Oleh: Metra Wiranda Putra
(Alumni UIN Imam Bonjol Padang dan Aktivis Pemuda Padang Pariaman)
Masyarakat Minangkabau memiliki budaya yang kaya dan unik serta dikenal sebagai masyarakat yang hospitable (ramah). Masyarakat Minangkabau juga dikenal dengan sistem kekerabatan matrilineal di mana sistem sosial dan budaya yang menempatkan perempuan sebagai pusat keluarga yang dikenal dengan garis keturunan ibu.
Masyarakat Minangkabau juga kaya dengan adat, budaya, suku, dan bahasa merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Mengapa disebut kaya, bayangkan dalam satu wilayah dari nagari satu ke nagari lain sudah memiliki karakteristik logat bahasa, tradisi, suku dan budaya yang berbeda. Istilah ini dikenal dengan “Lain Lubuak lain ikannyo, lain ladang lain ilalang”.
Keanekaragaman ini adalah bentuk keniscayaan dalam kehidupan sosial di Minangkabau. Salah satu contohnya di suatu daerah di Padang Pariaman yang prosesi perhelatannya, menggunakan banyak tradisi dan adat yang akan dilaksanakan oleh tuan rumah dan masyarakat. Salah satunya adat “Naiak Anak Mudo” (naik anak muda) yang merupakan adat turun temurun yang dilakukan setiap acara “baghalek”(perhelatan/pesta perkawinan). “Naiak anak mudo” merupakan suatu wadah proses musyawarah yang diselenggarakan oleh tuan rumah dengan dihadiri oleh wali korong , kapalo mudo (kepala adat korong), ninik mamak, urang sumando (menantu laki-laki), tokoh adat dan anak muda. Mereka berdiskusi dengan menggunakan bahasa Minangkabau dalam mencari kata sepakat tentang acara perhelatan yang akan dilangsungkan. Tuan rumah meminta pertolongan atau bantuan kepada kepala adat korong dan anak muda korong untuk meringankan beban tuan rumah selama perhelatan, baiksecara materil dan moril. Dengan perumpamaan “Mahampaan sayok nan lamah dan pauah nan landai ka urang korong”
Penyampaian tujuan dilakukan dengan seni lisan literatur bahasa Minangkabau yang dikenal dengan ” Alua Pasambahan”. Ini adalah alat prasarana komunikasi “Naiak anak Mudo”. Dalam proses musyawarah diskusi mencari kata sepakat bisa berjalan alot. Berawal dari tuan memberikan kabar tentang perhelatan yang akan dilakukan kepala korong setelah itu kepala adat korong melemparkan kabar kepada anak muda, selanjutnya anak muda bermusyawarah tentang tujuan maksud atau kabar yang disampaikan tuan rumah. Kepala adat korong tidak bisa langsung mengambil keputusan atas kabar yang diberikan oleh tuan rumah. Mereka musyawarah dengan anak muda dan masyarakat dalam acara “naiak anak mudo” tersebut.
“Mangawuik indak sakali kameh, mamancuang indak sakali putuih“. Istillah ini berarti bahwa kepala adat korong tidak bisa berjalan sendiri tanpa ada dukungan dari anak muda dan masyarakat untuk membantu menyukseskan perhelatan tuan rumah. Ia meminta pendapat kepada anak muda yang hadir. Setelah diskusi panjang, kata sepakat hasil musyawarah akan didapat dan dikabarkan kembali kepada tuan rumah.
Adat “Naiak Anak Mudo” bentuk manifestasi demokrasi anak muda Minangkabau di daerah Padang Pariaman sebelum pesta perkawinan. Dalam proses kegiatan “Naiak Anak Mudo” terdapat nilai-nilai demokrasi yang dijalankan anak muda, diantaranya musyawarah mencari kata sepakat dan anak muda diberi kebebasan berpendapat dan menghargai pendapat orang lain yang berbeda pandangan. Selain itu, acara ini juga melatih anak muda untuk mengikuti proses pengambilan keputusan yang melibatkan semua orang, mengutamakan kata musyawarah mufakat dalam mengambil Keputusan, berani mengemukakan pendapat, siap menerima kritikan, masukan, membangun semangat kebersamaan, dan kegotongroyongan.
Saat ini banyak anak muda yang tidak tertarik lagi dengan kegiatan-kegiatan adat di daerahnya. Jangankan untuk mempelajari, mengikuti kegiatannya saja mereka tidak mau. Mereka enggan untuk terlibat. Padahal, jika dipelajari “Alua Pasambahan” sangat berguna untuk diri sendiri kelak dalam berumah tangga dan dalam kehidupan sosial.
Banyak manfaat yang diperoleh jika kita pandai dan memahami “Alua Pasambahan”. Selain meningkatkan public speaking, ilmu lobi kita juga terasah, berani tampil di depan orang banyak, dan dibutuhkan oleh masyarakat. Semakin hari semangat anak muda untuk mempelajari sastra lisan ini mulai terkikis oleh arus modernisasi. Jika fenomena ini tidak diperhatikan secara serius, kita menunggu kerusakan budaya dan moral generasi muda ke depannya. Mari galakkan kembali adat dan budaya di tengah masyarakat. Selain sebagai pelaku, kita juga harus menjadi penggerak.
15 Januari 2025
Padang Pariaman