Oleh: Dini Maulia
(Dosen Prodi Sastra Jepang Universitas Andalas dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada)
Pada bagian part of speech sebelumnya telah diuraikan bagaimana para linguis mengenalkan wujud nomina melalui definisi semantis dan gramatikal. Seperti halnya nomina, verba sebagai salah satu kategori open classes dari rangkaian part of speech, juga memiliki definisi yang bervariasi dari sudut pandang semantis maupun gramatikal. Perbedaan di antara nomina dan verba dikatakan oleh Langacker (1987) dapat diketahui pada unsur foreground relations yang hanya dimiliki oleh verba.
Foreground relations tidak dimiliki oleh nomina karena verba dapat menentukan jumlah argumen (yang diisi oleh nomina) dalam struktur sebuah kalimat. Foreground relations membuat keberadaan verba menjadi pusat relasi di dalam kalimat yang sekaligus dapat membagi tipologi bahasa-bahasa di dunia. Dalam sintaksis, predikat verba merupakan struktur klausa yang diterima sebagai konstruksi yang menentukan tipologi bahasa. Tipologi suatu bahasa dalam bidang linguistik dapat menunjukkan fitur universal yang dapat menyamakan satu bahasa dengan lainnnya sekalipun bahasa tersebut berasal dari rumpun bahasa yang berbeda.
Tipologi bahasa dunia secara linguistik dapat dibagi berdasarkan banyak aspek, salah satunya berdasarkan posisi penempatan predikat verba, misalnya dalam bahasa dengan tipologi verb-final language yang memiliki kategori posposisi untuk menjelaskan nomina, sedangkan bahasa dengan tipologi verb-initial language memiliki kategori preposisi sebelum nomina (Dryer, 2007:72). Meskipun begitu, tidak semua bahasa dapat dengan mudah dideteksi melalui foregroud relations. Bahasa Nootka yang juga dikenal dengan istilah Nuu-chah-nulth merupakan bahasa yang digunakan oleh masyarakat pantai barat Pulau Vancouver di Kanada. Bahasa ini merupakan salah satu bahasa yang sangat sulit diidentifikasi perbedaan wujud nomina dan verba di dalam kalimatnya (Jacobsen: 1976).
Secara semantis, verba dapat didefinisikan sebagai kata yang mengekspresikan makna aksi, proses, dan sejenisnya (Schachter dan Shopen, 2007:9). Langacker (1987) juga menyatakan bahwa definisi semantis dapat membagi verba bahasa Inggris menjadi active verbs dan stative verbs. Dikatakan oleh Langacker (1987), active verbs merupakan verba yang berbatas dengan spasial waktu sehingga verba jenis ini menggunakan bentuk present progressive tense di dalam kalimat dengan kala nonlampau. Kita dapat melihat contohnya pada verba walk, learn yang digunakan dalam bentuk walking dan learning di dalam kalimat dengan kala nonlampau.
Berbeda dengan stative verbs, seperti kata love, know, dan lainnya yang tidak memiliki batas spasial waktu sehingga digunakan dalam bentuk simple present tense menjadi loves dan knows dalam kalimat dengan kala nonlampau. Verba yang digolongkan ke dalam active verbs digunakan dalam bentuk simple present tense untuk menyampaikan interpretasi istimewa. Makna istimewa tersebut dapat dibedakan menjadi: 1) Makna habitual, seperti verba drink dalam kalimat Ralph drinks two martinis for lunch, 2) Makna imminent future, pada verba leave dalam kalimat the expedition leaves tomorrow at noon, dan 3) Makna historical present untuk verba walk dalam kalimat then he walks up tome and says…. (Langacker: 1987). Definisi active verbs dan stative verbs memiliki definisi yang hampir sama dalam membedakan count nouns dan mass nouns dalam nomina bahasa Inggris yang telah dibahas pada bagian sebelumnya.
Definisi gramatikal terhadap verba memiliki jangkauan yang lebih luas dan melahirkan klasifikasi yang lebih beragam. Hal ini membuktikan bahwa kategorisasi part of speech memang lebih tepat dilakukan secara gramatikal dibandingkan dengan semantis. Secara gramatikal, verba dapat diklasifikasikan berdasarkan tense ‘kala’, aspect ‘aspek’, mood ‘modalitas’, voice ‘diatesis’, dan polarity ‘polaritas’.
Bahasa Jepang merupakan salah satu bahasa yang memiliki kategori verba yang hampir memenuhi semua klasifikasi gramatikal tersebut. Verba bahasa Jepang dapat dibedakan secara bentuk berdasarkan kala, aspek, diatesis, dan polaritas. Modalitas tidak mempengaruhi bentuk verba secara khusus di dalam bahasa Jepang. Perbedaan bentuk dapat dicontohkan pada verba makan yang memiliki variasi bentuk dalam bahasa Jepang, seperti: taberu dalam kala nonlampau dan tabeta dalam kala lampau (klasifikasikan berdasar kala), bentuk tabeteiru dalam aspek progresif (klasifikasi berdasarkan aspek), taberareru dalam bentuk pasif dan tabesaseru dalam bentuk kausatif (klasifikasi berdasarkan diatesis), serta tabenai dalam bentuk negatif (klasifikasi berdasarkan polaritas).
