Oleh: Andina Meutia Hawa
(Dosen Program Studi Sastra Indonesia Universitas Andalas)
Dalam bukunya yang berjudul Alih Wahana, Damono (2009) menjelaskan bahwa alih wahana merupakan perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain. Proses alih wahana akan menghasilkan jenis kesenian yang berbeda dari jenis kesenian asalnya, misalnya dongeng yang digubah menjadi film, buku, musik, teater, dan berbagai budaya populer lainnya, seperti permainan dan merchandise.
Adaptasi dongeng ke dalam bentuk karya seni lain sudah sering dilakukan. Berbagai kegiatan alih wahana memungkinkan cerita-cerita dongeng yang berasal dari tradisi lisan dan sudah berusia ratusan tahun, terus hidup dan relevan di era modern dan digital seperti saat ini. Alih wahana memungkinkan dongeng tradisional tetap hidup dan muncul dalam bentuk budaya populer, dengan berbagai interpretasi baru yang dimodifikasi dan disesuaikan dengan selera pasar dan nilai-nilai yang hidup pada zamannya. Namun, proses alih wahana juga tidak jarang mengubah esensi cerita. Proses alih wahana berpotensi menyederhanakan budaya lokal atau memasukkan unsur nilai-nilai modern.
Dongeng merupakan cerita rakyat yang disampaikan secara lisan. Pada awalnya, dongeng hadir sebagai media penyampaian nilai moral sekaligus hiburan. Dongeng juga kerap menghadirkan unsur magis dan fantasi. Dongeng tradisional cenderung merefleksikan budaya lokal, kepercayaan, nilai, dan norma masyarakat setempat, misalnya dongeng Cinderella yang memiliki beragam versi, mulai dari versi Eropa, Tiongkok, Timur Tengah, sampai dengan versi lokal yang dikenal dengan judul Bawang Merah Bawang Putih.
Seiring dengan perkembangan zaman dan masuknya budaya tulis, dongeng yang sebelumnya disebarluaskan secara lisan kini hadir dalam bentuk buku, seperti yang dilakukan Charles Perrault, penulis asal Prancis yang menulis ulang cerita Cinderella pada 1697, dan Grimm Bersaudara, yang mengumpulkan berbagai dongeng tradisional Eropa ke dalam buku mereka yang diberi judul Kinder- und Hausmärchen (Children and Household’s Tales) pada 1812.
Bentuk alih wahana dongeng ke dalam bentuk karya seni lain tampak pada produk perusahaan film Disney yang mengadaptasikannya ke dalam bentuk film dan animasi. Disney banyak mengubah cerita dongeng Eropa yang semula terkesan suram dan kelam menjadi lebih romantis agar berterima secara global dan dapat dinikmati oleh anak-anak dari berbagai bangsa. Dongeng juga banyak digubah ke dalam bentuk serial televisi dan film modern, misalnya Once Upon a Time, sebuah serial TV yang ide ceritanya menggabungkan berbagai dongeng klasik, dan Maleficent, yang ceritanya merupakan hasil pengadaptasian dari dongeng Snow White.
Alih wahana dongeng juga muncul dalam bentuk permainan, seperti Kingdom Hearts, sebuah permainan interaktif yang karakternya merupakan adaptasi karakter Disney. Adaptasi dongeng juga muncul dalam bentuk musikal broadway seperti Frozen, Wicked, dan sebagainya; hingga muncul dalam bentuk aksesoris, seperti boneka Labubu yang terinspirasi dari karakter dongeng dan mitologi Nordik.
Dari Kisah Mahabharata ke Sastra Anak
Novel Dru dan Negeri Lima Kerajaan (2016) karya Clara Ng merupakan karya sastra anak Indonesia yang tokoh-tokohnya terinspirasi dari kisah Pandawa Lima. Pandawa Lima merupakan tokoh pewayangan yang berasal dari kisah Mahabharata, teks epik Hindu dari India. Dalam budaya Indonesia wayang merupakan seni tradisional yang terkenal di Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang kerap menggunakan media boneka atau bayangan. Wayang menggarap cerita yang berasal dari mitos, legenda, atau dongeng.
