Petani yang Menyemai Emas
Cerpen Dodi Saputra
Seorang berkaca mata hitam keluar dari mobil mengkilat dan berhenti di gubuk bambuku. Aku betul-betul terperangah melihat sosok lelaki berdasi melintasi pematang sawah itu. Ia masih bersepatu kulit dan terus mendekatiku. Ia seperti sudah akrab dengan hamparan sawah menguning kali ini. Sekali lagi aku menatapnya lebih dekat. Aroma parfumnya bercampur dengan hawa padi di hidungku. Tiba-tiba tangannya keluar dari saku dan menepuk pundakku berulang-ulang. Seketika aku terkejut, saat ia membuka kaca mata bersemburat pelangi itu.
“Aku salut padamu, Sar. Kau tetap setia merawat sawah ini.” Bibir bersihnya tersenyum simpul. Ia bahkan tak takut pada baju dan wajahku yang kotor. Sungguh persuaan ini sudah lama aku nantikan. Dialah lelaki satu satunya di dalam perjalananku di sawah ini. Dua puluh tahun silam, kami sempat bersama diminta petani berdasi lain untuk merawat sawah di pulau seberang. Aku tak setuju, sebab anak dan istriku tak mau hijrah meninggalkan rumah peninggalan almarhum Mamak.
“Alhamdulillah. Sariman? Ke mana saja kau selama ini?
“Ya. Kau tak ingat? Setelah gempa 2009 itu, aku ikut bos ke Jawa. Sambil berdagang perlengkapan pertanian di sana.” Sariman mencoba mengulang ingatanku. Tentu aku ingat betul, karena waktu itu sebagian besar penduduk di desa ingin menyelamatkan diri dari isu akan datang Tsunami. Untung saja, sirene itu tidak jadi berbunyi.
“Aku belajar banyak darimu, Sam. Sejak aku merantau, aku tak pernah meninggalkan salat lima waktu. Sama sepertimu. Ini ada sesuatu untukmu. Kau boleh membukanya nanti saat di rumah bersama anak dan istrimu.” Lelaki berkulit kuning langsat itu mengulang senyum tenangnya.
“Oh ya? Istriku sudah meninggal, tersambar petir. Ah, sudahlah, lupakan itu. Justu aku yang berterima kasih padamu. Sampai saat ini kau masih mau datang ke sini menemuiku.”
“Aku turut berduka, Sam. Sama-sama.”
Setelah persuaan siang itu, kami bercerita tentang pengalaman selama berpisah dua dasawarsa lamanya. Sampai pada akhir cerita, Sariman memberikan sebuah amplop besar berwarna kecokelatan. Aku tak bisa berkata-kata ketika aku menerima amplop itu. Selintas seperti ada beberapa helai kertas di dalamnya.
***
“Aduh, tolong! Kakiku masuk lumpur.” Seorang laki-laki tiga puluhan tahun merintih kesakitan. Ia memegangi kaki kiri dengan kedua tangannya. Ternyata lumpur sudah menelan kaki kurus itu hingga setengah paha. Musim hujan begini memang banyak lubang-lubang jebakan. Tak jarang petani di desa ini kehilangan sandal atau putus tali sandalnya, karena tak berhasil mengambil sandal jepit yang terbenam dalam-dalam.
Makanya, aku tak heran, jika mereka lebih senang memilih untuk berkaki cakar ayam, ketimbang berkorban sandal untuk ke sekian kalinya. Meskipun sandal jepit, namun membeli sandal adalah sesuatu yang langka. Ke pasar hanya hari Jumat, itu pun kalau hari tak hujan dan kantong tak kosong. Tapi kali ini benar-benar sial. Sandal berumur satu hari itu harus hilang ditelan bumi.
