Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Beberapa hari lalu, saya bertemu cuitan di X yang oleh penggunanya terpikirkan tentang “Orang gila mana yang kepikiran bikin kopi dari biji kopi di eek luwak?” Cuitan itu pun ramai mendapat beragam komentar yang juga melontarkan pertanyaan senada. Misalnya, “Orang gila mana yang kepikiran bikin kopi dari daun kopi?”
“Iya juga, ya? Kok bisa kepikiran?” Batin saya ketika membaca cuitan tersebut dan beberapa komentar yang menyertainya.
Kopi luwak tergolong kopi khas lokal yang cukup tersohor di kalangan pecinta kopi. Kopi khas lokal lainnya yang teringat oleh saya ialah kawa daun. Pernah suatu kali saya menyeduh kopi dengan pengolahan dan penyajian yang unik ini dengan menyaksikan secara langsung proses pembuatannya.
Ketika itu, saya berkesempatan menemani adik-adik di Mapala untuk pemantapan gua di Tanah Datar. Gua tersebut terletak di Nagari Sungai Patai, Kecamatan Sungayang, Tanah Datar. Akses menuju lokasi gua terbilang cukup sulit. Beruntung saat itu beberapa pemuda setempat menemani saya dan teman-teman menuju gua tersebut.
Jalan mendaki, menurun, melewati kebun-kebun warga, hingga hutan penuh belukar pun kami lewati. Namun, penat tak begitu terasa karena selalu ada saja lelucon yang dilontarkan oleh rombongan, baik oleh teman-teman saya maupun pemuda-pemuda yang menemani kami. Bila merasa agak kelelahan, kami pun sepakat untuk istirahat sejenak. Di kala istirahat yang sebentar ini pulalah kami bisa mencicip camilan yang dibawa dalam ransel masing-masing.
Kami sampai di lokasi kala mentari sore hampir tenggelam. Karena waktu menjelang gelap tidak banyak, rombongan segera berbagi tugas. Ada yang mendirikan tenda, mengumpulkan kayu untuk membuat api unggun, mengambil air, dan memasak makan malam.
Setelah makan malam dan melakukan pengarahan untuk kegiatan esok hari, satu-persatu rombongan mulai beristirahat di dalam tenda. Sebagian lainnya memilih untuk bersantai sembari menyeduh kopi dan kue kering di dekat api unggun. Saya termasuk yang memilih istirahat dengan cara ini. Pada kesempatan inilah pertama kalinya saya mencicipi kawa daun sembari menyaksikan pengolahannya sedari awal.
Salah seorang pemuda yang kami panggil Uda sibuk menyangai ranting daun kopi berdaun rimbun di perapian. Semula saya tidak tahu Uda tersebut hendak membuat apa. Daun itu disangainya hingga kering. Daun yang kering mudah dihancurkan hingga menyerupai serbuk teh.
“Di zaman Belanda, beginilah dulu tetua kita bila mau minum kopi. Bijinya disetor ke Belanda, untuk kita tinggal daunnya,” ujarnya sembari menyiram serbuk daun kopi tadi dengan air panas. Warnanya airnya mirip seperti teh, namun lebih pekat. Dari dalam ranselnya, ia mengeluarkan tiga buah wadah tempurung dan membagikannya ke saya dan teman di sebelah saya.
“Biar menyeduhnya mirip di kedai kawa daun yang sebenarnya,” ujar Uda itu. Ia menambahkan beberapa potong kecil saka (gula aren) ke wadah tempat ia minum, lalu menawari kami. “Supaya terasa manis,” sebutnya.
Teman saya memilih mencampurnya dengan susu kental manis. Rasanya jadi mirip kopi susu dan juga teh susu yang agak kental. Bila dicampur dengan saka juga terasa enak, terlebih di udara malam tengah hutan yang semakin dingin kala itu.
Begitulah asal-mula kawa daun yang dikenal banyak masyarakat di Sumatra Barat. Namun rupanya ada kisah lain di balik minuman lokal yang khas ini. Pakar sejarah, Gusti Asnan, menyebut bahwa kopi kawa daun telah dikenal masyarakat Minang sebelum kedatangan Belanda. Seperti yang dikutip di Kompas.com, pakar sejarah dari Universitas Andalas ini menyebut orang Minang di kala itu tidak mengonsumsi biji kopi untuk minuman.
Kawa daun rupanya telah menjadi minuman khas orang Minangkabau sejak lama. Hingga saat ini pun kepopulerannya tidak tergerus masa. Di Sumatra Barat tidaklah sulit untuk menemukan kedai kopi ini yang biasanya disebut sebagai Dangau Kawa Daun.
Discussion about this post