Salman Herbowo
(Kolumnis Rubrik Renyah)
“Jika ragu lebih baik kembali” begitu pesan yang pernah saya lihat di sebuah ruangan. Tapi kali ini, pesan itu datang langsung dari seorang teman. Bukan tanpa alasan, ia mengatakannya saat kami mulai bingung dan ragu dengan arah perjalanan.
Suatu hari, saya dan beberapa teman melakukan perjalanan. Tujuannya sederhana, hanya ingin melepas penat (gabut). Awalnya, kami merasa yakin dengan rute yang dipilih. Namun, semakin jauh melaju, semakin bertemu jalan buntu. “Haruskah kita balik lagi?” seru seorang teman.
Perjalanan adalah bagian tak terpisahkan dari hidup kita. Baik itu perjalanan fisik dari satu tempat ke tempat lain, atau perjalanan hidup yang kita jalani setiap hari. Sepanjang perjalanan, kita sering berhadapan dengan berbagai pilihan, keputusan, dan tentunya persimpangan yang harus dilewati.
Saat berada di persimpangan, dua hal bisa terjadi: memilih jalan yang benar atau tersesat. Kadang, kita hanya mengikuti intuisi atau keinginan sesaat, tanpa memikirkan arah yang tepat. Hingga akhirnya, kita sadar telah berjalan terlalu jauh di jalan yang salah. Seperti perjalanan kami, rute yang awalnya terlihat mudah bisa berubah menjadi rumit dan membingungkan di tengah jalan.
Namun, apa yang bisa kita lakukan saat tersesat? Sederhana, berhenti atau kembali. Memutar arah. Ini mungkin terdengar mudah, tetapi dalam praktiknya sering kali memerlukan keberanian yang besar. Tidak semua orang berani mengakui kesalahan dan memilih untuk kembali ke titik awal. Rasa malu, ego, atau rasa lelah bisa menjadi penghalang utama.
Terkadang, memilih untuk kembali justru membawa kita pada jalan yang lebih baik. Kembali bukan tanda menyerah, tapi kesempatan untuk memperbaiki arah dan membuat keputusan yang lebih tepat. Dalam hidup, mengakui kesalahan dan memperbaikinya adalah bagian dari proses belajar. Setiap persimpangan memberi pelajaran, dan tersesat bisa membuka pandangan baru tentang apa yang sebenarnya kita cari.
Namun, dalam perjalanan, ada kalanya kita perlu berhenti, entah untuk menenangkan pikiran atau sekadar mengisi perut yang lapar. Saat tersesat, berhenti sejenak bisa menjadi langkah bijak, setidaknya untuk bertanya pada orang sekitar tentang arah yang benar. Berhenti bukan berarti menyerah, melainkan memberi waktu untuk berpikir jernih dan menemukan jalan yang lebih baik.
Pada akhirnya, perjalanan—baik di jalan raya maupun dalam hidup—bukan tentang seberapa cepat kita tiba di tujuan, tetapi bagaimana kita menikmati setiap langkahnya, termasuk saat tersesat. Tersesat kadang seperti bonus plot twist yang membuat cerita menjadi lebih seru. Dan siapa tahu, bisa saja di warung kecil tempat kita “tersesat” menemukan kopi enak dengan pisang goreng hangat.