Remaja Generasi Z hampir setiap hari menghabiskan waktu dengan gadget. Bangun tidur, buka gadget. Makan sembari melihat gadget. Duduk bercerita dengan teman sambil melihat gadget. Sedang menunggu waktu istirahat, pasti membuka gadget. Remaja Gen Z bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Di depan layar ponsel, mereka bermain game, menonton video, dan berselancar di media sosial.
Penggunaan gadget yang berlebihan ini akan mengganggu aktivitas sehari-hari, bahkan juga berpotensi menurunkan produktivitas serta meningkatkan risiko gangguan mental, seperti stres, kecemasan, dan depresi. Hal ini terjadi karena perkembangan teknologi telepon seluler yang begitu masif dalam kurun waktu tiga dekade terakhir. Hal ini berdampak pada gaya hidup dan kesehatan mental, khususnya remaja milenial generasi Z (gen Z). Gen Z adalah generasi yang lahir pada periode tahun 1990-an hingga tahun 2000-an. Para gen Z adalah generasi pertama yang tumbuh di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Mereka menjadikan teknologi bagian penting dalam kehidupan mereka khususnya telepon seluler (gawai).
Pada awal kemunculannya telepon seluler hanya berfungsi sebagai alat komununikasi biasa. Sekadar menelpon atau mengirim pesan. Namun pada perkembangannya, produsen dan pengembang telepon seluler telah memasukan banyak fitur dan aplikasi. Fungsi telepon seluler pun bertambah, tidak hanya sebagai alat komunikasi tetapi juga sebagai sarana hiburan, belajar dan interaksi sosial. Lambat laun mereka akhirnya ketergantungan dengan teknologi ini dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Dibalik semua kemudahan dan manfaat yang diberikan, muncul dampak negatif terhadap kesehatan mental gen Z. Sejumlah penelitian menunjukan adanya peningkatan kasus gangguan mental di kalangan remaja akibat penggunaan teknologi secara berlebihan. Mayoritas gangguan mental dialami oleh gen Z akibat gawai adalah kecanduan. Studi menunjukkan bahwa kecanduan telepon seluler dapat menyebabkan perubahan pada pola tidur dan aktivitas otak. Remaja yang kecanduan cenderung mengalami kesulitan fokus dan lebih mudah merasa cemas ketika mereka tidak memegang ponsel. Kondisi ini memperburuk kesehatan mental mereka dalam jangka panjang.
Tak hanya soal kecanduan, hal lain yang gen Z rasakan adalah tekanan sosial dan perbandingan diri. Para remaja yang menghabiskan banyak waktunya berselancar di media sosial akan sering membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Mereka akan merasa tidak puas jika ada orang lain yang dilihatnya di media sosial hidupnya lebih baik atau tampak sempurna dibanding dirinya. Hal ini tentunya akan berdampak pada penurunan rasa percaya diri. Mereka akan merasa rendah diri dan akhirnya menimbulkan stres yang berkepanjangan.
Hal lain yang sangat menakutkan adalah perkara perundungan daring atau cyberbullying. Perundungan daring adalah salah satu dampak serius dari penggunaan telepon seluler yang berlebihan. Perundungan ini dapat terjadi di media sosial, aplikasi perpesanan, atau forum daring, di mana pelaku dapat dengan mudah menyerang korbannya secara anonim.
Dampak dari cyberbullying sangat merusak kesehatan mental remaja. Mereka yang menjadi korban sering kali mengalami gangguan emosional, kehilangan rasa percaya diri, menarik diri dari lingkungan sosial, bahkan merasa putus asa hingga berpikir untuk bunuh diri. Tidak seperti perundungan konvensional, cyberbullying sulit dihentikan karena dapat berlangsung selama 24 jam tanpa henti.
Bila kita perhatikan dengan seksama, banyak dari gen Z yang lebih suka menghabiskan waktunya sendiri atau mengisolasi diri. Mereka habiskan waktunya di kamar dan hanya keluar pada saat makan atau buang air saja. Atau meski pun mereka berkumpul namun tetap sibuk dengan gawai masing-masing. Tak ada interaksi atau pembicaraan. Kalau pun ada cuma sekadarnya saja. Parahnya lagi, remaja yang sibuk dengan gawainya sendiri kadang tidak mau tau dengan urusan atau masalah yang terjadi dalam lingkungan keluarga mereka sendiri.