Pengaruh modalitas terhadap bentuk verba dapat dilihat pada bahasa Prancis. Schachter dan Shopen (2007:11) mengatakan bahwa bentuk verba dalam bahasa Prancis dapat diklasifikasikan berdasarkan modalitas, contohnya dapat dilihat pada verba bentuk modus indikatif dan modus subjungtif dalam kalimat (qu’)il viendra ‘(bahwa) dia akan datang’ dan (qu’)il vienne ‘(bahwa) dia mungkin datang’.
Berbeda dengan bahasa Jepang dan Prancis, bentuk verba dalam bahasa Indonesia hanya dapat dibedakan berdasarkan diatesis melalui proses afiksasi. Kita dapat melihat contoh pada bentuk membaca dan dibaca dapat membedakan diatesis aktif dan pasif. Dalam bahasa Indonesia, wujud nomina dan verba memiliki hubungan yang sangat erat. Berdasarkan penelitian dalam bidang linguistik terdahulu dikatakan bahwa kategori nomina dan verba bahasa Indonesia dapat dibedakan berdasarkan penggunaan negasi (Mees: 1953, Alisjahbana: 1954, Simorangkir-Simandjuntak: 1955, Poedjawijatna: 1958, Hadidjaja: 1968, Fokker: 1972, Safioedin: 1978, Keraf: 1973, Ramlan: 1978).
Bukan merupakan negasi yang dapat diikuti nomina dan tidak merupakan negasi yang dapat mengikuti verba. Namun, teori ini sepertinya tidak berlaku apabila dicermati pada penggunaannya di dalam masyarakat saat ini. Pada aplikasinya, negasi bukan dan tidak sama-sama digunakan untuk kategori nomina maupun verba di dalam kalimat. Data yang menunjukkan penggunaan ini dapat dilihat pada piranti korpus di dalam sketch engine.
Eratnya hubungan bentuk kategori nomina dan verba dalam bahasa Indonesia dapat ditunjukkan pada proses konversi yang menghasilkan kata dengan kategori verba yang berasal dari nomina. Proses konversi menyebabkan kata-kata seperti jalan, cangkul, dan telepon memiliki kelas kata ganda di dalam bahasa Indonesia (Moeliono, dkk, 2017:128). Pertanyaan selanjutnya muncul, bagaimana mengetahui bahwa kata jalan, cangkul, dan telepon memiliki kategori dasar nomina? Untuk menentukan asal kategori kata tersebut dapat dilihat pada ketergantungan kata dengan makna dasar. Misalnya diambil salah satu kata cangkul. Penggunaan kata cangkul sebagai verba dapat dilihat pada kalimat cangkul tanah itu sedalam lima meter. Kata cangkul pada kalimat tersebut memiliki keterikatan pada proses yang menggunakan benda berupa cangkul. Oleh karenanya, kata cangkul dapat dikatakan memiliki kategori asal sebagai nomina. Kata ini dapat mengalami proses konversi dari nomina menjadi verba tanpa mengalami perubahan bentuk. Sebaliknya, kategori nomina bahasa Indonesia juga dapat dibentuk melalui verba dengan proses afiksasi. Proses afiksasi memiliki perbedaan dengan proses konversi karena kata yang dihasilkan harus mengalami perubahan bentuk. Proses afiksasi yang mengubah verba menjadi nomina dalam bahasa Indonesia dapat dilihat pada nomina tulisan yang dibentuk dari verba tulis dan sufiks -an.
Bentuk nomina dan verba dapat ditandai dengan lebih mudah dalam bahasa Jepang. Verba bahasa Jepang hadir dalam bentuk akar kata yang hanya dapat memiliki makna apabila hadir bersama afiks. Contohnya pada akar kata sute, yang baru akan memiliki makna ketika hadir bersama afiks. Pelekatan akar verba sute dengan afiks -ru dapat membentuk verba suteru, pelekatan dengan afiks -masu membentuk verba sutemasu, dan pelekatan dengan afiks -ta membentuk verba suteta. Ketiga verba suteru, sutemasu, dan suteta sama-sama memiliki arti ‘membuang’ dalam bahasa Jepang yang hanya berbeda bentuk yang dipengaruhi ragam bahasa dan sistem kala.
Nomina bahasa Jepang juga dapat mengalami perubahan kategori menjadi verba. Salah satu perubahan tersebut dapat ditandai dengan dengan penambahan verba suru/ shimasu di belakang nomina. Contohnya dapat dilihat pada nomina kekkon ‘pernikahan’ yang berubah menjadi verba ketika hadir dalam bentuk kekkon suru/ kekkon shimasu ‘menikah’. Bahasa Jepang tidak memiliki kata dengan kategori ganda seperti bahasa Indonesia. Masing-masing kata dalam bahasa Jepang memiliki penanda kategori gramatikal yang khas sehingga sangat mudah dibedakan di antara satu dengan lainnya.