Lastry Monika
(Dosen Prodi Sastra Minangkabau FIB Unand)
Terkadang, dalam percakapan keseharian dalam bahasa Minangkabau, kita mendengar istilah “urang balakang”. Ungkapan ini meluncur begitu saja, sering kali tanpa banyak yang mempertanyakan maknanya. “Lah salasai dek urang balakang tu” atau “kami urang balakang ko ma, sakampuang kito”, dan masih banyak lainnya. Namun, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan “urang balakang”? Apakah mereka sekadar sosok yang bekerja di balik layar, atau ada makna lebih dalam yang tersimpan dalam istilah ini?
Istilah “urang balakang” ternyata menyimpan makna yang lebih dalam dari sekadar kata-kata yang sering meluncur dalam percakapan sehari-hari. Dalam bahasa Minangkabau, maknanya bisa berubah-ubah, tergantung pada konteks penggunaannya. Kadang, istilah ini merujuk pada pekerjaan seseorang. Di lain waktu, urang balakang juga bisa mengacu pada alamat seseorang. Menandakan bahwa ia berasal dari suatu tempat yang berada di belakang atau jauh dari pusat keramaian.
Seperti banyak ungkapan khas Minangkabau lainnya, “urang balakang” bukan sekadar rangkaian kata, tetapi cerminan dari cara hidup. Istilah ini menggambarkan bagaimana masyarakat Minangkabau menempatkan setiap individu dalam suatu sistem sosial. Bahwa setiap peran, baik yang tampak di depan maupun yang tersembunyi di belakang, memiliki arti dan kontribusi yang sama pentingnya.
Saya masih ingat, saat menjadi mahasiswa, betapa seringnya istilah ini muncul dalam berbagai percakapan. Kadang digunakan untuk menggambarkan mereka yang bekerja diam-diam tanpa menonjolkan diri, kadang pula untuk menyebut seseorang berdasarkan tempat lokasi berkegiatan. “Urang balakang” menjadi luas maknanya berdasarkan konteks dan situasi yang menyertainya.
Istilah ini kadang juga muncul untuk mempertanyakan keberhasilan seseorang, entah itu dalam sebuah prestasi maupun sebuah jabatan. Seorang teman pernah menjadi salah satu pemenang dalam lomba menulis cerita pendek. Capaian itu adalah prestasi pertamanya dalam menulis. Namun ada saja komentar yang mempertanyakan keberhasilan tersebut. Misalnya, “Sia urang di balakangnyo tu?”, “Ooo si anu urang di balakangnyo, patuiklah”.
Pada akhirnya, “urang balakang” adalah cerminan dari cara kita memandang peran, ruang, dan keterlibatan dalam kehidupan sosial. Ada yang memilih menjadi wajah di depan, ada pula yang bekerja dalam senyap di belakang. Namun, ironinya, meski sering luput dari perhatian, “urang balakang” justru kerap menjadi topik perbincangan.
Keberhasilan seseorang bisa saja dikaitkan dengan mereka sebagai sosok misterius yang konon menjadi dalang di balik pencapaian. Maka, dalam dunia yang tak pernah lepas dari bisik-bisik dan dugaan, satu hal yang pasti, tak peduli di depan atau di belakang, yang paling penting adalah tetap bergerak. Sebab, dalam hidup ini, kadang lebih mudah mencari “urang balakang” daripada mengakui kerja keras seseorang.