Oleh: Hat Pujiati
(Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember)
Sastra Lisan, Tulisan, dan Digital
Secara umum, sastra bisa dipahami sebagai karya imajianatif manusia tentang kehidupan yang menggunakan bahasa sebagai media dengan mengedepankan unsur estetis dalam penyajiannya. Bahasa sebagai media dalam penyajian karya sastra dari waktu ke waktu juga mengalami pemutakhiran-pemutahiran seiring pertumbuhan peradaban. Awalnya, sebelum peradaban tulisan, sastra diceritakan secara lisan. Persebarannya pun dari mulut ke mulut dan kontak antara pencerita dan pendengarnya terjadi secara langsung. Akan tetapi, pencerita tidak juga berperan sebagai pencipta cerita. Setiap pencerita ulang (reteller) menjadi pencipta baru karena dalam menceritakan ulang sebuah cerita. Para pencerita tersebut melakukan improvisasi yang menciptakan kebaruan-kebaruan dari kerangka cerita yang ada. Hanya kerangka yang menjadi pegangan para pencerita ulang. Cerita demikian bukan milik perseorangan, melainkan komunal. Siapa pun bisa menjadi pencipta barunya. Para penikmat cerita juga bisa merespon secara langsung.
Berbeda dengan ketika bahasa tulisan menggantikan yang lisan dalam penceritaan kisah-kisah yang telah dibubuhi nama penulis. Kontak antara pencerita yang menjadi penulis atau pengarang dengan para pembacanya terputus. Cerita juga menjadi lebih spesifik milik sang penulis. Penceritaan ulangnya tetap akan membubuhkan nama pengarang awal dan direproduksi berapa kali pun masih akan sama. Kemungkinan perubahan-perubahan terjadi dalam reproduksi cerita menjadi minim dan jika pun terjadi akan mudah dikenali dan menjadi catatan tambahan karena tulisan tidak berubah seperti cara bercerita panjang secara lisan. Kompetensi bercerita secara lisan dan tulisan memiliki tuntutan berbeda dari penikmat dan pembacanya.
Menggunakan bahasa lisan dalam bercerita hanya membutuhkan perangkat berbicara yang menciptakan kehadiran melalui suara. Sementara itu, tulisan awalnya bisa tertuang di daun lontar, kertas, pena, atau pun sejenisnya. Persebaran cerita dari mulut ke mulut pun tergantikan oleh mesin cetak dan jejaring distribusinya yang mengirimkan buku-buku cerita ke berbagai penjuru dunia. Mulai dari produksi cerita hingga penyebaran salinan cerita ini menjadi elemen penting dalam perkembangan sastra. Jejaring penulis, penerbit, dan distributor juga menjadi unsur keberhasilan cerita disebarkan dan dibicarakan untuk kemudian diuji social milieu apakah karya tersebut bisa diterima dan terus diceritakan atau hilang begitu selesai dibaca. Begitu pula, ketika perangkat elektronik menjadi media alternatif penyajian sastra dari yang telah ada sebelumnya. Bahasa yang tadinya lisan berubah menjadi tulisan saat manusia mengenal aksara dan media digital hari ini melalui perkembangan teknologi.
Sensibilitas Bahasa dan Sastra
Di awal masa saya kembali ke kelas dari tugas belajar, saya mencatat jika materi yang diberikan di kelas tanpa tayangan power point yang bergambar dan warna-warni menjadi membosankan bagi mahasiswa. Mahasiswa yang tampak tetap fokus pada materi dengan menjaga eye-contact untuk menunjukkan bahwa mereka memperhatikan penjelasan dosen bisa dihitung dengan jari satu tangan. Kondisi ini berbeda dengan jika materi ajar disampaikan dengan tayangan power point berwarna-warni, apalagi diiringi dengan audio, mahasiswa lebih bersemangat dan cukup lama bertahan dalam menyimak materi yang dijelaskan di kelas. Bahkan, ukuran slide power point yang ditayangkan di kelas juga menjadi kunci perhatian mahasiswa, model slide persegi sudah dianggap jadul (jaman dahulu) dan tidak menarik. Mereka mudah teralihkan pada gadget awalnya telah diminta untuk disimpan selama di kelas. Kadang, mahasiswa membuka laptop yang tidak ada hubungannya dengan materi yang dijelaskan di kelas.
