Oleh: Jihan Putri Utami
(Mahasiswi Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas)
Silek atau dalam bahasa Indonesia lebih dikenal dengan nama silat merupakan kebudayaan cabang beladiri dan banyak berkembang di wilayah yang terdapat suku bangsa Melayu yakni seperti di Indonesia, Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam hingga di daerah Kamboja. Silek merupakan seni bela diri yang berasal dan berkembang di Ranah Minang, Sumatera Barat. Beberapa aliran silek terdapat di Minangkabau salah satunya adalah aliran Silek Kumango.
Hendri (46) seorang anak dari seorang Tuo Silek mengatakan bahwa silek adalah membela diri. Perguruan silek yang didirikan oleh ayahnya bernama sasaran Silek Ujang Saiyo dengan aliran Silek Kumango di daerah Lubuk Minturun, Padang. Ia mengatakan bahwa Silek Kumango asal mulanya diciptakan oleh seorang tarekat sufi. Silek tersebut biasanya juga disebut dengan Silek Kampuang yang tidak dapat dipertandingkan seperti halnya silat nasional. Hal tersebut disebabkan oleh silek kampung memang digunakan sebagai ajang membela diri dan media untuk mencari persaudaraan.
Silek kampung aliran Kumango mengambil gerakan dari alam seperti kerbau, ayam, yang menjadi dasar falsafah “Alam takambang jadi guru”. Namun, gerakan yang paling dasar dari silek Kumango adalah gerakan yang diambil dari inyiak atau harimau. Dalam silek Kumango gerakan fisik hanyalah sebanyak 25% dan sisanya adalah kaji batin.
Hendri (45) juga memaparkan bahwa mendiang temannya yang merupakan pandekar Silek Kumango dari Agam memiliki ilmu kebatinan tingkat tinggi dan sering melakukan pertapaan di dalam gua sehingga bisa masuk ke dunia dua dimensi. Ketika sedang bertap, ia dijemput oleh seseorang dengan mengendarai bendi yang juga merupakan seorang pendekar untuk masuk ke dalam Gunung Marapi. Di dalam Gunung Marapi ada sebuah dinding batu yang terdapat gambar gerakan-gerakan silek dan tari piring yang kemudian menjadi dasar keyakinan bahwa silek berasal dari Gunung Marapi. Murid silek pertama dari inyiak sang penunggu gunung Marapi adalah keturunan Sri Marajo Cadiak Palang Pandai.
Ketika seseorang bermain silek di tangah malam, inyiak datang melihat dan terkadang juga ikut bermain silek dengan para pandekar sebab gerakan yang dipakai adalah gerakan dari sang inyiak. Tanda inyiak ingin ikut bermain silek maka inyiak tersebut memberi isyarat dengan melemparkan pasir kepada sang tuo silek. Hal yang unik ketika bermain silek dengan inyiak adalah ketika pesilek jatuh maka punggungnya tidak pernah benar-benar menyentuh tanah melainkan hanya mengambang sejengkal dari tanah. Seorang pandekar yang memiliki ilmu kebatinan tinggi bisa menempuh perjalanan jauh dengan sangat cepat walau hanya dengan berjalan kaki berbekalkan kain sarung, Pendekar tersebut dipercayai telah digendong oleh inyiak menggunakan kain sarung yang ia bawa.
Sebelum seseorang belajar silek kampung, Hendri (45) menjelaskan bahwa calon murid harus memenuhi syarat tertentu yakni membawa beras dan kain putih atau kain kafan yang diberikan kepada sang guru yang tentu memiliki filosofi tersendiri. Lalu calon murid silek itu pergi ziarah ke makam tuo-tuo silek terdahulu dalam rangka menghormati sang guru dengan falsafah “turun anak dari ayunan, turun kaji dari guru” sebab jika tanpa adanya guru tidak mungkinlah seseorang dapat menjadi pandai.
Ketika sudah menjadi murid silek dan ingin mendapatkan gelar pandekar ada beberapa ujian yang harus di laksanakan, seperti bermain silek di atas sebatang bambu yang dihanyutkan dan telah di raut setipis mungkin hingga mendapat julukan “Alu tapijak patah tigo, ranting tapijak indak patah”. Sebelum melaksanakan latihan dan membuka sasaran (gelanggang) ada ritual pelimauan yaitu pembersihan gelanggang dengan berbagai macam doa agar mendapat berkah dari Latihan. Pendarahan dari darah ayam di sekitar gelanggang juga dilaksanakan yang disebut ilmu persaktian. Pendarahan itu bertujuan agar ilmu yang didapat lengket dan tidak hilang serta sebagai pelindung agar tidak terluka ketika terkena senjata saat Latihan. Apabila terluka, tanah yang telah diberi darah dapat dijadikan sebagai obat.
Ketika seseorang tuo silek yang sudah tinggi kekuatan fisiknya, yang dilakukannya adalah duduk mangaji, yaitu kaji batin atau olah batin. Dalam olah batin dan olah rasa, seorang pendekar silek menjadi sangat peka terhadap rasa dan lingkungan sekitar. Contoh sederhananya adalah ketika seorang pendekar berdiri di bawah pohon kelapa dan ia mengetahui jika akan kejatuhan buah kelapa sehingga dapat menghindari. Selain itu ketika seorang pandekar atau tuo silek yang ma’rifat nya sudah tinggi bisa mengirim surat jarak jauh dengan cara memakai keris yang diberi asap kemenyan sehingga keris itu dapat berjalan atau terbang menuju si penerima surat.
Dalam Silek Kumango terdapat ilmu kebatinan yang disebut gayuang atau pukulan jarak jauh. Hal itu berarti bahwa jika ingin melukai seseorang tidak perlu berhadapan langsung dengan lawannya namun hanya melalui tikam jajak. Tikam jajak adalah media penyerangan dengan cara menikam bekas jejak kaki sang lawan sehingga di mana pun lawan berada akan terluka, bahkan terbunuh. Terdapat pula si gantuang bojo yakni ilmu kebatinan dengan menjadikan lawan tidak bisa bergerak layaknya patung ketika menyerang pandekar Silek Kumango. Ilmu kebatinan juga berguna untuk menyelamatkan diri dari kiriman orang yang malapeh kepandaian, seperti pisau yang dikirimkan oleh orang lain ke dalam tubuh seorang pandekar silek.
Semua kisah tentang silek di atas adalah bagian dari folklor. Folklor adalah sebagai kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja dalam Hutomo, 1991:5). Kepercayaan terhadap ilmu kebatinan dan sosok inyiak dalam silek Minangkabau yang penyebarannya melalui mulut ke mulut dan sebagian besar hanya diketahui oleh orang-orang dalam lingkup silek Minangkabau merupakan sebuah folklor. Kepercayaan itu membuat perkembangan dan ajaran silek di Minangkabau masih terjaga sampai sekarang ini.
Discussion about this post