Oleh: Sigit Surahman
(Dosen Fikom Universitas Bhayangkara Jakarta Raya dan Managing Director Loka Kota PR)
Sistem pemerintahan di Nusantara pada masa kolonial dan era klasik melibatkan berbagai kepemimpinan, termasuk oleh ratu seperti Ratu Sima dari Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7-8, Tribuana Tunggadewi dari Kerajaan Majapahit pada abad ke-14, dan Ratu Kalinyamat dari Kerajaan Demak pada abad ke-16. Meskipun peran politik kerajaan telah berubah seiring waktu, beberapa kerajaan masih mempertahankan peran sosial dan kebudayaan dalam masyarakat.
Pada masa kolonial, interaksi dengan kekuatan kolonial Belanda mengubah sistem pemerintahan tradisional. Kerajaan-kerajaan di Jawa dikuasai oleh Belanda dengan simbol kekuasaan yang dipertahankan, tetapi keputusan penting ditentukan oleh Belanda. Setelah kemerdekaan tahun 1945, sistem pemerintahan berubah menjadi republik demokrasi. Meskipun begitu, beberapa kerajaan masih mempertahankan peran sosial dan budaya dalam masyarakat.
Di tengah perubahan ini, Kesultanan Yogyakarta adalah salah satu contoh yang menarik perhatian. Sri Sultan Hamengku Buwono X (HBX) berperan sebagai kepala daerah dan juga raja serta perannya dalam suksesi takhta. Dalam konteks ini, sabda dan dawuh yang dikeluarkan oleh Sri Sultan HBX memiliki makna yang signifikan dalam memberikan arahan dan otoritas kepada masyarakat.
Sabda dan dawuh merupakan alat komunikasi kekuasaan yang sah dari Sri Sultan HBX sebagai Raja Yogyakarta. Pada tahun 2015, Sri Sultan HBX mengeluarkan sabda dan dawuh yang mengubah gelar Sultan dan mengangkat Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun menjadi GKR Mangkubumi, posisi penting dalam suksesi takhta. Sabda dan dawuh memiliki otoritas dan legitimasi dalam konteks perubahan suksesi takhta.
Pengangkatan GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi memicu berbagai respons di masyarakat. Terdapat pendukung dan penentang, serta kelompok yang netral terhadap perubahan ini. Konflik internal muncul dalam keraton dan masyarakat sebagai hasil dari perbedaan interpretasi, nilai, dan pandangan terhadap sabda dan dawuh.
Pendekatan Max Weber tentang kekuasaan, otoritas, dan legitimasi digunakan untuk menganalisis sabda dan dawuh Sri Sultan HBX. Kedua komunikasi ini mencerminkan kekuasaan karismatik dan tradisional, otoritas sebagai raja, serta legitimasi yang berasal dari keyakinan masyarakat terhadap peran dan keputusan Sultan. Konflik yang muncul juga mencerminkan dinamika antara kekuasaan, otoritas, dan legitimasi dalam konteks suksesi takhta kerajaan.
Dalam pengembangan teori, ditemukan konsep baru yang disebut Power and Social Appraisal. Konsep ini menggambarkan kompleksitas interaksi antara kekuasaan, otoritas, legitimasi, dan penilaian sosial dalam komunikasi. Penggunaan konsep ini membantu memahami bagaimana penilaian sosial individu mempengaruhi persepsi terhadap kekuasaan, otoritas, dan legitimasi dalam komunikasi. Kekuasaan Sri Sultan HBX memiliki dasar legitimasi yang berasal dari garis keturunan, adat, dan pengakuan masyarakat. Pengangkatan GKR Pembayun sebagai GKR Mangkubumi menjadi perubahan penting dalam struktur kekuasaan dan pewarisan takhta di Kesultanan Yogyakarta. Namun, pengangkatan ini juga menunjukkan adanya perbedaan pandangan di masyarakat. Konflik yang muncul mencerminkan usaha mencapai konsensus sosial dalam menghadapi perubahan. Dalam konteks konflik tersebut, sabda dan dawuh Sri Sultan HBX menggambarkan penggunaan kekuasaan, otoritas, dan legitimasi dalam merespon perubahan sosial dan tuntutan zaman.
Dengan demikian, artikel ini memberikan wawasan tentang peran komunikasi kekuasaan dalam merespons perubahan sosial dan budaya. Sabda dan dawuh tidak hanya sekadar pesan, tetapi juga alat untuk membentuk norma, nilai baru, dan arahan moral dalam masyarakat. Penggunaan konsep power and social appraisal memberikan pandangan baru tentang bagaimana kekuasaan dinilai dan diterima dalam komunikasi, serta dampaknya terhadap struktur kekuasaan dan pewarisan takhta dalam kerajaan.
Discussion about this post