Wayang bukan sepenuhnya dongeng, melainkan dalam beberapa pertunjukan kisah pewayangan kerap memasukkan elemen dongeng, seperti fantasi dan keajaiban, misalnya pada cerita raksasa dan dewa-dewi. Kesenian wayang hadir untuk menyampaikan pesan-pesan moral kebajikan, keadilan, kesabaran, dan lain sebagainya. Walaupun merupakan warisan budaya bangsa, terdapat beberapa kendala yang menyebabkan wayang kurang diminati generasi muda, seperti anggapan bahwa wayang adalah kebudayaan kuno yang tidak relevan dengan kehidupan modern. Berikut beberapa perubahan kesenian wayang ke sastra anak karena proses alih wahana.
Perubahan Nama Tokoh dan Latar Tempat
Novel Dru dan Negeri Lima Kerajaan mengisahkan Dru yang berasal dari Desa Patala. Dru adalah gadis yang nakal dan keras kepala. Suatu ketika, Dru menerima hukuman dari ibunya. Ia tidak boleh keluar rumah karena telah menghajar seorang anak laki-laki. Ketika sedang duduk di kamarnya, selendang yang dikenakan oleh Dru tertiup angin dan ia pun terjatuh ke dalam lubang. Kemudian, Dru terbawa ke Negeri Ajaib dan bertemu dengan Lima Kerajaan. Tokoh-tokoh Lima Kerajaan pada Novel Dru dan Negeri Lima Kerajaan didapatasi dari tokoh pada Kisah Pandawa Lima (Jawa) yang terinspirasi dari kitab Mahabharata asal India. Kata pandawa berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya ‘anak Pandu’ dalam kisah Mahabharata.
Pandu memiliki lima orang putra bernama Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Ia mempunyai kakak bernama Destarastra yang berasal dari kerajaan Astina. Pandu menikahi Dewi Kunti dan tetap menetap di kerajaan Astina bersama kelima putra mereka. Destrarasta menikah dengan Dewi Gandari dan memiliki 100 anak yang disebut sebagai Kurawa yang memiliki watak berkebalikan dengan Pandawa Lima. Destarastra menjadi pemimpin kerajaan Astina. Kitab Mahabharata mengisahkan perang Pandawa dan Kurawa memperebutkan tahta kerajaan Astina.
Novel Dru dan Negeri Lima Kerajaan mengandung banyak simbol yang diadaptasi dari kisah-kisah Pandawa Lima. Pandu pada Pandawa Lima disimbolkan sebagai Sang Pandu dalam kisah Dru. Ia merupakan ayah dari tokoh Pandawa Lima yang menghukum anak-anaknya sehingga kelimanya tersebar di lima kerjaaan. Kerajaan Astina dalam kisah Dru disimbolkan sebagai Hutan Topi yang akan menghubungkan Dru dengan lima kerajaan yang ditinggali oleh putra- putra Sang Pandu.
Nama kelima anak Sang Pandu mengalami perubahan. Namun, sifat dan watak mereka masih memiliki kemiripan dengan tokoh-tokoh yang terdapat dalam Pandawa Lima. Dalam Pandawa Lima, Yudhistira merupakan putra sulung dari Pandudewanata dan Dewi Kunti. Ia berperawakan sedang, ramping, dan mahir berperang. Yudhistira memiliki watak sederhana, bijaksana, sabar, adil, dan jujur. Dalam Dru dan Negeri Lima Kerajaan, sosok Yudhistira diubah namanya menjadi Raja Aditsu dari Kerajaan Pencuri. Raja Aditsu terlihat seperti gelandangan, tetapi memiliki sayap yang indah. Ia berwajah muram karena terpisah dengan istrinya, Putri Yis. Namun, dari segi watak ia memiliki kemampuan membaca pikiran, penyayang, pintar, tegas, dan jujur.