Untuk mengatasi hal tersebut ada beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan diantaranya adalah pendidikan literasi digital. Pendidikan literasi digital bisa menjadi satu langkah penting untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi ini. Remaja perlu diajarkan bagaimana menggunakan teknologi secara bijak, termasuk memahami risiko yang mungkin timbul dan cara mengelola waktu penggunaan perangkat. Dengan pemahaman yang lebih baik, remaja dapat memanfaatkan teknologi secara positif tanpa mengorbankan kesehatan mental mereka.
Namun ada hal yang paling penting yakni peran dari orang tua dan lingkungan. Orang tua perlu mendidik dan mengatur penggunaan telepon seluler kepada anak-anak mereka sedari dini. Orang tua juga harus mengawasi apa saja permainan atau aplikasi media sosial yang sedang perhatian anak-anaknya. Para orang tua harus mempunyai tanggung jawab dan jangan terlena dengan kesibukan pekerjaan sehari-hari hingga lalai terhadap perkembangan anak.
Teknologi telepon seluler telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan remaja Gen Z. Meski membawa manfaat dalam hal komunikasi dan akses informasi, dampak negatif terhadap kesehatan mental tidak dapat diabaikan. Kecanduan, tekanan sosial, cyberbullying, gangguan tidur, dan isolasi sosial adalah beberapa masalah utama yang dihadapi remaja akibat penggunaan telepon seluler.
Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, diperlukan manajemen penggunaan gadget dari diri sendiri. Bangun tidur diusahakan tidak membuka gadget, tetapi melihat ke luar rumah, menghirup udara segar dan berolahraga. Gadget hanya dibuka saat aktivitas pagi sudah selesai. Membuka gadget juga hanya untuk melihat pesan penting. Setelah itu, remaja harus fokus pada tugasnya. Belajar di sekolah atau di kampus. Gadget hanya dibuka saat ada pesan masuk. Remaja Gen Z harus memfokuskan mata dan pikiran pada pelajaran.
Setelah selesai melaksanakan kewajiban belajar, tubuh butuh istirahat. Remaja Gen Z harus mengistirahatkan mata dan pikiran. Tidur siang sejenak adalah solusi terbaik. Lalu, kapan remaja menggunakan gadget. Mereka bisa membuat jadwal bermain gadget pada sore hari saat tidak ada aktivitas. Waktunya juga tidak boleh lama-lama. Hanya satu jam. Jika ada aktivitas, bisa diganti ke malam hari. Dengan demikian, remaja tidak akan kecanduan karena fokus hidupnya bukan pada gadget, tetapi pada kewajiban-kewajiban sebagai anak dan siswa di sekolah.
Untuk mewujudkan ini, orang tua, pendidik, dan pemerintah juga harus berupaya bersama memantau apa yang dilakukan remaja. Remaja harus diberikan pendidikan literasi digital, membatasi waktu penggunaan perangkat, serta menciptakan lingkungan yang mendukung. Orang tua harus sering mengajak anak berbicara dan beraktivitas bersama. Guru harus memberi tugas tambahan yang dapat menggali kemampuan siswa. Pemerintah harus menetapkan jadwal belajar, seperti 18.00 s.d. 20.00 setiap hari. Tivi dan perangkat elektronik harus dimatikan saat itu. Dengan hal tersebut, diharapkan remaja dapat mengalihkan perhatiannya dari gadget. Hal ini akan menyebabkan mereka menggunakan teknologi secara bijak tanpa mengorbankan kesehatan mental.
Referensi
- Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. (2021). Literasi Digital untuk Generasi Muda.
- Putri, A. R. (2022). Pengaruh Media Sosial terhadap Kesehatan Mental Remaja. Jurnal Psikologi Indonesia.
- Setiawan, B. (2023). Cyberbullyingdan Dampaknya terhadap Kesehatan Mental Generasi Z. Kompasiana.
- Rahmawati, L. (2021). Dampak Penggunaan Smartphone pada Remaja. Jurnal Teknologi dan Pendidikan.
- Susanti, D. (2022). Manfaat dan Risiko Teknologi terhadap Kesehatan Mental. Pusat Kajian Psikologi Universitas Indonesia.
Penulis
Kheisya Rahma Putri
Mahasiswa D-3 Prodi Kebidanan Universitas Dharmas Indonesia