Puisi-puisi Arifah Prima Satrianingrum
Segera Menghilang
Kepada senja aku berseru
Tentang sebait rindu
yang lama bersarang dalam kalbu
Apa kabar dirimu lama tak bertemu?
Kudengar kau semakin bahagia
Apa gerangan karena si dia?
Ah, sudah lama kuduga
Ternyata…
Tentang senja yang semakin pudar
Apakah aku harus tegar?
Selamat tinggal senja yang hilang
Kini aku berpindah layang.
Padang, 2024
Akhir Realita Ini
Ini bukan kisahku, tapi mereka
Mereka yang dulu mencinta
Mereka yang dulu berjanji untuk tetap setia
Meski orang tua tak suka
Hari demi hari kudengar ceritanya
Tiap paragraf, kudengar bahagia
ambil tertawa menceritakan kisahnya
Mengalahkan cerita Rama dan Sinta
Selang berlalu, ada sendu di matanya
Ada pilu menyinggahinya
Hingga uraian air mata membasahi pipinya
Dan aku terdiam mendengar kisahnya
“Ada yang mendua”
Seperti biasa, aku diam tanpa suara
“Ada sosok lain”
Rintik hujan datang tanpa bisa kuseka
Diam dan terpana melihat tingkahnya
Akhirnya kusadari akhir kisah mereka
Yang dulunya ingin bersama
Yang dulunya bermanis kata
Kini hanya wacana belaka
HAHA!
Padang, 2024
Manipulasi Imaji
Menulis puisi, aku pura-pura teringat dirimu
Padahal aku tidak tahu siapa kamu
Yang selalu kutulis dalam bait puisi sendu
Berdiksi roman syahdu
Ketika kutulis mengenai rindu
Padahal aku tidak sebenarnya begitu
Mendengarnya saja aku malu
Apalagi menorehkannya dalam sajak rindu
Siapa gerangan dirimu
yang berhasil memanipulasi imajiku?
Padang, 2024
Sampah Hari Lalu
Mungkin hasil chatting-an kita hari ini
Tak kan terekam dalam jejak memori
Walau ratusan kali kaukirimkan sajak
Walau ribuan kali kautanyakan
hal yang sudah biasa terjadi
Dan kau tahu itu
Kejam
Memang
Aku tak ingin mengingat yang tak pasti
Tak ingin terhanyut dalam arus perasaan hati
Agar tak ada kenangan yang tak perlu kuingat lagi
Tentang apapun itu
Termasuk dirimu
Terima kasih telah bersedia menemani
Terima kasih telah mewarnai hari
Melalui chatting-an yang tak berarti
Setidaknya kau tak membiarkan sepi
datang menghampiri.
Padang, 2024
Arifah Prima Satrianingrum, perempuan bersuku Chaniago berasal dari Padang, Sumatera Barat. Memiliki hobi melihat langit dan mengambil foto. Pendidikan terakhir magister pendidikan anak usia dini. Di sela-sela mengajar, ia juga senang menulis. Ramuan Aksara Rindu dan Merangkai Makna di Perjalanan merupakan buku yang telah ia terbitkan. Sila berteman di instagram @arifahsatria dan tumblr @arifahsatria.
Resah Berpindah Layang
Oleh Ragdi F. Daye
(buku kumpulan puisinya Esok yang Selalu Kemarin, 2019)
Mungkin hasil chatting-an kita hari ini
Tak kan terekam dalam jejak memori
Walau ratusan kali kaukirimkan sajak
Walau ribuan kali kautanyakan
hal yang sudah biasa terjadi
Karya sastra adalah seni yang memiliki unsur budi, imajinasi, dan emosi. Selain itu disebut juga sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan emosional. Karya Sastra pun merupakan hasil dari ekspresi individual penulis. Puisi adalah jenis sastra dengan bahasa yang terikat oleh irama, rima, serta susunan bait dan larik. Puisi mampu mengungkapkan emosi maupun pengalaman penulis yang berkesan kemudian dituangkan dengan gaya bahasa yang berima sehingga semakin menarik untuk dibaca (Hasan, 2023).
Puisi dapat dikatakan sebuah karya sastra yang berwujud bahasa-bahasa indah yang dituangkan dalam bentuk tulisan, karya sastra yang dihasilkan berdasarkan sebuah pemikiran atau sebuah perasaan penyair dengan menggunakan keindahan bahasa yang terfokus pada bunyi, irama, dan penggunaan diksi atau gaya bahasa. Setiap puisi memiliki beberapa struktur, di antaranya yaitu struktur fisik dan struktur batin.