“Jangan panik, angkat pelan-pelan, jangan pula terlalu kuat!” Aku memegangi tangan Sariman. Ia berhasil mengangkat kaki tanpa sandal. Mencari sandal di kedalaman lumpur itu pasti sungguh sangat membosankan. Lebih baik manggaro burung dari pada hanya menggali tanah berlumpur. Amanah ini sungguh sangat menguji kesabaran petani. Tak jarang kami geram menyaksikan gerombolan kawanan pipit berkepala putih datang dari banyak penjuru mata angin.
Saking geramnya kami pada monster bersayap itu, kami sampai lupa pada lubang yang kerap menelan kaki telanjang kami. Itulah lubang sedari pembukaan lahan ini. Dulu, saat tanah ini masih rimba belantara, kami menjadi saksi tumbangnya pohon-pohon besar lagi menjulang tinggi itu. Satu demi satu pohon dipotong sadis mesin pemotong pohon. Suaranya meraung-raung, manakut-nakuti penghuni lahan sawah ini. Sampai pada masanya, aneka binatang keluar hutan dan menggigit petani di sekitar lahan.
***
Hari ini aku mulai mafhum menjadi penjaga padi. Ternyata tak mudah berlari kian kemari menyusuri pematang licin, menarik-narik tali orang-orangan saban hari. Sebenarnya bukan lagi saban hari, tetapi hampir tiap menit. Betapa tidak, dalam setangah jam saja, aku sudah tak bisa lagi menghitung berapa kali aku berteriak sekuat kerongkongan dan manggaro burung.
“Heeeiyaaah…,” Sariman berteriak amat keras berkali-kali. Di tangannya masih memegang tiang bambu berbendera plastik hitam. Kalau bendera itu dikibaskan dengan ayunan agak kuat, maka terdengar bunyi yang cukup membuat kawanan pipit beterbangan. Terbang untuk beberapa saat, lalu kembali lagi di sudut selatan pematang sawah. Begitu dikejar ke arah itu, mereka beterbangan ke arah utara.
Begitulah Sariman menjalani hari, berlarian, bersorak-sorak, dan terjebak lumpur. Sampai sang terik siang ini tergelincir, Sariman masih berjibaku menghalau burung. Sesekali ia geram juga. Saking kesalnya, ia menambah memasang orang-orangan lebih besar, bahkan lebih besar dari tiga badan manusia. Di setiap sudut tangan diikatkan tali yang direntangkan hingga ke tiang gubuk bambu. Kini gubuk itu penuh dengan tali-tali orang-orangan sawah.
Gubuk itu terletak tepat di tepi Sungai Sianok. Aku sengaja mendirikan gubuk bersama Sariman untuk melepas lelah di separuh siang. Minum air putih adalah sebuah keniscayaan. Meskipun terkadang kami tak membawa bekal makanan, meneguk air putih sudah lebih dari cukup, ketimbang tidak minum sama sekali. Kalau pun air dalam dirigen atau botol kaca bekas sirup itu tertinggal di rumah, kami meminum air hujan.
Sesekali kalau hari tak hujan, kami minum air sungai. Lumayan bersih juga air di desa ini, jika hendak meminumnya, tak ada rasa cemas atau menakutkan. Karena hewan-hewan di sawah, termasuk ternak-ternak penduduk juga menikmati kesegaran airnya.
***
Hari ini ada rebusan daun singkong, sambal lado tanak, dan nasi putih. Selepas Zuhur, kami membuka rantang satu per satu. Mencuci tangan bukan menjadi hal mudah, sebab kotoran masih melekat di kuku. Sariman menuruni tangga gubuk untuk mengambil sendok.
Suara gemercik air basuhan sendok masih terdengar. Tetapi ada yang aneh pada Sariman. Ia cukup lama di sumur. Ah, mungkin ia buang angin atau kencing terlebih dahulu. Sudah lima menit berlalu. Aku tak kunjung mendapati batang hidungnya. Aku bergegas menuruni enam anak tangga. Langkahku semakin dekat ke sumur.
