Oleh: Aldi Ferdiansyah
(Mahasiswa Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Sampai sekarang, film horor di Indonesia telah mengalami lonjakan popularitas yang signifikan. Menurut survei yang dilakukan PT Lokadata melalui aplikasi SurV, genre horor menjadi genre urutan kedua yang diminati penonton di Indonesia dengan persentase 14%. Namun, di tengah dominasi film horor, muncul beberapa sutradara justru berani berbeda dengan memadukan dua genre bertolak belakang, perpaduan antara ketakutan dan canda tawa, yaitu komedi dan horor.
Film Sekawan Limo merupakan salah satu film komedi horor yang naik daun pada tahun 2024. Film yang digarap dan dimainkan oleh Bayu Eko Moektito atau akrab dengan nama Youtube Bayu Skak berhasil mencuri perhatian dengan menembus angka 2,2 juta penonton di pekan ketiga penayangan di bioskop. Bayu Skak berhasil menggabungkan suasana mencekam dengan selipan komedi yang rapat menggunakan bahasa Jawa. Pemilihan judul dengan menggunakan istilah dalam bahasa Jawa membuat daya tarik Film ini semakin kuat. Sekawan Limo memiliki double meaning, bisa berarti pertemanan lima orang atau “Empat dari Lima”. Dengan latar belakang mitos yang berkembang di masyarakat, film ini menyuguhkan cerita tentang kepercayaan tradisional serta nilai-nilai budaya lokal Jawa yang masih dijunjung tinggi hingga kini.
Film ini mengisahkan dua tokoh bernama Bagas dan Leni yang akan mendaki Gunung Madyopuro. Mereka mendapat peringatan dari penjaga pos untuk mematuhi aturan-aturan tidak tertulis selama mendaki, yaitu tidak boleh menoleh ke belakang atau akan ada yang mengikuti mereka jika dilanggar dan larangan mendaki dengan jumlah ganjil. Di tengah pendakian, Bagas dan Leni bertemu dengan tiga pendaki lainnya, yaitu Dicky, Juna, dan Andrew. Mereka melanggar mitos dan aturan yang dipercaya masyarakat sekitar dengan menoleh ke belakang dan naik dengan jumlah ganjil. Dari sana mereka mulai merasakan adanya kejangggalan seperti gangguan makhluk halus serta dihantui rasa cemas hingga tersesat. Memunculkan kecurigaan bahwa salah satu dari mereka bukanlah seorang manusia.
Hal menarik dalam keseluruhan isi film Sekawan Limo adalah alasan mereka mendaki. Beberapa dari mereka memiliki tujuan utama mengapa ia mendaki gunung. Seperti Leni yang merasa hilang arah semenjak kepergian mama. Seakan belum ikhlas menerima kenyataan bahwa mamanya sudah tiada, Leni berusaha meredakan kesedihan dengan cara mendaki gunung. Bahkan sempat terpikir oleh Leni bahwa ia akan menyusul kepergian mamanya lantaran tidak sanggup jika ia harus hidup tanpa dampingan sang mama. Andrew yang perjalanan hidupnya selalu diremehkan dan dibandingkan dengan abangnya sendiri. Perlakuan tidak adil tersebut membuat Andrew merasa tidak dianggap sebagai anak oleh papanya sendiri. Selain itu Andrew juga memilik problem dengan pacar karena nekat berbuat sehingga pacarnya hamil sebelum waktunya. Seakan sarat pikiran, Andrew memutuskan mencari pelarian dari masalah hidupnya dengan mendaki gunung.
Berbeda dengan Dicky yang selalu dihantui rasa gelisah. Bermula dari kebiasaan bermain judi online hingga candu dan memiliki hutang. Desakan dari penagih utang dan ketidakmampuan melunasi hutang membuat Dicky merasa diteror oleh rasa takut. Dicky juga melakukan ritual untuk mencegah rasa takutnya dan mendatangi dukun yang menganjurkan ia melakukan ritual tersebut di Gunung Madyopuro.
Bila dikaitkan dengan realitas kehidupan, banyak sekali orang-orang yang mendaki gunung sebagai self healing seperti kutipan komentar @Dka_K di Tiktok, “Ketinggian mana lagi yang harus aku gapai, setelah denganmu tidak tercapai”.
Dari contoh tersebut membuktikan bahwa anak muda khususnya zaman sekarang, mereka mendaki gunung sebagai obat penenang diri, sebagai pelariaan dari masalah-masalah kehidupan sehari-hari, masalah percintaan, karier, dan lain-lain. Seseorang akan merasakan kepuasan tersendiri ketika tiba di puncak gunung. Bukan melepaskan kesedihan atau kekesalan yang dirasakan, justru mereka berusaha memendam kesedihan dengan cara mengalihkan perhatian dengan mendaki gunung untuk menghilangkan rasa sedih atau segala macammya.
Fenomena FOMO (Fear of Missing Out) juga tergambar pada karakter Bagas yang diperankan Bayu Skak. Menurut Halodoc, FOMO merupakan kondisi sesorang merasa cemas atau khawatir melewatkan pengalaman, acara, atau aktivitas yang sedang terjadi di sekitarnya. Bagas sendiri merupakan salah satu tokoh utama yang “ikut-ikutan” Leni naik gunung karena sebelumnya ia tidak pernah mendaki gunung sekali pun. Bagas yang merasa tertinggal akibat ketidaktahuannya tentang gunung, ia akhirnya mencari tahu segala hal tentang gunung yang malah memperlihatkan Bagas terlalu berlebihan. Fenomena ini mencerminkan kondisi saat ini, seseorang merasa tertinggal dan merasa tidak lega jika belum mengikuti trend. Bahkan mati-matian atau berusaha semaksimal mungkin untuk bisa mengikuti tren. Berbagai cibiran akan didapatkan seseorang seperti, “kurang gaul”, “ngga asyik”, “kurang update” dan banyak lagi.
Sekawan Limo tidak hanya sekedar hiburan. Di dalamnya memuat pesan-pesan yang memiliki makna mendalam dan bisa diterapkan di kehidupan sehari-hari. Dalam kalimat “Jangan menoleh ke belakang” bukan sekadar perintah atau larangan. Mitos tersebut juga memiliki makna sendiri seperti dialog Bagas.
“Seng disebut ojo noleh nang mburi iku ternyata ojo noleh terus-terusan ke masa lalu yang kelam, amergo masa lalu seng kelam iku iso ngerusak masa kini”
Ini juga berarti melepaskan masa lalu bukan menghapusnya dari ingatan, tetapi mengubah cara kita memaknainya. Mengajarkan kita untuk selalu belajar membentuk keberanian berdamai dengan kenyataan dan menerima bahwa beberapa hal yang dialami memang terkadang tidak sesuai dengan harapan.
Film Sekawan Limo sebuah karya yang berhasil menyentuh sisi emosional dan psikologis penontonnya. Lewat kisah lima pendaki yang dihantui oleh masa lalu dan tekanan hidup, film ini menyampaikan pesan bahwa setiap orang memiliki “gunung” masing-masing yang harus mereka daki. Gunung yang dipenuhi oleh luka, trauma, dan pencarian jati diri. Dengan pendekatan budaya lokal, karakter yang relatable, serta simbolisme yang kuat. Film ini memperluas batasan genre dan membuktikan bahwa industri film Indonesia memiliki potensi besar dalam menciptakan karya yang bermakna sekaligus menghibur.