Struktur fisik berkaitan dengan aspek bahasa yang digunakan, sedangkan struktur batin berkaitan dengan isi atau pesan puisi tersebut. Struktur fisik puisi terdiri atas, diksi (pemilihan kata-kata), kata konkret, pengimajian (pencitraan), bahasa (figuratif), perwajahan puisi (tipogratif). Struktur batin puisi terdiri dari tema/makna (sense), rasa (feeling), nada (tone), dan amanat atau maksud (itention).
Menurut Suharianto (2005: 47) nada dan suasana seperti yang dirasakan, semata-mata bukan disebabkan oleh makna kata yang dipakai penyairnya, melainkan juga oleh dukungan pilihan bunyi kata-katanya. Bahkan, unsur terakhir tersebut yang terasa amat dominan karena adanya asonansi-asonansi maupun aliterasi-aliterasi yang sengaja dipasang penyair secara horisontal maupun vertikal.
Nada mengungkapkan sikap penyair terhadap pembaca. Dari sikap itu terciptalah suasana puisi. Ada puisi yang bernada sinis, protes, menggurui, memberontak, main-main, serius (sungguh-sungguh), patriotik, belas kasih (memelas), takut, mencekam, ntai,masa bodoh, pesimis, humor (bergurau), mencemooh, kharismatik, filosofis, khusyuk, dan sebagainya. Puisi mengungkapkan perasaan penyair (Waluyo 2003: 37).
Pada edisi kali ini, Kreatika memuat empat buah puisi Arifah Prima Satrianingrum. Keempat puisi tersebut berjudul “Segera Menghilang”, “Akhir Realita Ini”, “Manipulasi Imaji”, dan “Sampah Hari Lalu”.
Puisi pertama, “Segera Menghilang”, terasa sangat bersungguh-sungguh dalam memilih rima (persamaan bunyi di akhir kata) pada akhir setiap baris (bait pertama –u, kedua –a, ketiga –ar, dan bait keempat –ang). Penggunaan rima ini membuat puisi jadi enak dibaca dan berhasil menciptakan suasana gelisah.
Isi puisi ini mengungkapkan kegelisahan seseorang yang bergelut dalam kerinduan pada orang yang telah lama mengisi tempat istimewa di hatinya. Penulis menggunakan diksi ‘senja’ untuk menghadirkan visual suasana indah sekaligus harapan. Imaji senja yang oranye kemerahan selalu memukau membuat orang rela berhenti dari aktivitasnya untuk menikmati momen keindahan senja yang sementara.
Namun pada puisi ini, ‘senja’ yang indah itu ternyata harus diterima ketika ia memudar dan hilang. Di dalam kehidupan, harapan dan kenyataan memang tidak selalu berada di satu garis lurus. Ketika kenyataan tidak sesuai harapan, hati pun terasa pedih dan terluka, meskipun sebagai sesuatu yang fana, ia akan terlupakan seiring bergulirnya waktu.
Puisi kedua, “Akhir Realita Ini”, masih bergumul dengan romantisme yang fana. Dibanding puisi pertama yang cenderung padat, puisi ini lebih naratif. Penulis memulai puisinya dengan gambaran ‘Ini bukan kisahku, tapi mereka/ Mereka yang dulu mencinta/ Mereka yang dulu berjanji untuk tetap setia/ Meski orang tua tak suka’. Kata ‘kisah’ yang muncul pada baris pertama mengindikasikan narasi tersebut secara gamblang.
Bait demi bait puisi ini juga menguak alur kronologis ‘kisahnya yang mengalahkan cerita Rama dan Sinta’. Kehadiran tokoh ‘aku’ lirik di sini menjadi narator yang mengisahkan perjalanan cinta mereka yang berakhir sebagai ‘wacana belaka’. Frasa ‘wacana belaka’ menjadi petanda bahwa hubungan yang seolah ‘mengalahkan cerita Rama dan Sinta’ tersebut hanya sia-sia belaka karena komitmennya tak sampai pada ikatan yang lebih kekal. Arifah pun secara sinikal mengakhiri puisinya dengan ‘HAHA!’.