“Sssst…, diam!” Suara Sariman terdengar amat pelan di telingaku. Bahkan lebih pelan dari deru angin sepoi-sepoi. Ia menunjuk ke arah pagar sumur. Ternyata seekor ular sawah sepanjang dua meter sedang melintas tepat di hadapannya. Wajahnya yang tadi sudah bersih, sekarang kembali berkeringat dingin. Kulitnya kemerahan dan guratan kelopak matanya memberi isyarat ketakutan padaku. Aku hanya mengangguk seraya berdoa dalam hati. Mungkin ini yang disebut hewan mematikan yang paling ditakuti petani di desa ini, selain petir di hujan badai. Petir hujan badai tempo hari telah menyambar Sumini, istriku.
Ia sedang menyulam padi di petak sawah sepanjang sungai, karena air sungai melimpah. Akibatnya banyak padi-padi yang hanyut terbawa banjir. Waktu itu air sudah bersahabat kembali pada padi. Sumini yang tengah merunduk itu tersambar petir. Saat itu ia menyemai padi di petak sebalik sungai.
Waktu sudah senja, tetapi perempuan bercaping itu tetap menuruti perintah tuannya. Hari itu ia mengejar target untuk upah seratus ribu rupiah. Bagaimana pun caranya, ia harus mendapatkan selembar uang itu untuk membeli buku sekolah permintaan anak-anakku. Tetapi malang tak dapat dielakkan, kilat teramat dahsyat itu beriringan petir menghanguskan tubuh Sumini.
***
Aku masih merawat kenangan tentang jerih payah petani di desaku. Bahkan sampai perjalananku bergabung di kelompok tani Tunas Emas ini, aku hampir tak percaya. Aku pernah menghabiskan waktu menjadi kuli bangunan. Aku lebih memilih bekerja membangun gedung berlantai delapan, dibanding manggaro burung dan malambuik padi. Kalau bukan karena bosku yang korupsi, mungkin aku masih memakai helm kuning layaknya para tukang lainnya.
Kini, aku harus menyimpan seragam kerja dan perkakas tukang itu di rumah. Kalau pun bukan karena Sariman yang mengajakku ke sawah ini, mungkin aku tak akan mafhum perihal induk pipit yang mengisi temboloknya untuk dibawa pulang, buat anak-anak mereka yang belum lama menetas.
Aku juga masih merawat hikayat binatang-binatang yang santun. Mereka tak akan mengganggu manusia, jika orang-orang tak mengusik kawanan mereka. Aku bahkan tak pernah bertemu ular di hadapan mata dan kepala sendiri, kecuali di gubuk bambu itu. Sampai aku berlari pada pertanyaan satu ke pertanyaan lainnya, perihal ular yang tiba-tiba jinak saat melintas di depan Sariman. Lebih gila lagi, ketika Sariman tengah tidur lelap siang itu, sementara ular sawah sepanjang satu meter melilitnya, meskipun akhirnya pergi begitu saja. Pikiran ini mengingat masa lalu dalam-dalam.
Aku juga masih ingat betul saat membuat tongkang bersama Sariman. Orang-orang di kampung ini menyebutnya tong malambuik padi. Kami mencari kayu sepanjang delapan puluh senti dan empat tiang setinggi dua meter. Semuanya kami paku membentuk seperti kotak. Sekelilingnya kami tutup dengan terpal biru. Di bawahnya kami letakkan plastik terpal untuk menampung padi-padi.
Padi yang sudah disabit, lalu dipukulkan ke tong. Biji padi pun berjatuhan ke penampungan padi di bawah. Untung saja Aku dan Sariman sudah kebal pada miang padi yang terkenal sangat gatal. Kami juga sudah tak lekang karena panasnya sinaran siang memanggang tubuh ini.
Aku juga teringat pada kisah Sulaiman alahi salam. Dia seorang lelaki dengan kelebihan mampu berbicara pada binatang dan makhluk gaib. Diam-diam, aku berpura-pura belajar bahasa burung dan alam sebisaku. Entah betul atau tidak, yang penting aku tetap yakin bahwa mereka mengerti bahasa yang aku keluarkan dari mulut hitam ini. Aku tak banyak berpikir, karena letih sudah pergi dan keringat telah mengering. Dalam hirupan napas ini, kentara betul aroma khas semerbak kemuning padi.
