
Sekitar awal tahun 2000, nama bayi di Indonesia semakin beragam. Nama-nama bayi tersebut diambil dari berbagai budaya dan bahasa, bahkan dari luar wilayah Indonesia. Hal ini dipicu dengan semakin luasnya teknologi yang memudahkan setiap orang mencari berbagai referensi. Setiap orang tua tentu ingin memberi nama terbaik kepada anak-anak mereka. Tidak hanya dari segi bunyi, sebuah kata yang memiliki makna khusus juga dijadikan nama sebagai harapan kelak anak-anak mereka memiliki karakter yang serupa. Oleh sebab itu, nama-nama itu disusun dari kombinasi huruf yang menarik, meski beberapa di antaranya sulit dilafalkan oleh generasi tua.
Mengapa nama-nama tersebut terasa rumit? Hal ini disebabkan oleh kombinasi huruf yang tidak sesederhana nama-nama generasi sebelumnya. Kita bisa mengambil contoh nama Desi yang ditulis dengan gabungan huruf yang sederhana (tidak banyak mengandung deret konsonan, gugus konsonan, dan diftong). Akan tetapi saat ini, nama yang bunyinya Desi bisa saja dilafalkan dari tulisan Deasy, Dheasy, Dessy, Dhesi, Dhesy dan sebagainya. Kerumitan kombinasi huruf ini kerap membuat orang lain salah menyebut nama tersebut atau salah menuliskannya.
Pada tahun 2022, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Permendagri (Peraturan Menteri Dalam Negeri) yang berkaitan dengan nama sebagai pencatatan dalam dokumen kependudukan. Ada beberapa poin yang menjadi syarat sebuah nama, seperti tidak boleh terdiri lebih dari 60 huruf, tidak boleh menggunakan angka, tidak boleh memiliki makna negatif, dan tidak multitafsir. Akan tetapi, persyaratan nama ini hanya mengacu dalam ranah teknis, bukan dalam ejaan. Artinya, nama Deasy, Dheasy, Dessy, Dhesi, Dhesy, dan sebagainya yang masih berbunyi Desi itu tetap bisa menjadi nama selama tidak melampaui 60 huruf. Mengapa persoalan kombinasi huruf dalam nama tidak termasuk dalam permendagri? Hal ini disebabkan nama orang tergolong dalam “nama diri”.
Para ahli bahasa mengklasifikasikan “nama diri” untuk suatu objek khusus seperti nama orang, nama tempat, merek, nama dewa, dan sebagainya. Huruf-huruf dalam sebuah “nama diri” tidak bisa dikaitkan dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mengapa demikian? Sebab “nama diri” bukanlah istilah umum. Contoh dari istilah umum yaitu meja, kursi, baju, pensil, dan mobil. Apa perbedaannya dengan “nama diri”? Begini ilustrasinya. Ketika kita melihat sebuah alat tulis yang bisa digunakan untuk menulis sesuatu di papan tulis putih, kita semua (pengguna bahasa Indonesia) sepakat menyebutnya spidol. Jika ada yang menyebut benda itu dengan istilah pensil, kita tahu bahwa orang tersebut salah menggunakan istilah.
Kita tidak bisa memprotes seorang pemilik nama Desy dengan mengatakan bahwa seharusnya nama tersebut menggunakan huruf i, bukan y. Hal ini tidak bisa dilakukan karena nama Desy adalah nama diri yang dimilikinya secara pribadi yang dibuat oleh pemberi nama tersebut. Nama Desi dengan berbagai kombinasi hurufnya adalah hak si pemilik nama. Oleh sebab itu, persoalan rangkaian huruf dalam nama tidak bisa menjadi bagian dari peraturan penulisan nama di Indonesia. Kita tidak bisa membuat aturan bahwa nama Kaila harus memakai huruf i dan tidak bisa diganti dengan huruf y menjadi Kayla. Kita juga menyadari banyaknya variasi gabungan huruf untuk nama Quinsha, Quinsya, Quinzha, Quinssha, dan sebagainya yang ejaannya tidak dibakukan menjadi Quinza.
Selain nama orang, hal ini juga berlaku untuk berbagai produk. Kita bisa mengambil salah satu merek mie instan Indonesia yang ditulis dengan gabungan huruf sedaap (dengan dua huruf a). Kita tidak bisa mengatakan bahwa ejaan merek itu salah karena kata sedap hanya memiliki satu huruf a. Kita tentu saja mengetahui bahwa dua istilah ini berbeda. Sedaap adalah merek, sebuah nama yang diberi oleh perusahaan yang memproduksinya, sedangkan sedap adalah istilah umum. Oleh sebab itu, kita tidak bisa mengatakan merek sedaap salah.
Lalu bagaimana dengan nama seseorang atau suatu objek yang sangat menyerupai istilah umum? Kita bisa mengambil contoh banyaknya orang Indonesia yang bernama Bunga, Mawar, Melati, Bulan, Bintang, Mentari, Raja, Ratu, dan sebagainya. Selain nama orang, kita juga mengenal grup musik Cokelat, Kotak, Gigi, Padi, Asbak, dan sebagainya. Dari susunan huruf dan bunyinya, nama-nama tersebut memang menyerupai istilah umum. Akan tetapi, kita bisa memahami perbedaan di antara keduanya, apakah kata itu berlaku sebagai nama diri atau sebagai istilah umum. Kita bisa membedakannya dari penulisan huruf pertamanya. Setiap penulisan nama orang harus diawali dengan huruf kapital, seperti Joko Widodo, Anita Hapsari, Dayana Assyura, dan Ryanda Galih Prasetya. Sebagai contoh, kita bisa membedakannya dalam dua kalimat berikut:
- Kemarin, saya melihat bunga di depan rumah saya.
