“Maaf tadi aku nyusahin kalian, sampai kalian harus gotong aku tadi, hampir aja kita telat gara-gara aku” Ucap salah satu dari mereka. “Santai aja Lan, toh kita nggak bener-bener terlambat kan?” Ucap salah satu dari mereka, namanya Matahari, sama seperti namanya wajahnya selalu bersinar dan dia suka m engenakan pakaian warna terang. “Iya, lagian juga kau nggak seberat itu sih, malah ringan banget kalo menurutku” Kata temannya yang lain yang biasa dipanggil Bumi.
Anak terakhir namanya Bulan, anak yang jatuh tadi. Tiga anak itu adalah sahabat dekat yang selalu bersama sejak lima tahun yang lalu. Mereka dimasukkan kedalam pondok yang dipimpin oleh seorang kiai yang bernama K.H. Langit, kakek yang tadi mereka sapa. Bulan terdiam setelah mendengar perkataan Matahari dan Bumi tadi.
Malam hari setelah isya, Bulan duduk di bawah pohon mangga di samping musholla. Matahari dan Bumi sudah pergi mengaji, kelas malam mereka bertiga berbeda. Bulan masih memikirkan saat mereka hampir terlambat tadi, bukan soal kesalahannya, dia sudah cukup dewasa untuk mengerti hal tersebut. Dia memikirkan dirinya sendiri yang sepertinya selalu menjadi beban bagi Matahari. Selama ini dia selalu mengidolakan sahabatnya itu, tapi dia tidak pernah bisa menjadi seperti dia.
Seseorang berjalan menghampiri Bulan “Assalamualikum” “Waalaikumsalam, eh mbah yai” Bulan langsung berdiri dan menyalami Kiai Langit. “Sini duduk sama Mbah” Ajak Kiai Langit padanya, Bulan pun menurut. “Ono opo toh nduk, ket mau mbah nggate’ake, kok koyo ono mas’alah?[5]” Tanya Kiai Langit. “Ra nopo-nopo kok mbah6” Jawabnya menyembunyikan isi hatinya. Si Kiai hanya tersenyum “Ya sudah kalo memang tidak ada apa, sini coba mbah udah lama nggak nyoba ngelatih kalian bertiga silat, coba tes udah nambah berapa ilmunya” Ajak sang Kiai sembari berdiri lalu memasang kuda-kuda. Sesungguhnya Kyai Langit tahu apa yang mengganjal hati Bulan tapi ia biarkan sampai Bulan mau jujur sendiri.
Setengah tahun berlalu, selama setengah tahun itu pula Bulan selalu mengelak setiap kali ditanya oleh Kiai Langit soal masalahnya. Malam ini malam kesekian sejak latihan silat khusus Bulan bersama Pak Kiai, setelah malam itu sang kiai selalu melatih bulan secara langsung hampir setiap malam. Sesekali diselingi dengan kegiatan lain seperti belajar memainkan wayang kulit, hadrohan atau hal lainnya. Malam dengan sabar sang Kiai menanyakan kembali masalah Bulan, dan entah alasan apa malam ini bulan menceritakan masalahnya atas rasa tidak percaya dirinya.
“Bulan, tidak apa jika engkau memiliki idola, tapi jangan sampai karena terlalu fokus pada idola kamu jadi terlalu banyak membanding-bandingkan dirimu dengan idolamu” Kiai Langit menasihatinya singkat, tapi entah karena kharismanya atau karena semua yang dikatakannya benar, Bulan tidak merasa sedang diomeli atau semacamnya. Dia termenung sejenak meresapi kata-kata gurunya tersebut.
Discussion about this post