Angin seperti mengiming-imingi bangsa burung untuk sekadar mencicipi satu, dua, dan entah berapa banyak lagi. Orang-orangan sawah di setiap sudut petak sawah ini tak begitu mempan menakuti-nakuti si paruh biji-bijian itu. Inilah musim ketika mereka melampiaskan hasrat, setelah tiga bulan lamanya mereka harus berpuasa makan padi sokan. Makan padi siang ini menjadi kabar gembira buat anak-anak kecil mereka di sarang pohon. Begitulah aku tetap berdecap kagum pada induk pipit hingga senja ini. Aku tak rela menghalau mereka. Meskipun aku tahu, kalau padi itu bukanlah milikku seutuhnya.
Dari sebelah sianok, kawanan pipit bersetia pulang dengan tembolok besarnya. Aku tetap memandangi kawanan rukun itu. Sebagian dari mereka bergegas menyusul kawanan lain pergi. Demikian pula aku yang juga mencuci cangkul dan sabit di parit dekat gubuk.
Seketika, pikiranku berlari pada petualangan saat masih belajar mengaji di surau tengah sawah itu. Ya, aku bukanlah petani berdasi seperti Pak Karun. Aku pun bukan pekerja layaknya buruh di perusahaan pertanian ternama di desa itu. Tetapi aku tetap menjalani hari-hari bersama burung-burung kesayanganku. Ya, merekalah pendengar setia saban siang.
Di terik penguasa siang ini, aku tetap berusaha menghidupi Siti dan Malin. Mereka sepasang anakku. Mereka yang di gedung bertingkat dan di perkantoran tidak akan pernah mengetahui betapa pahitnya menjadi penjaga padi-padi yang menguning. Begitulah aku menuangkan sekelumit kisah pada mereka yang bukan petani sungguhan. Ya, mereka yang tidak pernah mengerjakan sendiri tanah sawah dan maunya hanya membeli beras-dengan uang yang mudah saja mereka keluarkan-dari kantong emas mereka.
***
Aku ingat betul pada saat membeli sebidang tanah seluas dua hektare ini. Dengan harga murah, bos kami langsung meminta untuk menanami padi, meskipun di lahan gambut. Di lahan itu aku dan Sariman tak boleh sembarangan membakar-bakar. Apalagi sempat membakar rokok yang puntungnya tidak sampai mati. Jika itu terjadi, maka bisa jadi lahan itu terbakar, seperti terbakarnya lahan sebelah yang hendak ditanami kelapa sawit. Di sini masih banyak bergelimpangan batang-batang pohon besar. Membuka lahan dengan menebang pilih pohon-pohon adalah keniscayaan. Itulah jalan aman satu-satunya.
Tak jarang aku temukan ular besar lewat di perut Sariman saat menebang pohon. Tapi anehnya, ia selalu selamat dari gigitan atau lilitannya. Sesekali ia juga membawa tetangganya yang membawa anjing ke rimba. Tapi sayang, anjing itu tak ditemukan lagi, setelah mengejar babi hutan ke dalam semak belukar. Sampai sore hari, alat-alat berat tetap mengeruk sungai sampai mendekati muara. Tak jarang mereka mendapati ikan-ikan dan belut masuk dalam kerukan itu.
Dalam hiruk pikuk suara desingan alat berat itu, Aku sempatkan membentang sajadah saban waktu salat tiba. Bukan seperti petani lain yang tetap meneruskan menanam padi. Tak jarang aku mendengar cerita tentang hari-hari mereka yang mencekam. Mereka kerap berjumpa binatang melata dan berbisa. Tetapi untung saja masih ada sahabatku Kodir, seorang petani paruh baya. Saat salat, perutnya dilewati ular kobra. Ia tetap dalam posisi berdiri tegak lurus. Matanya tetap menatap di tempat sujud. Dari gubuk ini, aku dapat melihat gubuknya begitu jelas. Bahkan saat ia tidur sekali pun, mataku tetap menjangkaunya.
