Lastry Monika
(Kolumnis Rubrik Renyah)
Ketika sedang asyik berkeliling di Twitter, seringkali di waktu-waktu tertentu isinya dominan seputar film Indonesia yang sedang tayang dan begitu booming. Tidak sedikit cuitan dan utas yang mengulas film-film tersebut. Uniknya, ulasan itu seringkali hanya berisi pujian-pujian terkait seberapa bagus dan seberapa harus film karya anak bangsa itu ditonton.
Suatu kali, saya menonton sebuah film setelah sebelumnya membaca utas yang menyatakan film tersebut begitu bagus dan sangat layak ditonton. Kelar menonton, saya kurang setuju dengan ulasan di utas yang saya baca sebelumnya. Ada satu hal mengganjal dan cenderung menjijikan dalam film tersebut yang membuat tidak nyaman: candaan-candaan seksis.
Di Twitter, si sutradara cukup sering ikut nimbrung dan memberikan pembelaan pada korban bila ada kasus pelecehan seksual. Meski begitu, hal-hal seksis dalam karyanya justru luput ia singkirkan.
Di film itu terdapat tokoh perempuan yang berperan sebagai seorang sekretaris dan suka memakai baju seksi. Ketika tokoh ini muncul, selalu ditandai dengan slow motion dan laki-laki yang ngiler melihat payudaranya yang besar. Bahkan di salah satu adegan, seorang laki-laki tanpa sadar meremas-remas dada teman laki-laki yang ada di sebelahnya setelah bengong melihat si sekretaris. Ini tidak lucu, tetapi sebagian penonton tertawa karenanya.
Akhir-akhir ini algoritma YouTube membawa saya pada sebuah video bertujuan komedi namun ada dialog berupa pelecehan. Seperti biasa, sesi dalam channel itu dipandu oleh komika kenamaan asal Padang dengan bintang tamu kali itu komika asal Indonesia Timur. Di sesi itu mereka seolah bertukar posisi antara pembawa acara dengan bintang tamu. Lalu mereka membahas seorang perempuan bernama Yanti yang cukup menjadi sorotan dalam channel tersebut. Yanti biasanya disuruh membuat minuman dan makanan ala warung kopi di siniar itu.
Pembawa acara yang berpura-pura menjadi bintang tamu hendak membuat mi goreng. Lalu berkatalah komika yang menjadi bintang tamu sebenarnya, “Masak sendiri! Udah nggak ada Yanti. Tadi kusekap, dua ronde tewas.” Lalu seisi ruangan tertawa dengan riuh, seolah baru saja terlontar candaan cerdas, memukau, dan sangat amat lucu.
Cukup banyak komentar yang mengatakan bahwa itu bukan candaan yang patut ditertawakan, sebab itu adalah pelecehan. Lebih tepatnya, tidak seharusnya Yanti dijadikan bahan candaan seksis seperti demikian. Namun, selalu saja ada yang menentang pendapat yang kontra ini. Mereka menyerang dengan kata-kata seperti: “Ga usah didengar, ribet amat jadi manusia!”, “Kaku banget hidup lu, kayak kenebo kering!”, “Ribet amat jadi orang!”, “Gak suka skip aja!”, “Ga usah baper, namanya juga komedi!”
Plesetan seksual dalam suatu konten atau film serupa ini biasa disebut sexual innuendo. Dalam kehidupan sehari-hari kita mungkin sudah jengah dengan candaan-candaan seksis serupa dua kasus sebelumnya. Kita mungkin berharap karya kreatif seperti film dan konten di YouTube membawa lebih banyak angin segar dengan tidak mewajarkan atau menyelipkan plesetan seksual yang seksis dan merendahkan gender tertentu. Akan tetapi, menyaksikan suatu film dan konten rupanya malah membuat kita semakin gerah. Perasaan ini tidak bisa dibilang hanya ribet, baper, atau lebih baik melewatkan begitu saja tanpa perlu mengungkapkan kerisihan.
Bila memang punya kebedulian terhadap kekerasan dan pelecehan seksual, setidaknya berhentilah memproduksi candaan pelecehan berkedok “Ah, cuma bercanda, ga usah baper”. Alangkah lebih baik bila sexual innuendo tidak diselipkan dalam suatu konten, bahkan sekadar dalam tongkrongan sekalipun.
Discussion about this post