Kondisi yang terjadi di kelas dengan keterbatasan tampilan slide power point ada hubungannya dengan sensibilitas gen Z sebagai native digital yang telah mengalami evolusi dari generasi-generasi sebelumnya. Sejak pertama kali melihat dunia, mereka telah terpapar oleh media audio-visual dengan tampilan warna tak terbatas dan gambar-gambar bergerak. Ketika dihadapkan pada banyak jeda, tayangan power point monokrom tidak bisa membuat mereka bertahan lama. Informasi yang begitu cepat menyerbu dari perangkat-perangkat digital dan gambar-gambar yang bergerak cepat saling berdesakan dan berkejaran dalam kesadaran generasi native digital. Hal itu membuat mereka juga butuh bergerak cepat, beralih dari satu informasi ke informasi lain, dan dari satu peristiwa ke peristiwa lain. Kebaruan-kebaruan yang membuat betah dan kebaruan-kebaruan tersebut dihasilkan dari disrupsi. Sensibilitas mereka berubah dan mereka termultimediakan.
Penyampaian materi di kelas memiliki aspek yang mirip dengan bercerita dan menggunakan bahasa. Materi tersebut disampaikan secara lisan dan juga tulisan. Tayangan power point adalah media penyampaian yang sebelumnya menggunakan papan tulis dan kapur, lalu pindah ke OHP yang saat ini telah tergantikan. Dulu masih menggunakan layar, tampilan power point menggunakan proyektor, kini telah menggunakan vitron dan juga televisi digital yang telah tehubung dengan laptop melalui bluetooth atau juga airdrop. Namun demikian, spidol dan papan tulis masih relevan dan menarik perhatian mahasiswa saat materi dijelaskan sambil menampilkan bagan manual di papan. Selain terkait dengan gerakan dan suara saat penyampaian materi, tulisan di papan tulis yang dibuat oleh dosen mirip dengan tayangan video di mana narasi di dalamnya menuntun ketercelupan audien ke dalam apa yang dibicarakan (Ryan, 2001).
Sensibilitas mahasiswa gen Z telah terbentuk oleh perubahan lingkungan sosial yang diciptakan oleh teknologi. Hal ini menjadi contoh kecil relasi teknologi dan perubahan sosial. Seperti dikatakan Kathrine Hayles dalam bukunya, teknologi tidak hanya sekadar alat pasif ciptaan manusia, tetapi dia mengubah perilaku manusia yang membawa perubahan sosial (Hayles, 1999). Dari masa Renaissance ke masa Pencerahan, kemerdekaan berpikir manusia mengalami perkembangan pesat yang diwujudkan dalam berbagai penemuan yang mengantarkan manusia pada peradaban baru ditandai oleh revolusi industri. Dari cerita berbentuk epik, lalu muncul novel di masa modern. Era digital yang memperpendek ketahanan penggunanya untuk membaca maka berikutnya muncul cerita mini. Sementara itu, otoritas penulis juga memudar dengan adanya media digital. Pembaca bisa menginterupsi karya sehingga penulis mengubah jalan cerita seperti yang dikehendaki penggemarnya.
Sastra penggemar (fanfiction) merupakan penceritaan ulang cerita oleh penggemar atas karya yang telah ada dan memiliki kebebasan mengubah cerita. Artinya dalam hal otorisasi penulis telah benar-benar lepas dari karyanya. Kode-kode cyber juga melahirkan sastra siber yang terhubung berbagai ide dan peristiwa dalam links. Adaptasi sastra juga dilakukan ke media audio-visual dan juga video games dengan tingkat ketercemplungan audien yang berbeda dengan sastra lisan dan tulis sebelumnya (Hutcheon, 2006; Hutcheon & O´Flynn, 2013). Bentuk sastra juga beradaptasi dengan teknologi dan sensibilitas manusia pembacanya.
Sumber Bacaan:
Hayles, N. K. (1999). How we Became Posthuman: Virtual Bodies in Cybernetics, Literature, and Informatics. University Of Chicago Press.
Hutcheon, L. (2006). A Theory of Adaptation. In A Theory of Adaptation. Routledge Taylor & Francis Group. https://doi.org/10.4324/9780203957721
Hutcheon, L., & O´Flynn, S. (2013). A Theory of Adaptation. In A theory of Adaptation. Routledge.
Ryan, M.-L. (2001). Narrative as Virtual Reality: Immersion and Interactivity in Literature and Electronic Media. The Johns Hopkins University Press.