***
Aku harus berterima kasih dengan apa pada Pemilik Alam ini? Aku seperti tak percaya pada kejadian pagi ini. Burung-burung berdatangan membawa butiran-butiran padi emas di pundi-pundi berasku. Siti dan Malin yang pulang dari mengambil sarang burung tekukur itu, terperangah melihat peristiwa itu. Sungguh inilah hari di luar dugaanku. Aku tak pernah mengira bahwa burung-burung pipit itu bisa melakukan hal sebaik itu. Selama ini yang aku tahu adalah burung itu hanya bisa hinggap dan menikmati santapan siang bersama keluarganya. Atau burung itu hanya mencari dedaunan kering untuk membuat sarangnya dari sisa-sisa batang padi.
Aku betul-betul tak percaya pada pemandangan ini. Burung-burung yang selama ini kuhalau setelah ia kenyang, mereka ternyata bisa berbalas budi. Barangkali inilah balasan yang dijanjikan pada petani kecil sepertiku. Atau mungkin Tuhan sudah jenuh melihatku terus-terusan hidup dalam kekurangan. Bisa juga mungkin burung-burung itu telah bermusyawarah tentang sikapku yang aneh, bukan seperti sikap petani yang lain. Atau karena hamparan padi-padi ini merelakan dirinya dimakan burung pipit, karena aku pun memang merelakan hal itu, hingga akhirnya mereka mendoakan tuannya yang kumal ini.
***
Dalam sepertiga malam ini, aku memandangi hamparan sawah dari jendela kayu rumahku. Aku membukanya lagi sedikit lebih lebar, seraya membaca surat dari Sariman. Sam, petani berdasi-yang selama ini kau sebut dalam pesan singkat ponselmu-adalah aku. Akulah bosmu selama ini. Terima kasih sudah mengajarkanku salat lima waktu, berpuasa Senin dan Kamis, juga bersikap santun dan suka menolong pada setiap makhluk ciptaan Tuhan, bahkan pada burung-burung kecil sekali pun. Ternyata panen padimu itu selalu meningkat tiap waktu. Sebagai tanda terima kasihku, kini sawah itu sudah menjadi milikmu.
Alhamdulillah. Aku sempat heran. Aku mengira perbuatanku selama ini akan ditanggapi dengan amarah atau semacamnya. Aku yakin, Sariman bukan orang bodoh. Pasti selama ini ia memantauku dari jauh. Bisa jadi juga melalui petani di sekitar petak sawah ini. Sehingga ia mengetahui hal ini dari petani lain. Mereka sering membiarkanku merelakan padi-padi itu disantap burung pipit.
Karena aku tak tega pada induk mereka yang juga punya anak-anak di sarang. Aku tak tahu, apakah perbuatan itu terpuji atau sebaliknya. Tetapi yang aku tahu, saat ini aku lebih leluasa memberikan sepetak sawah itu untuk dinikmati burung-burung. Hanya itu yang aku bisa berikan untuk makhluk bersayap itu. Semoga menjadi pemberat timbangan kebaikan untukku kelak.
Padang, 2018.
Keterangan:
Lado = cabe
Malambuik = memukul
Mamak = Ibu
Manggaro = menghalau
Sokan = nama lain beras Solok/ terbaik
Tentang Penulis
Dodi Saputra adalah seorang guru di Kota Pariaman. Ia merupakan penulis yang produktif menghasilkan banyak karya berupa cerpen, novel, dan juga esai. Dodi Saputra pernah menjadi Ketua FLP Wilayah Sumatera Barat.
Sastra Hijau dan Ekologi Sastra:
Ulasan atas Cerpen “Petani yang Menyemai Emas” Karya Dodi Saputra
Oleh: Azwar, M.Si
(Dewan Penasihat Pengurus FLP Wilayah Sumatera Barat dan Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta.)