- Kemarin, saya melihat Bunga di depan rumah saya.
Kalimat pertama dengan kata bunga yang tidak diawali huruf kapital merupakan istilah umum yang bermakna “tumbuhan”. Kalimat pertama ini memiliki konteks bahwa si pelaku dalam kalimat tersebut bisa saja melihat bunga yang sangat indah yang tumbuh di depan rumahnya. Kalimat kedua dengan kata Bunga yang diawali huruf kapital merupakan nama seseorang. Konteksnya, si pelaku di dalam kalimat tersebut melihat orang lain yang bernama Bunga.
Berkaitan dengan hal itu, kata minggu juga memiliki dua penulisan yang berbeda, yaitu minggu (tanpa huruf kapital) dan Minggu (diawali huruf kapital). Mengapa ada dua penulisan minggu yang berbeda? Kata minggu yang tidak diawali huruf kapital bersinonim dengan kata pekan, sedangkan kata Minggu yang diawali huruf kapital merupakan nama hari yang bersinonim dengan Ahad.
Di dalam kaidah ejaan bahasa Indonesia, huruf kapital juga digunakan untuk nama tahun, bulan, hari, hari besar atau hari raya. Kata Minggu termasuk ke dalam nama hari, sedangkan minggu adalah istilah umum yang maknanya mirip dengan pekan. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata minggu memiliki keterangan:
- n (ditulis dengan huruf besar) hari pertama dalam jangka waktu satu minggu; Ahad
- n jangka waktu yang lamanya tujuh hari; pekan
Berikut ini adalah contoh perbedaan konteks dari keduanya:
- Saya pergi ke rumah nenek setiap hari Minggu.
- Saya akan menginap di rumah nenek minggu depan.
Hal lain yang perlu kita perhatikan ketika nama diri mirip dengan istilah umum adalah dua kata ini tidak bisa dikategorikan sebagai homonim. Homonim mencakupi dua kata atau lebih yang memiliki huruf dan bunyi yang sama, tetapi maknanya berbeda. Berikut ini adalah contoh-contoh homonim:
- Tali tas saya tanggal ketika saya membawa banyak buku.
Kami akan pergi ke Jakarta pada tanggal 3 September. - Anak itu kabur dari rumahnya.
Pandangannya kabur jika tidak memakai kacamata.
- Hari ini, bulan terlihat sangat indah.
Kami akan pergi ke Bandung bulan depan.
Kata-kata yang berhomonim adalah kata-kata yang tergolong dalam istilah umum. Kita tidak bisa mengklasifikasikan nama Bunga berhomonim dengan kata bunga (tumbuhan) karena dua kata ini tidak berasal dari golongan yang sama. Jika nama diri dikategorikan sebagai homonim, kita tidak bisa mendata ada berapa banyak nama orang di seluruh dunia yang menyerupai istilah umum dalam bahasa Indonesia. Kita tidak bisa mendata dari jutaan penduduk Indonesia, apa saja nama diri yang menyerupai istilah umum.
Persoalan nama diri ini nyatanya juga memiliki kebingungan bagi masyarakat Indonesia untuk beberapa nama daerah. Kita bisa mengambil salah satu nama pulau besar yang ada di Indonesia, yaitu Sumatera (ada huruf e) atau Sumatra (tidak ada huruf e). Tentunya ada dari masyarakat Indonesia yang belum yakin penulisan mana yang paling tepat. Di dalam KBBI, tertulis Sumatra (tanpa e) sebagai bentuk baku dengan keterangan bahwa Sumatera (ada e) merupakan bentuk tidak baku. Makna dari Sumatra di dalam KBBI adalah “pulau di wilayah barat Indonesia, di sebelah utara berbatasan dengan Teluk Benggala, di sebelah timur dengan Selat Malaka, di sebelah selatan dengan Selat Sunda, dan di sebelah barat dengan Samudra Hindia”. Hingga artikel ini ditulis, penulis belum menemukan jawaban mengapa nama wilayah juga termasuk ke dalam KBBI sebab nama daerah tidak tergolong ke dalam istilah umum.
Penulisan Sumatra yang ada di dalam KBBI nyatanya berbeda dengan yang digunakan di berbagai provinsi pemilik nama tersebut. Ada tiga provinsi yang menggunakan nama Sumatera, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan. Hal ini bisa kita cek dari lambang-lambang resmi, situs resmi, dan surat-surat resmi ketiga provinsi tersebut. Inilah yang kemudian membuat masyarakat (terutama para jurnalis) menjadi bingung untuk memilih istilah yang paling tepat. Apakah Sumatra berdasarkan KBBI atau Sumatera yang digunakan oleh pemerintah provinsi setempat. Namun demikian, persoalan perbedaan eajaan Sumatera (ada e) dan Sumatra (tanpa e) juga sudah banyak ditulis di berbagai artikel. Berbagai artikel tersebut memuat opini dan teori bahasa yang berkaitan dengan hal itu. Oleh sebab itu, sekiranya kita juga perlu mencari jawaban mengapa nama Sumatra juga menjadi cakupan kata di dalam KBBI yang kemudian kaidahnya dibedakan dalam bentuk baku dan tidak baku. Hal ini perlu diluruskan segera agar masyarakat Indonesia bisa menetapkan nama mana yang bisa digunakan bersama. Ini juga berdampak pada penulisan surat atau berbagai dokumen resmi yang berkaitan dengan wilayah tersebut.
Discussion about this post