Oleh: Dini Maulia, S.S., M.Hum.
(Dosen Sastra Jepang Unand dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu-Ilmu Humaniora UGM)
Masyarakat Jepang memiliki karakteristik sangat berhati-hati dalam berkomunikasi dengan lawan bicara. Mereka memiliki sensitivitas yang tinggi dan memperhatikan hubungan sosial dengan lawan bicara dalam berkomunikasi. Reischauer (2004: 8) menyatakan bahwa bentuk sensitivitas bahasa bangsa Jepang berkaitan dengan letak geografis daerah Jepang yang terpisah dengan negara lain. Faktor ini kemudian membentuk ideologi masyarakat Jepang.
Salah satu ideologi masyarakat Jepang dapat dilihat melalui bentuk bahasa yang mereka miliki. Duff (2019) menyatakan bahwa ideologi bahasa merupakan seperangkat keyakinan atau pandangan mengenai bahasa mencakup pembicara dan bagaimana suatu bahasa digunakan untuk berbicara. Ini kemudian dikaitkan dengan bagaimana bahasa kemudian dinilai lebih benar atau lebih tepat secara bentuk yang tercakup dalam ideologi dan legitimasi pengguna bahasa sebagaimana yang dikemukakan oleh Bourdieu (1991) dan O’Rourke dan Walsh ( 2015).
Shindo (2015: 94) menyatakan bahwa dalam budaya Jepang dikenal istilah herikudaru yang berarti berinteraksi dengan bersikap menghormati orang lain. Interaksi tersebut ditunjukkan dengan sikap bahwa lawan bicara merupakan pihak yang posisinya untuk dihormati dan salah satu penghormatan dapat dilakukan dengan cara merendahkan posisi diri sendiri sebagai pembicara.
Bentuk penghormatan ini banyak jenisnya dan dapat dilihat dari bahasa verbal maupun nonverbal. Budaya ojigi salah satunya. Ojigi berarti membungkuk yang dikenal sebagai bentuk penghormatan khas budaya Jepang dalam menghadapi lawan bicaranya. Ojigi sebagai satu bentuk komunikasi nonverbal dalam bahasa Jepang yang digunakan dalam menyampaikan salam kepada lawan bicara.
Bentuk sudut ojigi akan berbeda antara satu dan lainnya tergantung kepada tingkat sosial lawan bicara (Amri, 2019). Semakin membungkuk bentuk ojigi yang dilakukan menandakan semakin tinggi bentuk penghormatan yang dilakukan pembicara kepada lawan bicaranya.
Begitu pun dalam bentuk bahasa verbal. Salah satu bentuk penghormatan yang dilakukan masyarakat Jepang yang disampaikan dalam bentuk bahasa dapat dilihat dari pemilihan ragam bahasa yang digunakan. Melalui pemilihan ragam dalam bahasa Jepang, kita dapat mengetahui status sosial pembicara maupun lawan bicara yang telibat dalam sebuah percakapan. Hal ini disebut dengan istilah keigo, yaitu salah satu ragam bahasa sopan dalam bahasa Jepang yang dapat dilihat dari pilihan maupun bentuk kata yang digunakan.
Ragam bahasa keigo terbagi atas dua bagian, yaitu sonkeigo ‘bahasa menghormati’ dan kenjyougo ‘bahasa merendahkan diri’ (Ogawa, 2001:149). Sonkeigo adalah ragam bahasa yang digunakan untuk menghormati lawan bicara atau orang yang dibicarakan yang berkaitan dengan kegiatan atau keadaan lawan bicara dan orang yang dibicarakan. Kemudian, kenjyougo adalah bahasa untuk menunjukkan rasa hormat pembicara kepada lawan bicara maupun orang yang menjadi topik pembicaraan dengan merendahkan perilakunya sendiri (Ogawa, 2001: 152).
Sonkeigo
Menurut Makino dan Tsutsui (2002), sonkeigo terbagi atas beberapa bentuk. Pertama, dalam bentuk afiks. Salah satu afiks penanda ragam hormat dalam bahasa Jepang ditandai dengan imbuhan berupa awalan. Terdapat dua jenis afiks yang menjadi pembentuk struktur ragam hormat, yaitu (1) awalan go dan (2) awalan o. Perbedaan keduanya dibedakan atas jenis kata yang dilekati.