Salah satu hal yang mendorong orang membaca karya sastra adalah karena sastra mampu memberikan pengalaman baru pada pembacanya. Pengalaman itu bisa jadi tentang peristiwa yang belum pernah dialami oleh pembacanya ataupun peristiwa yang hampir sama dialami oleh pembaca. Membaca pengalaman orang lain melalui karya sastra adalah sebuah kenikmatan tersendiri dalam memahami kehidupan di dunia ini. Orang-orang yang tidak pernah ke desa, tidak pernah merasakan bagaimana kehidupan sebagai petani akan merasa tertarik untuk mengetahui bagaimana rutinitas desa itu.
Tentang pengalaman hidup ini, tentu tidak semua manusia mengalami hal yang sama. Bagi masyarakat di desa mungkin mereka heran dengan berbagai model hidup di kota besar, begitu juga orang-orang yang hidup di kota besar mungkin mereka heran bagaimana bisa padi bisa jadi beras dan kemudian menjadi nasi yang mereka makan. Ini lah salah satu fungsi karya sastra itu, dia memberikan pengalaman kepada orang lain walaupun tidak secara langsung. Hal ini sangat membantu masyarakat memahami kehidupan manusia lainnya.
Dalam konteks kajian sastra, membicarakan tentang sastra dan lingkungan itu bisa juga membahas sastra dan ekologi. William Rueckert (1978) dalam esainya “Literature and Ecology: An Experiment in Ecocriticism“, mengemukakan bahwa ekokritisme adalah kajian hubungan antara manusia dan non-manusia, sejarah manusia dan budaya yang terkait dengan analisis kritis manusia dan lingkungannya. Oleh karena itu, ecocriticism adalah studi yang menyelidiki bagaimana manusia menyajikan serta mendeskripsikan keterkaitan atau sinergisasi manusia dan lingkungannya dalam ekspresi hasil budaya.
Sejak beberapa tahun belakangan ini, Forum Lingkar Pena (FLP) mengusung sastra hijau atau sastra lingkungan sebagai genre kepenulisan mereka. Setidaknya hal tersebut sudah terlihat sejak tahun 2008 ketika FLP mengangkat tema “Sastra Hijau” sebagai tema dalam memperingati ulang tahun FLP waktu itu. Hal ini sesuatu yang menarik, karena barangkali sebagian orang melihat ada pergeseran tema karya sastra FLP dari sastra dakwah menjadi sastra lingkungan.
Saya justru melihatnya bukan pergeseran, tetapi hanya pendalaman interpretasi FLP terhadap dakwah itu sendiri. Ketika mengangkat tema-tema sastra hijau atau sastra lingkungan, artinya FLP semakin menyadari bahwa dakwah bukan hanya terkait dengan menyampaikan ayat-ayat kebenaran saja, akan tetapi dakwah juga tentang kepedulian pada semesta.
Jika dilihat dari kajian sastra, apa yang dilakukan FLP tersebut dapat dilihat dalam paradigma ekologi sastra. Asyifa dan Putri (2018) dalam tulisan mereka berjudul “Kajian Ekologi Sastra (Ekokritik) Dalam Antologi Puisi Merupa Tanah Di Ujung Timur Jawa,” menuliskan paradigma ekologi terhadap kajian sastra merupakan bentuk penerapan pendekatan ekologi dalam memandang sebuah karya sastra. Dalam pandangan ekologi, eksistensi organisme dipengaruhi oleh lingkungannya atau ada hubungan timbal balik dan saling keterkaitan antara organisme dengan lingkungannya. Perjumpaan konsep ekologi dan karya sastra tersebut melahirkan suatu bentuk konsep ekokritik. Ekokritik merupakan kajian hubungan antara sastra dan lingkungan fisik.
