terlalu cepat memesan kata pulang.
Tapi haruskah, kita benar-benar takut tersesat? Kurasa iya.
2025
Menduga Laut-Mu
Andai di duga dan aku coba
semua cabar dan rohani kan ada artinya
Janji ku coba, janji ku duga
janji ku coba, janji ku duga
tiap-tiap sukar, tiap-tiap sempurna
tiap-tiap sukar, tiap-tiap sempurna
Kini ku kail nikmat, namun dosa kian dekat
kini ku tangguk bahagia, namun tertampung
derita.
kini ku jala doa, ia menabur pahala
Oh Tuhan,
dan selagi hati belum mati
dan selagi rasa bertapak di dada
dan selagi jiwa mendamba cahaya
dan selagi jasad menuntut nasihat
dan selagi hidup menyelubungi sejahtera
dan selagi itu, Kau ku panggil Yang Maha Esa
2025
Terperangkap Dalam Mitos
Duniaku bongkar-bangkir
ditombak panah kemunafikan!
kerikil-kerikil kaca yang pecah
kupungut bertimpuh darah
menyembah yang tak ingin ditengadah
tiarap yang tak ingin diharap
Duniaku bongkar-bangkir
hangus; mutlak!
seperti kau membariskan bom api
yang disejajar sampai perjanjian awal
meledak dilahap kebohongan
Kini terpaksa kutelan dalam-dalam
di tebing jurang keraguan itu
di carut-marut kebiadaban itu
Harus rela menyerahkan
semua kecaburan, kecentang-perenangan
dan sifat-sifat kebinatangan!
2025
Tentang Penulis
Rifqi Septian Dewantara asal Balikpapan, Kalimantan Timur Mei, 1998. Karya-karyanya tersebar di berbagai media online seperti Media Indonesia, BeritaSatu, Suara Merdeka, Borobudur Writers & Cultural Festival, Bali Politika, Tatkala.co, Selasar Media, dan lain-lain. Buku antologi puisinya berjudul LIKE diterbitkan oleh Pustaka Ekspresi sekaligus meraih Penghargaan Sastra Penyair Favorit Bali Politika 2024. Kini, bergiat dan berkarya di Kota Balikpapan. Bisa disapa melalui Instagram: @rifqiseptiandewantara.
Puisi sebagai Suara Batin dan Cerminan Peradaban
Oleh: Azwar
(Buku Esainya Membaca Sastra Membaca Dunia diterbitkan Penerbit Basabasi 2018)
Pada dasarnya, puisi merupakan suara batin dari seorang penyair yang disampaikan kepada pembaca. Puisi tidak hanya menjadi wadah ungkapan perasaan, tetapi juga menjadi media komunikasi yang khas, di mana bahasa bukan hanya alat, melainkan juga seni. Dalam puisi, kata-kata dipilih dengan penuh pertimbangan estetika dan makna, sehingga mampu menyimpan kedalaman emosional dan pemikiran yang berlapis. Sebagaimana lazimnya, puisi menyimpan makna tersurat maupun tersirat, yang mengisahkan berbagai aspek kehidupan: dari cinta, kehilangan, penderitaan, hingga harapan dan refleksi sosial.
Puisi tak ubahnya cermin peradaban—ia mencatat perjalanan zaman melalui kacamata estetik. Ia mengangkat tema-tema kemanusiaan, nilai-nilai universal, serta problematika sosial dan eksistensial. Dengan demikian, puisi tak sekadar menjadi karya sastra yang indah, tetapi juga menjadi dokumen kultural dan spiritual yang penting.
Sulkifli dan Marwati (2016), dalam artikelnya berjudul “Kemampuan Menulis Puisi Siswa Kelas VIII SMP Negeri Satu Atap 3 Langgikima Kabupaten Konawe Utara” yang dimuat dalam Jurnal Bastra Vol. 1, No. 1, menyebut bahwa puisi adalah bahasa perasaan yang mampu memadukan respons emosional yang mendalam dalam jumlah kata yang terbatas. Menurut mereka, puisi merupakan bentuk pernyataan batin seorang penyair yang lahir dari proses kreatif yang intens, biasanya berangkat dari pengalaman spiritual, sosial, atau kontemplatif terhadap objek seni, yaitu kehidupan, alam semesta, atau bahkan dunia metafisis dan misterius di balik realitas.
Pemikiran serupa diungkap oleh Coleridge (dalam Suryaman dan Wiyatmi, 2013), yang menyatakan bahwa puisi adalah “kata-kata terindah dalam susunan terindah.” Puisi, menurutnya, harus memiliki keseimbangan dan keselarasan unsur, sehingga setiap kata saling terikat dan mendukung satu sama lain dalam satu kesatuan artistik. Gagasan ini menekankan pentingnya struktur dan estetika dalam puisi, tidak hanya dari sisi isi, tetapi juga bentuk.
Sementara itu, Thomas Carlyle menyebut puisi sebagai hasil pemikiran musikal, mengacu pada kemampuan puisi membangkitkan resonansi emosional layaknya musik, dengan irama dan harmoni yang menyentuh perasaan terdalam manusia. William Wordsworth menekankan aspek imajinatif dalam puisi sebagai “pernyataan perasaan yang diangankan”—menunjukkan bahwa puisi adalah produk dari perasaan yang disaring melalui imajinasi penyair. Dunton melengkapi pandangan ini dengan menyatakan bahwa puisi merupakan pemikiran manusia yang konkret dan artistik, disampaikan melalui bahasa yang emosional dan berirama.
