Oleh: Jihan Putri Utami
(Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Pada masa kanak-kanak kita sudah disuguhkan dengan sajian karya sastra lama berupa dongeng. Dongeng adalah cerita yang tidak benar-benar terjadi dan dalam banyak hal sering tidak masuk akal (Nurgiantoro, 2005). Dalam dongeng cerita yang ditampilkan kerap kali hasil dari petualangan imajinasi sehingga sering tidak masuk akal. Meskipun tidak masuk akal, dongeng tetap dapat dinikmati tanpa harus memikirkan latar belakang atau logika yang berlaku secara umum.
Dongeng bisa dikategorikan sebagai sastra lisan karena penyebarannya yang dilakukan melalui mulut ke mulut. Hal ini juga menyebabkan terdapat versi yang berbeda-beda dalam satu cerita dan dianggap sebagai milik bersama karena penulisnya anonim. Dongeng sudah dikenal sejak 5.000 tahun yang lalu karena ditelusurinya dongeng Beauty and the Beast yang diperkirakan telah ada sejak 400 tahun yang lalu.
Dongeng memiliki fungsi sebagai media hiburan sekaligus mendidik dengan warisan nilai-nilai moral kepada pembacanya dan tidak jarang dongeng digunakan sebagai media protes sosial. Seperti yang dikemukakan oleh Danandjaja (2007), dongeng diceritakan terutama untuk hiburan walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral), atau bahkan sindiran.
Ajaran moral dalam dongeng kadang tidak secara terang-terangan disampaikan dan biasanya ditampilkan melalui tokoh cerita. Terdapat tokoh yang antagonis maupun protagonis, dan pembaca diharapkan mengambil hikmah dari setiap sikap dan perilaku para tokoh.
Meskipun masyarakat Nusantara sudah lama mengenal dongeng, tidak ada catatan yang menjelaskan tahun berapa dongeng mulai dikenal di Nusantara. Hal itu disebabkan sangat kuatnya budaya sastra lisan di tengah-tengah masyarakat Nusantara. Dongeng yang ada di Nusantara memiliki struktur yang mirip antar daerah dan kadang nyaris sama. Hanya objeknya yang berganti nama atau jenisnya.
Dongeng Dalam Balutan Iklan Modern
Dunia sudah memasuki revolusi industri 4.0 dan society 5.0. Angela Merkel (2014) berpendapat bahwa industri 4.0 adalah transformasi komprehensif dari keseluruhan aspek produksi di industri melalui penggabungan teknologi digital dan internet dengan industri konvensional, sedangkan Society 5.0 adalah keadaan masyarakat (manusia) yang memanfaatkan teknologi yang ada pada era sebelumnya (era revolusi 1.0 hingga 4.0). Pada socity 5.0 ini, tiga manusia menjadi subjek (pengguna) dan teknologi sebagai objek (yang digunakan).
Dengan semakin berkembangnya teknologi, manusia berlomba-lomba menciptakan inovasi yang banyak mengubah cara manusia menjalankan rutinitas sehari-hari. Dengan perkembangan society 5.0, manusia jauh lebih sadar bagaimana kualitas hidup harus ditingkatkan yang dimulai dengan meningkatkan sistem pendidikan, kesehatan, dan bidang lainnya.
Pemanfaatan teknologi yang sangat nyata dan dekat dalam kehidupan sehari-hari dan dapat digunakan oleh semua kalangan usia mulai dari anak-anak hingga dewasa ialah pada platform digital yang dapat diakses pada smartphone, komputer, ataupun televisi. platform digital banyak digunakan sebagai media penunjang ekonomi maupun edukasi. Salah satu merek minuman sirup di Indonesia menggabungkan teknologi dan dongeng tradisional sebagai penunjang pemasaran produknya.
Siapa yang tidak tau dengan dongeng timun mas? “Timun mas” sebuah dongeng tradisional dari Jawa Tengah yang sudah melegenda dan menjadi kisah yang rasanya diketahui seluruh anak-anak sejak masa lampau. Dongeng yang menceritakan tentang perempuan tua sebatang kara yang ingin memiliki anak. Anak yang dimiliki perempuan tua tersebut lahir dari biji timun yang diberikan oleh raksasa di hutan sehingga diberi nama timun mas, namun raksasa berkata akan meminta kembali anak itu ketika sudah berusia enam tahun. Ketika waktu itu tiba, perempuan tua mengingkari janjinya dan enggan mengembalikan timun mas kepada raksasa.
Marjan selaku merek sirup terkenal di Indonesia mengadaptasi dongeng timun mas sebagai media iklan produknya. Iklan tidak ditayangkan setiap saat melainkan saat bulan puasa tiba. Marjan menyajikan iklan dengan bentuk cerita bersambung yang disesuaikan dengan bulan puasa, misal pada minggu pertama, pertengahan, lalu menjelang hari raya. Hal tersebut menimbulkan animo masyarakat Indonesia untuk menyaksikan bagian demi bagian iklan tersebut.
Apa yang dilakukan Marjan secara tidak langsung membantu dalam hal pelestarian dongeng tradisional, di era teknologi tidak menutup kemungkinan bahwa generasi sekarang tidak mengenal dongeng timun mas dikarenakan sudah tidak akrab dengan buku-buku. Namun, dengan adanya iklan Marjan membantu menghidupkan lagi dongeng yang lambat laun ditinggalkan.
Penyesuaian cerita untuk kebutuhan iklan
Seperti yang disebutkan di awal bahwa dongeng milik bersama karena penulisnya yang anonym sehingga cerita dapat disesuaikan dengan wilayah, waktu, dan kebutuhan. Pada cerita yang biasa kita kenal, timun mas memiliki bekal senjata yang digunakan untuk melawan raksasa berupa jarum yang jika dilempar maka akan jadi bambu, lalu selanjutnya garam yang jika dilempar akan menjadi lautan, dan yang terakhir adalah terasi yang menjadi lumpur yang akan menenggelamkan sang raksasa sehingga raksasa mati dan timun mas kembali kepada ibunya.
Namun, iklan Marjan justru menampilkan hal yang berbeda. Dalam iklan cerita disuguhkan secara menarik dan humoris yang disesuaikan dengan audiens atau target pasar sirup Marjan. Timun mas dan raksasa saling kejar mengejar bukan di hutan seperti cerita yang selama ini kita kenal, melainkan di gang-gang perumahan dan dianggap biasa oleh masyarakat sekitar. Pada bekal senjata, juga ditampilkan berbeda. Timun mas tidak menggunakan jarum ataupun garam melainkan dengan durian yang sudah disambung layaknya tali dan digunakan untuk mengikat raksasa. Pada akhir cerita, raksasa juga tidak mati, melainkan minum sirup Marjan bersama Timun Mas dan masyarakat sekitar saat hari raya. Meskipun cerita yang disampaikan berbeda, tetap ada nilai moral yang disampaikan dalam iklan Marjan yang tidak menghilangkan fungsi dongeng yakni mendidik.
Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa dongeng dapat kita adaptasi dan sesuaikan dengan kebutuhan waktu serta tujuan dan tetap dapat diterima oleh audiens kontemporer dengan tidak menghilangkan fungsi dari sebuah dongeng.