Bima adalah anak kedua dari Pandu dan Dewi Kunti. Ia merupakan sosok berbadan besar, kekar, berjambang, dan berkumis. Bima berbadan paling kuat di antara yang lain. Ia adalah sosok sederhana dan tidak suka memamerkan kepintarannya. Ia juga sosok penuh percaya diri dan berjiwa kepahlawanan berani serta bijaksana. Dalam Dru dan Negeri Lima Kerajaan, nama Bima berubah menjadi Wrekodara dari Kerajaan Merah. Dalam Bahasa Sanskerta, kata bima artinya ‘hebat, dahsyat, dan mengerikan’. Wrekodara adalah nama lain dari Bima. Ia berbadan besar, memiliki sifat jahil, senang mendatangi mimpi anak-anak sehingga membuat mereka bermimpi buruk. Meskipun begitu, ia juga adalah sosok yang tegas dan adil.
Arjuna merupakan anak tengah Pandu dan Dwi Kunti. Ia berwajah tampan, berbadan kecil, teapi sangat kuat dan mahir berperang. Arjuna memiliki sifat suka menolong, sopan, tingkah lakunya baik, dan disenangi banyak orang. Dalam novel Dru dan Negeri Lima Kerajaan, ia berubah nama menjadi Raja Parmadi dari Desa Pahlawan. Raja Parmadi merupakan Raja yang paling tampan, pipinya merah, berambut hitam, panjang bergelombamg, senyumnya manis, dengan gigi putih dan rapi. Ia memiliki watak yang ramah dan lembut, sekaligus pemberani dan tegas.
Nakula dan Sadewa yang merupakan saudara kembar. Keduanya berbadan badan kecil, tetapi kuat dan lincah, serta paras yang rupawan. Perbedaan antara Nakula dan Sadewa terletak dari dahi mereka. Nakula berwatak watak jujur, setia, sopan, setia, bijaksana, pemikir, dan penyimpan rahasia yang baik. Dalam kisah ini, Nakula berubah nama menjadi Raja Tanti Pala dari Hutan Logam. Tanti Pala digambarkan memiliki watak yang berbeda dengan Nala. Tanti Pala memiliki raut wajah yang suka cemberut, sedangkan Nala memiliki watak lebih tenang. Nala digambarkan sebagai sosok manusia setengah harimau. Tanti Pala dan Nala memiliki kemampuan telepati yang saling menghubungkan keduanya secara pikiran. Dengan demikian, bentuk alih wahana tokoh Pandawa Lima ke dalam tokoh Negeri Lima Kerajaan tidak hanya memungkinkan upaya pelestarikan kesenian tradisional, tetapi juga penanaman nilai-nilai pendidikan dan karakter pada anak-anak.
Perubahan Alur Cerita
Pandawa Lima merupakan bagian dari kisah epik Mahabharata, jenis sastra klasik India yang berpengaruh besar di wilayah Nusantara, terutama pada tradisi wayang Jawa dan Bali. Cerita Pandawa Lima berfokus pada pertempuran antara Pandawa Lima dan Kurawa dalam memperebutkan kerajaan Hastinapura. Pandawa Lima terdiri dari lima kakak beradik, yaitu Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa, yang merupakan putra Pandu Dewanata, raja Hastinapura. Pandu memiliki karakter bijaksana, berani, dan setia.