Sementara itu, Ande Wina Widianti (2017) dalam tulisannya berjudul “Kajian Ekologi Sastra Dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2014 di Tubuh Tarra Dalam Rahim Pohon,” dituliskan bahwa sudah sejak lama alam menjadi bagian representasi dari banyak karya sastra. Alam seringkali tidak sekadar menjadi latar sebuah cerita-cerita fiksional dalam karya sastra, tetapi juga dapat menjadi tema utama dalam sebuah karya sastra.
Adanya keterkaitan alam dengan karya sastra memunculkan sebuah konsep tentang permasalahan ekologi dalam sastra diantara para kritikus sastra. Istilah ekokritik (ecocriticism) digunakan sebagai istilah mengenai konsep kritik sastra yang berhubungan dengan alam serta lingkungan. Mengutip Harsono (2016) menyebut istilah ekokritik berasal dari bahasa Inggris ecocriticism yang merupakan bentukan dari kata ecology dan kata critic. Ekologi dapat diartikan sebagai kajian ilmiah tentang pola hubunganhubungan, tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, dan manusia terhadap satu sama lain dan terhadap lingkungannya. Kritik dapat diartikan sebagai bentuk dan ekspresi penilaian tentang kualitas-kualitas baik atau buruk dari sesuatu.
Kreatika edisi ini menayangkan sebuah cerpen berjudul “Petani yang Menyemai Emas” karya Dodi Saputra, mantan Ketua FLP Wilayah Sumatera Barat. Cerpen karya Dodi Saputra yang juga merupakan seorang guru di salah satu Madrasah Aliyah Negeri di Kota Pariaman ini menceritakan kisah Sam dan temannya Sariman. Sam dan Sariman adalah buruh tani yang bekerja mengelola sawah milik petani di desa. Pekerjaan mereka selain menanam padi juga menjaga padi-padi yang akan dipanen dari burung-burung atau hama lain yang akan mengganggu padi sebelum dipanen.
Sam sebagai pencerita dalam cerpen itu menceritakan kenangan-kenangan mereka ketika merawat padi di kampung. Meneruka sawah yang awalnya merupakan hutan gambut hingga perjuangan mereka menghadapi binatang-binatang buas yang kehilangan rumah mereka. Hal ini seperti kutipan berikut ini.
“Di lahan itu aku dan Sariman tak boleh sembarangan membakar-bakar. Apalagi sempat membakar rokok yang puntungnya tidak sampai mati. Jika itu terjadi, maka bisa jadi lahan itu terbakar, seperti terbakarnya lahan sebelah yang hendak ditanami kelapa sawit. Di sini masih banyak bergelimpangan batang-batang pohon besar. Membuka lahan dengan menebang pilih pohon-pohon adalah keniscayaan. Itulah jalan aman satu-satunya.” (Saputra, 2023).
Pada kutipan itu, Dodi menceritakan bagaimana persoalan lingkungan menjadi perhatiannya. Ia memperlihatkan kepedulian pada alam pada saat memanfaatkannya untuk digunakan sebagai lahan dengan fungsi yang baru. Inilah esensi ekologi sastra itu, bagaimana hubungan karya sastra dengan lingkungannya. Rueckert mengemukakan hal tersebut sebagai ekokritisme yang melihat bagaimana hubungan antara manusia dan non-manusia. Inilah pertalian yang disuguhkan oleh pengarang terkait dengan manusia dan budayanya, bagaimana manusia mengelola lingkungannya.
Cerita yang ditulis Dodi Saputra ini pada satu sisi mengalir lancar menyuguhkan hal-hal menarik tentang kehidupan di desa. Pengalaman dalam cerita ini tentu bermanfaat bagi masyarakat pembaca yang baginya kehidupan sebagai petani itu sesuatu yang asing. Pada sisi lain, harus banyak yang diperbaiki dari cerpen ini. Dodi seperti terjebak oleh banyak kisah yang ingin disampaikannya.