Merujuk pada pendapat-pendapat tersebut, Pradopo (2005) menyimpulkan bahwa puisi memiliki unsur-unsur utama seperti: emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindra, susunan kata, gaya bahasa, kepadatan ekspresi, dan perasaan yang bercampur-baur. Semua elemen ini menjadikan puisi sebagai karya sastra yang kompleks dan multidimensional.
Dalam hal analisis puisi, Agustinus Suyoto dalam artikelnya “Dasar-Dasar Analisis Puisi” mengutip I.A. Richards, yang membedakan antara dua hal utama yang membentuk puisi, yaitu hakikat puisi (the nature of poetry) dan metode puisi (the method of poetry).
Puisi bukan sekadar rangkaian kata-kata yang indah, tetapi juga merupakan hasil perenungan mendalam yang lahir dari relung batin penyair. Ia mengandung kompleksitas emosi, ide, dan ekspresi yang mencerminkan kehidupan dan pengalaman manusia. Dalam puisi, kita tidak hanya membaca kata-kata, tetapi juga menyimak suara hati yang paling jujur. Maka, memahami puisi berarti membuka diri terhadap kemungkinan tafsir, mempertemukan akal dan rasa, serta menyelami kedalaman jiwa yang mungkin tak bisa dijelaskan dengan bahasa biasa.
Kreatika edisi Minggu 8 Juni 2025 ini menayangkan beberapa puisi karya Rifqi Septian Dewantara, seorang penyair kelahiran Balikpapan 1998. Puisi pertama Rifqi berjudul “Alienasi Hidup”, puisi ini mengangkat tema eksistensialisme dan keterasingan.
Puisi ini menyuarakan kegelisahan identitas manusia modern sebagai “pelancong” dan “pelajar” yang kehilangan makna dan arah. Kiasan seperti “di tepi ilusi” dan “merekam adegan maya” menandakan dunia yang serba semu, di mana manusia hanya sebagai pengamat pasif, bukan pelaku aktif kehidupan.
Rifqi menggunakan berbagai gaya bahasa metafora dalam puisinya seperti “pelancong,” “musafir,” dan “merekam adegan maya” menggambarkan manusia yang terasing dalam realitas palsu. Selain itu Rifqi juga menggunakan pengulangan seperti pada frasa “terlalu cepat memesan kata pulang” memperkuat dilema batin antara pulang (kembali ke asal, nilai, atau Tuhan) dan tersesat (hidup tanpa arah).
Puisi kedua berjudul “Menduga Laut-Mu”. Puisi ini mengangkat tema religiusitas dan pergulatan batin. Puisi ini menggambarkan perjalanan spiritual yang penuh ujian dan godaan. Penulis menduga janji Tuhan di tengah kesukaran duniawi, sambil tetap berserah diri. Ada pertentangan antara nikmat yang diraih dan dosa yang mendekat, menggambarkan ironi hidup spiritual.
Gaya bahasa yang digunakan dalam puisi ini adalah paralelisme, yaitu pengulangan frasa seperti “janji ku coba, janji ku duga” dan “tiap-tiap sukar, tiap-tiap sempurna” menciptakan ritme doa dan pergulatan. Selain itu dalam puisi ini juga muncul diksi-diksi yang menggambarkan religiusitas seperti “doa,” “pahala,” “Yang Maha Esa”. Kata-kata tersebut menguatkan nuansa religius dalam puisi RIfqi.
Puisi ketiga berjudul “Terperangkap Dalam Mitos”, puisi ini mengangkat tema kritik sosial dan eksistensialisme. Puisi ini adalah teriakan pemberontakan terhadap tatanan sosial yang hipokrit. Penyair merasa terperangkap oleh “mitos” atau konstruksi sosial yang memaksakan peran dan nilai palsu. Ia menggambarkan kehancuran batin, keputusasaan, namun juga resistensi.
Rifqi dalam puisi ini menggunakan gaya bahasa dengan pengulangan struktur untuk memperkuat intensitas emosional. Puisi ini sarat dengan citra visual dan kinetik seperti “ditombak panah kemunafikan” dan “kerikil-kerikil kaca yang pecah”. Selain itu dalam puisi ini juga muncul diksi yang keras seperti “hangus,” “meledak,” “bom api” menciptakan efek destruktif yang mendalam.
Secara umum puisi-puisi Rifqi Septian Dewantara merefleksikan eksistensialisme dan spiritualitas, sering kali dalam benturan yang tegang. Selain itu Rifqi juga menyampaikan kritik sosial dan moral, dituturkan dengan metafora yang berani dan kadang brutal. Gaya puitik modern, menggunakan pengulangan, diksi simbolik, dan kontras tajam untuk menciptakan dampak emosional dan refleksi mendalam. Karya-karya ini layak diapresiasi sebagai bentuk perenungan dan pergolakan manusia kontemporer yang terjebak antara ilusi modernitas, pencarian makna, dan nilai spiritualitas yang nyaris hilang. (*)