Kehidupan yang dialami oleh Panda Lima tidaklah mudah. Meskipun berstatus anak raja, kelimanya kerap diganggu oleh Kurawa. Salah seorang Kurawa yang bernama Duryodhana digambarkan berwatak cemburuan dan memilikih iri hati, sehingga ia berusaha merebut kembali kerajaan Hastinapura yang sudah diserahkan kepada Pandawa Lima. Selain itu, para Kurawa juga menggunakan berbagai cara culas untuk menjatuhkan para Pandawa. Pertarungan antara Pandawa Lima dan Kurawa semakin panas, dan berujung pada sebuah perang besar selama 18 hari dengan kemanangan di pihak Pandawa. Pandawa berhasil merebut kembali kerajaan Hastinapura, dan Yudhisitra, saudara tertua, didulat sebagai raja Hastinapura.
Novel Dru menceritakan petualangan seorang gadis kecil bernama Dru yang berasal dari Desa Patala. Ia berwatak keras kepala dan pemarah. Suatu hari, ia dihukum ibunya karena telah memukul seorang anak laki-laki. Akibatnya, ia tidak diizinkan keluar rumah. Dru sedang asyik melamun ketika ia mendapati selendang kesayangannya jatuh. Ia berusaha mengambil selendang tersebut, namun ia terjatuh di sebuah lubang yang membawanya ke negeri lima kerajaan.
Di negeri lima kerajaan ia bertemu dengan berbagai makhluk-makhluk aneh seperti Bibi Keong dan raja-raja seperti Aditsu, Wrekodara, Parmadi, Tanti Pala, dan Nala. Dru kemudian menyadari bahwa ia harus melakukan suatu misi agar dapat kembali ke rumah. Dalam novel digambarkan bahwa kelima raja sedang menerima hukuman dari Sang Pandu karena telah berbuat usil kepada anak-anak yang tinggal di bumi. Akibatnya, lima kerajaan yang semula merupakan sebuah kerajaan yang besar, menjadi terpisah dan kelimanya harus hidup berpencar-pencar. Kebaikan dan ketulusan Dru memiliki peranan besar dalam menyatukan kembali kelima kerajaan tersebut.
Bentuk alih wahana dalam segi perubahan alur cerita diperlihatkan pada fokus cerita. Kisah Pandawa Lima berpusat pada peperangan antara Pandawa dan Kurawa dalam memperebutkan kerajaan Hastinapura. Adapun dalam novel Dru, cerita berfokus pada petualangan Dru dalam menyelesaikan sebuah misi untuk menyelamatkan lima kerajaan. Selanjutnya, kisah Pandawa Lima sangat dipengaruhi oleh tradisi kebudayaan Hindu dan telah mengalami penyesuaian dengan nilai-nilai budaya Nusantara, terutama Jawa dan Bali. Kisah Pandawa Lima juga sarat akan nilai-nilai kebaikan seperti keadilan, kebenaran, keberanian, dan kesetiaan. Ceritanya ditujukan untuk mengajarkan pembaca bahwa kebaikan (Pandawa Lima) akan selalu menang atas kejahatan (Kurawa). Novel Dru ditujukan untuk pembaca anak-anak, sehingga di dalamnya terdapat elemen fantasi seperti kemunculan makhluk-makhluk ajaib. Ceritanya lebih banyak berkutat pada aspek petualangan tokoh utama, sehingga lebih menonjolkan nilai-nilai moral seperti keberanian, kebaikan, ketulusan, dan persahabatan.
Dengan demikian, dalam proses alih wahana Kisah Pandawa Lima yang merupakan jenis kesenian tradisional wayang ke dalam bentuk cerita anak, banyak terjadi perubahan, di antaranya nama tokoh, latar tempat, dan alur cerita. Perubahan-perubahan tersebut terjadi agar dapat menyesuaikan dengan medium, kebutuhan pembaca dan bagaimana cerita tersebut hendak disampaikan. Alih wahana dari kesenian tradisional wayang ke dalam bentuk novel sastra anak modern tidak hanya merupakan bentuk pelestarian sebuah karya seni, tetapi proses ini juga membantu menyebarluaskan sebuah cerita, agar dapat lebih menjangkau lebih banyak pembaca.