Seperti kisah tentang kehidupan Sam sendiri yang bertahan sebagai petani itu sembari mengingat luka-luka lama atas kematian istrinya dalam jihadnya mencari nafkah sebagai buruh tani. Kisah tentang kematian istrinya karena disambar petir saat menanam padi di sawah majikannya ini seolah tidak tuntas diceritakan Dodi. Pada pohon cerita ini, kisah tentang kematian istri tokoh Sam ini ibarat ranting yang tidak sempat berbuah. Ia menggantung begitu saja.
Cerita lain tentang kepergian temannya Sariman ke kota. Walau sekilas disampaikan karena Sariman hijrah ke kota setelah bencana gempa 2009, tapi kisah ini juga tidak utuh. Walaupun penulis sebenarnya ingin menjadikan hubungannya dengan Sariman ini sebagai cerita utama dalam cerpen ini. Kenangan-kenangan dengan Sariman selama menjadi buruh tani, menghiasi sebagian besar cerita ini. Kemudian kejutan di akhir cerita yang menyampaikan bahw aternyata bos Sam yang ia sebut sebagai petani berdasi dari kota ternyata adalah Sariman itu sendiri yang ingin membantu kehidupan temannya sendiri, yaitu Sam.
Satu hal lagi yang menjadi cabang cerita dari cerpen ini adalah tentang hubungan Sam dengan hewan-hewan di sekitar area sawahnya itu. Ia menceritakan bagaimana banyaknya binatang buas yang memangsa petani sekitar. Ia bercerita tentang ular-ular besar yang melilit Sarimin tapi Sariman seperti bisa bicara dengan Binatang itu sehingga beberapa kali Sariman bebas dari ancaman binatang itu.
Hal yang agak absurd dalam cerita ini adalah ketika burung-burung mengantarkan butir-butir emas kepada Sam. Dalam cerita ini seolah-olah peristiwa itu sebagai realitas yang absud. Saya lebih tertarik jika peristiwa burung-burung yang mengantarkan butir emas kepada Sam itu sebagai perlambang saja. Biarkan peristiwa itu ada dalam angan Sam, tapi realitasnya adalah bagaimana rezeki Sam yang datang tak terduga karena kepedulian pada makhluk lain seperti burung-burung pemakan padi itu.
“Aku seperti tak percaya pada kejadian pagi ini. Burung-burung berdatangan membawa butiran-butiran padi emas di pundi-pundi berasku. Siti dan Malin yang pulang dari mengambil sarang burung tekukur itu, terperangah melihat peristiwa itu. Sungguh inilah hari di luar dugaanku. Aku tak pernah mengira bahwa burung-burung pipit itu bisa melakukan hal sebaik itu. Selama ini yang aku tahu adalah burung itu hanya bisa hinggap dan menikmati santapan siang bersama keluarganya.” (Saputra, 2023).
Dalam kutipan itu jelas bahwa peristiwa dalam cerita itu dibuat sebagai realitas oleh pengarangnya. Realitas yang absurd, yang tidak bisa berterima oleh akal sehat manusia. Tapi hal itu walaupun bisa saja diterima sebagai realitas fiksi, namun tetap saja mengganggu alur cerita yang sudah dibangun penulisnya. Sekali lagi akan lebih baik kalau peristiwa yang absurd itu hanya ada dalam pikiran Sam atau dunia khayalnya.
Sementara itu kiasan butir emas dalam cerita adalah bagaimana kedatangan Sariman teman Sam memberikan sawah 2 hektar untuknya. Selain itu bagaimana rahasia selama ini tentang tuan tanah di sawah yang dia garap ternyata adalah sahabatnya sendiri. Terlepas dari itu, cerita ini sudah selesai dan Dodi Saputra sudah berhasil menawarkan pengalaman berharga dari sebuah karya sastra kepada pembacanya. Ini menarik tentang kisah-kisah Masyarakat di kampung yang sangat erat dengan alam dan lingkungannya. (*)
Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Scientia.id. Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra (cerpen dan puisi). Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar@gmail.com.
Discussion about this post