Awalan o akan melekat pada kata yang merupakan bahasa asli Jepang, sedangkan awalan go melekat pada kata yang berasal dari bahasa China. Dalam penggunaannya, awalan ini dapat melekat pada kelas kata nomina, adjektiva, dan adverbia, misalnya ohashi ‘sumpit’, gohan ‘nasi’, dan goyukkuri ‘perlahan-lahan’
Kedua, dalam bentuk verba. Verba yang digolongkan dalam ragam bahasa sonkeigo memiliki bentuk kata tersendiri yang berbeda dengan kata dalam ragam bahasa biasa. Verba ini dapat dilihat dari beberapa contoh, seperti irasshaimasu yang merupakan verba ragam hormat sonkeigo yang memiliki makna yang sama dari verba ragam biasa ikimasu ‘pergi’, kimasu ‘datang’, dan imasu ‘ada’. Juga ada meshi agarimasu merupakan verba ragam sonkeigo yang memiliki makna yang sama dari verba biasa tabemasu ‘makan’ dan nomimasu ‘minum’.
Ketiga, dalam bentuk pemajemukan. Hal ini dapat dilihat melalui contoh okaeri ni narimasu. Bentuk ini berasal dari verba kaerimasu yang berarti ‘pulang’, yang berubah dengan penambahan awalan o kemudian ditambah dengan bentuk ni narimasu.
Keempat, dalam bentuk pasif. Perubahan verba dalam bentuk pasif juga sebagai tanda bahwa sebuah kalimat juga menggunakan struktur ragam hormat. Berikut contoh kalimatnya.
中村さんは7時にこられます
Nakamura san wa nana ji ni koraremasu
‘Tuan Nakamura datang pukul 7’
Kalimat (1) menggunakan bentuk pasif koraremasu yang berarti ‘datang’ sebagai penanda struktur ragam hormat.
Kenjyougo
Ragam kenjougo dibedakan oleh Makino dan Tsutsui (2002) dalam beberapa bentuk. Pertama, dalam bentuk afiks o- dan go- yang merupakan penanda struktur kenjyougo dalam kalimat. Pertama, dalam bentuk verba. Seperti pada ragam sonkeigo, verba dalam ragam kenjougo juga memiliki beberapa bentuk tersendiri yang berbeda dengan ragam biasa, seperti haikenshimasu merupakan ragam kenjougo dari kata mimasu yang berarti ‘melihat’. Verba moushimasu yang memiliki arti yang sama dengan verba iimasu dalam ragam biasa yang berarti ‘mengatakan’.
Kedua, dalam bentuk pemajemukan. Pemajemukan dapat dilihat melalui contoh omachi shimasu yang berasal dari verba machimasu yang berarti ‘menunggu’ yang ditambah awalan o dan verba shimasu ‘melakukan’ di belakangnya.
Fungsi Ragam Sonkeigo dan Kenjougo
Selain memiliki klasifikasi bentuk yang berbeda, ragam sonkeigo dan kenjougo juga digunakan dengan cara yang berbeda. Seorang pembicara akan menggunakan ragam sonkeigo ‘meninggikan lawan bicara’ untuk menyatakan segala hal yang berhubungan dengan lawan bicara yang lebih tinggi status sosialnya.
Ragam sonkeigo juga digunakan untuk menyatakan hal yang ada pada seseorang yang tidak hadir di dalam percakapan (disebut dengan orang ketiga). Fungsi ragam sonkeigo di sini bukan menunjukkan penghormatan kepada yang dibicarakan, melainkan menunjukkan rasa hormat kepada status sosial lawan bicara (Niyekawa, 1991).
Sementara itu, ragam kenjougo akan digunakan untuk ‘merendahkan diri’ ketika menyampaikan segala hal yang berkaitan dengan dirinya kepada lawan bicara yang status sosialnya lebih tinggi. Wujud serta bentuk penggunaan ragam keigo yang kompleks menimbulkan kesulitan bagi para penggunanya.
Bagi pembelajar bahasa asing, keigo menjadi salah satu aspek yang paling sulit dikuasai oleh para pembejar bahasa asing. Selain faktor kompleksitas penggunaannya, keigo juga dipengaruhi oleh perilaku masyarakat Jepang yang juga terkadang tidak percaya diri untuk menggunakan ragam keigo dalam berkomunikasi (Carroll, 2005).
Wetzel (2004) mengatakan bahwa dahulunya kehadiran konsep keigo digunakan sebagai bentuk ideologi yang menunjukkan adanya hierarki sosial dalam masyarakat Jepang. Namun, saat ini fungsi keigo telah bergeser. Masyarakat Jepang menggunakan ragam bahasa ini sebagai bentuk ekspresi rasa hormat dalam berkomunikasi.