Puisi ketiga “Manipulasi Imaji” memberikan gambaran proses kreatif seorang penulis dalam berkarya. Bila pembaca mengira apa yang ditulis seorang penyair adalah realitas kehidupannya, maka puisi ini telah membantahnya. Arifah mengungkapkan ‘Menulis puisi, aku pura-pura teringat dirimu/ Padahal aku tidak tahu siapa kamu/ Yang selalu kutulis dalam bait puisi sendu/ Berdiksi roman syahdu’.
Lebih lanjut Arifah menjelaskan ‘Ketika kutulis mengenai rindu/ Padahal aku tidak sebenarnya begitu/ Mendengarnya saja aku malu/Apalagi menorehkannya dalam sajak rindu’. Puisi Arifah memberi jawaban dan klarifikasi bahwa meskipun puisi adalah ekspresi penyair, namun tak semuanya merupakan fakta sosiologis kehidupan penyair, puisi adalah karangan, pura-pura, karya fiksi belaka.
Sebuah puisi, lazimnya memiliki arti yang berlapis-lapis atau multiinterpretasi. Kata atau rangkaian kata dalam struktur puisi mengandung banyak kemungkinan makna, tergantung referensi yang dimiliki pembaca. Ketika referensi pembaca sejalan dengan penulis, pembaca akan lebih dapat menyusup masuk ke dalam puisi. Pertanyaan kunci di bait terakhir ‘Siapa gerangan dirimu/ yang berhasil memanipulasi imajiku?’ memberi sentakan imajinatif sehingga pembaca kembali dibawa ke realitas fiktif tentang khayalan-khayalan yang sering menguasai pikiran.
Puisi terakhir “Sampah Hari ini” senada dengan puisi-puisi sebelumnya, khususnya puisi kedua, “Akhir Realita Ini”. Kesementaraan, kefanaan, dan kesia-siaan diungkap melalui larik ‘Mungkin hasil chatting-an kita hari ini/ Tak kan terekam dalam jejak memori’. Di dalam sistem operasi komputer ada aplikasi Deep Freeze yang apabila diaktifkan maka seluruh aktivitas yang dilakukan tidak akan tersimpan di dalam memori komputer yang sudah ‘dibekukan’, seperti jejak pencarian informasi ataupun dokumen yang diketik. Semuanya tak akan meninggalkan bekas.
‘Kejam/ Memang/ Aku tak ingin mengingat yang tak pasti’, Arifah mengakuinya. Semua interaksi antara ‘aku’ dan ‘kamu’ lirik dalam puisi ini adalah seuatu yang tak pasti sehingga tidak perlu menghabiskan energi untuk mengingatnya. ‘Aku tak ingin mengingat yang tak pasti/ Tak ingin terhanyut dalam arus perasaan hati/ Agar tak ada kenangan yang tak perlu kuingat lagi/ Tentang apapun itu/ Termasuk dirimu’, pernyataan ini merupakan semacam komitmen ketika menjalani hubungan yang tak ada ikatan kuat, seperti pernikahan resmi yang memiliki keuatan hukum yang sah.
Meski begitu penulis tetap menampilkan sisi manusiawi ‘aku’ lirik yang terlena oleh perasaan sentimentil. Penulis melalui ‘aku’ lirik tetap menyisihkan sedikit simpati kepada ‘kau’ yang tidak dijanjikan untuk diingat, tapi perlu diberi ucapan terima kasih: ‘Terima kasih telah bersedia menemani/ Terima kasih telah mewarnai hari/ Melalui chatting-an yang tak berarti/ Setidaknya kau tak membiarkan sepi/ datang menghampiri.’ Apakah ‘aku’ lirik tidak konsisten? Inilah kegalauan manusia sebagai makhluk sosial yang dipotret Arifah, sebuah tindakan kekejaman yang manis dalam bentuk menghargai kehadiran seseorang sebatas pengisi sepi.
Puisi dapat lahir dipicu oleh persoalan hidup yang dialami oleh penyair secara pribadi. Inspirasi itu dapat melahirkan puisi yang personal dan cenderung biografis. Penyair yang kreatif dapat menyadap dan menyerap pengalaman hidup orang lain dan merefleksikan ke dalam puisi yang tak kalah personal setelah meramu dengan pengalaman pribadi emosionalnya sehingga mampu mengecoh pembaca. Puisi seperti itu biasanya lebih nikmat dibaca. (*)
Tentang Kreatika
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan bagi penulis pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post